Kevin Darmawan pria berusia 32 tahun, ia seorang pengusaha muda yang sangat sukses di ibukota. Kevin sangat berwibawa dan dingin ,namun sikapnya tersebut membuat para wanita cantik sangat terpesona dengan kegagahan dan ketampanannya. Banyak wanita yang mendekatinya namun tidak sekalipun Kevin mau menggubris mereka.
Suatu hari Kevin terpaksa kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar jika kakeknya sedang sakit. Dengan setengah hati, Kevin Darmawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Desa Melati, sebuah tempat kecil yang penuh kenangan masa kecilnya. Sudah hampir sepuluh tahun ia meninggalkan desa itu, fokus mengejar karier dan membangun bisnisnya hingga menjadi salah satu pengusaha muda yang diperhitungkan di ibukota.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia persahabatan Kevin dan Rio
Di sebuah gedung bertingkat ,seorang wanita masuk ke dalam ruang apartemen miliknya. Melepas penutup kepala dan kaca mata yang bertengger di hidungnya. Merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran big size. Soraya.
Ia menatap langit-langit kamar itu dengan senyum lebar di pipinya.
"Kau masuk perangkap ku, Kevin. Susah ku katakan kau akan kehilangan lebih dari Alya. Dan aku yang akan memulai permainan ini."
Soraya bangkit perlahan dari kasur, menarik jubahnya dan berjalan menuju balkon apartemen yang menghadap langsung ke jantung kota. Angin malam menyapu rambutnya, tapi matanya tetap menatap tajam ke arah gedung tempat Kevin biasa bekerja. Ada sorot kemenangan di sana, tapi juga dendam yang membara.
Dari dalam terdengar dering ponsel yang berbunyi, Soraya kembali masuk. Tertera nama Anita di sana. Ia segera menekan tombol untuk menjawabnya.
"Ada apa, Nit?"
"Aku butuh bantuanmu, Rio sedang mabuk dan aku tak bisa membawanya pulang."
Soraya mendengus pelan, lalu ia segera mengganti jubahnya dan mengambil coat nya dan menyusul Anita di sebuah bar.
Di tengah malam yang mulai larut, lampu-lampu kota berkedip samar di balik kabut tipis. Soraya melajukan mobilnya menembus padatnya lalu lintas akhir pekan. Wajahnya tenang, tapi pikirannya tidak. Panggilan dari Anita memang terdengar biasa, tapi bila sudah melibatkan Rio, tak pernah benar-benar sesederhana itu.
Beberapa menit kemudian, ia sampai di depan sebuah bar mewah yang cukup terkenal di kalangan sosialita—Velour Lounge. Musik berdentum lembut dari dalam, dan cahaya temaram menyapu pintu masuk. Soraya melangkah cepat, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama pasti.
Di dalam, suasana setengah gelap. Para pengunjung tenggelam dalam tawa, alkohol, dan kepura-puraan. Soraya menemukan Anita di sudut ruangan, duduk di samping Rio yang tampak separuh sadar, wajahnya merah karena alkohol, dasinya terlepas, dan kemejanya sedikit kusut.
"Kalian minum lagi? " ucap Soraya kesal.
"Dia mengajakku, dan... Aku rasa Rio sedang stres." ujar Anita.
Soraya mengernyit mendengar hal itu. Menurutnya pria lajang sepertinya mana mungkin stres. Ditambah uangnya banyak dan dia juga salah satu pemilik perusahan di kota itu.
"Ada-ada saja. Kau pikir apa yang membuatnya stres? wanita? " ucap Soraya semakin kesal.
Anita terdiam sejenak,
"Aku tak ingin berdebat, Kau saja yang membawanya pulang aku masih ada urusan." ucap Anita.
Soraya mendongak menatap tajam Anita yang langsung bangkit dan pergi meninggalkan mereka. Soraya menghela napas berat. Matanya mengikuti langkah Anita yang menghilang di antara kerumunan. Ia lalu menatap Rio yang kini hanya terduduk diam, kepalanya menunduk, seperti menahan dunia di pundaknya.
“Bangun,” ucap Soraya pelan tapi tegas.
Rio mengangkat wajahnya. Matanya merah, bukan hanya karena alkohol, tapi juga sesuatu yang lebih dalam kesepian.
“Soraya... Kau di sini,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Soraya menghela napas sekali lagi, lalu menunduk, menyampirkan lengan Rio di pundaknya dan membantunya berdiri.
“Kita pulang.”
Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara AC dan tarikan napas Rio yang terdengar. Ia bersandar di kursi penumpang, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
“Kau tahu, Soraya,” katanya tiba-tiba.
“Kadang aku berpikir... lebih baik aku tidak pernah kembali ke kota ini.”
Soraya meliriknya sekilas. Tanpa menjawab dan hanya menjadi pendengar budiman. Rio tersenyum miris.
“Aku ngin memperbaiki semua."
“Dengan Kevin?"
Rio memejamkan matanya sejenak. Lalu ia mengangguk pelan. Belum diketahui kenapa mereka berempat, Kevin, Soraya, Anita dan Rio menjadi renggang padahal sejak dulu mereka bersahabat dan sangat dekat.
Soraya menggenggam kemudi lebih erat. Ia tahu Kevin bukan orang sembarangan. Tapi kalau Rio seperti ini ,itu sebuah kejadian diluar dari perseteruan mereka.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Soraya pelan.
Rio menggeleng, ia tak ingin mengungkit masalah itu lagi. Masalah yang membuat persahabatan mereka terputus.
“…Aku hanya ingin menghilang sejenak. Tapi ternyata kota ini tetap menarik ku kembali,” ujar Rio, nadanya berat, seolah menyimpan beban yang tak pernah benar-benar terangkat.
Soraya menatap ke depan, lampu merah menyala, dan deretan mobil berhenti serempak. Jalanan kota terasa hening dalam pikirannya yang berputar-putar. Ia tahu, persahabatan mereka hancur bukan karena hal sepele. Ada satu kejadian besar, yang sampai hari ini belum bisa mereka bicarakan secara terbuka—tentang sebuah kecelakaan tragis.
“Kau masih menganggap Kevin penyebab semua ini?” tanya Soraya tanpa menoleh.
“Bukan hanya Kevin,” jawab Rio lirih.
“Kita semua punya andil. Tapi dia yang paling bersalah. Dia yang memulai... dan pura-pura tak pernah tahu apa yang terjadi sesudahnya.”
Soraya diam. Ia tahu kalimat itu mengandung banyak lapisan luka dan rahasia. Ia sendiri masih ingat jelas malam itu—malam yang mengubah segalanya.
Mobil melaju kembali saat lampu berubah hijau. Tak lama, mereka tiba di apartemen Rio. Soraya memarkir mobil, lalu menoleh.
“Kau butuh istirahat. Dan kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya… mulai dari diri sendiri dulu.”
Rio mengangguk. Ia membuka pintu mobil perlahan.
“Soraya…”
Soraya menatapnya. Rio terlihat lebih sadar, lebih tenang.
“Kalau suatu hari nanti semua ini meledak... dan kebenaran terungkap, kau akan tetap di sisiku, bukan?”
Soraya menatap Rio dalam diam. Lalu ia tersenyum samar senyum yang tak bisa ditebak artinya.
“Selama kebenaran itu tidak membohongi nuraniku.”
Rio hanya menatapnya, tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia lalu berjalan perlahan masuk ke apartemennya. Soraya menatap pintu yang tertutup, lalu menghembuskan napas berat.
Kejadian sepuluh tahun lalu...
Kevin,Soraya, Anita dan Andi merayakan sebuah kemenangan besar dalam meniti karir disebuah perusahaan yanh sekarang dipimpin Kevin saat ini. Perusahaan yang diberikan kakek Daniel kepadanya.
"Selamat Bro, kau memang pengusaha muda yang berkompeten. Kau berhasil memenangkan tender ini." ucap Rio.
Rio menepuk bahu Kevin sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, diikuti oleh Anita dan Soraya yang berseru riang. Malam itu terasa sempurna—mereka muda, cerdas, dan berdiri di puncak dunia.
"Dan jangan lupa, kesuksesan ini bukan karena kau sendiri. Kita semua berjuang bareng dari awal." timpal Anita dengan senyum lebar.
Kevin tertawa kecil, mengangkat gelasnya untuk bersulang.
“Untuk kita. Tim terbaik yang pernah ada.”
Gelas-beradu, tawa bersambut. Tapi di balik senyum itu, Soraya menyimpan keresahan. Ia memandang Kevin lama, ada sesuatu yang tak ia ucapkan. Ia tahu Kevin ambisius, terlalu ambisius. Dan sejak proyek itu mulai, banyak hal yang jadi tanda tanya—termasuk kematian Xena yang pernah dekat dengan Rio, dan juga bagian dari tim mereka.
Setelah beberapa gelas wine, suasana mulai lengang. Rio keluar sebentar untuk menerima telepon. Anita menghilang ke balkon. Soraya duduk berdua dengan Kevin, musik jazz mengalun pelan di restoran rooftop malam itu.
“Kau tahu, Kev... kadang aku takut dengan caramu bekerja,” ucap Soraya tiba-tiba.
Kevin memutar gelas anggurnya, menatap cairan merah tua itu seolah mencari jawaban di dalamnya.
“Takut? Maksudmu?”
“Seolah-olah kau bisa mengorbankan siapa pun demi menang.”
Kevin tersenyum tipis. Tapi senyum itu dingin. “Itu dunia kita, Say. Kalau tak ada yang dikorbankan, kita yang akan jadi korban.”
Soraya menatapnya dalam-dalam. Saat itu ia tahu, Kevin telah berubah. Bukan lagi pria yang dulu ia kagumi. Ambisi telah menelan nuraninya.
Malam itu berakhir seperti biasa, dengan pelukan dan janji untuk tetap bersama. Tapi dua minggu setelahnya, Xena ditemukan tewas dalam kecelakaan mobil yang mencurigakan. Dan sejak saat itu, segalanya berubah. Kepercayaan retak. Persahabatan berantakan. Dan Kevin? Ia tetap melaju, naik ke puncak.
Secara kan....,, dulu Alya sempat pernah punya cinta utk tuan Kevin,, tapi apa daya cinta itu layu sebelum berkembang,, bahkan d balut dgn luka yg begitu dalam.
Sedangkan tuan Kevin,, butuh waktu utk dia menyadari perasaan yang sebenarnya utk Alya....,, dan ketika dia menyadari itu...., Alya sudah menemukan rumah yg baru.
Tapi,, d akhir cerita ini tuan Kevin sama Alya kan ....,, penasaran dgn season 2 nya Kaka.....
Qta tunggu sj kemanakah cintanya Alya akan benar2 berlabuh.....,, mengingat kondisi Andy yg kritis.
Aq bayangkan Andy akan minta tolong tuan Kevin utk menjaga Alya,, karna tugas Andy d dunia sudah selesai.... jahat yaa, maafkan aq ...,, hanya sj aq merasa ini tentang kisah cinta tuan Kevin dan Alya.....,, bukan Andy. ( Maaf yaaa kalo ad yg ga setuju,, just my opinion🙏🏻🙏🏻🙏🏻)
Sebagai mana Soraya mulai merasakan karnadari apa