NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Mia didorong masuk ke ruang IGD oleh dua petugas kesehatan. Tubuhnya tampak lunglai, sementara wajahnya begitu pucat. Di depan pintu IGD, Daniel berdiri dengan kaku. Wajahnya tampak tegang, matanya nyaris tak berkedip, dan jemarinya menggigil hebat.

“...Tolong… Tolong selamatkan dia…” desisnya lirih, seperti sebuah doa yang sedang tersesat di udara.

Waktu berjalan dengan lambat, seolah seluruh dunia menyesuaikan detaknya dengan detak jantung Daniel yang tidak menentu. Ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, dan menatap ruang gawat darurat yang kini tertutup rapat.

Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Seorang dokter pria melangkah keluar dengan wajah tenang tetapi tatapan matanya penuh makna.

"Dia sudah dalam kondisi stabil," ujar dokter itu dengan tenang. "Untuk sementara waktu, biarkan dia beristirahat total dan hindari segala bentuk tekanan emosional."

Daniel menghela napas panjang, tubuhnya hampir saja roboh karena merasakan lega yang begitu besar. “Terima kasih, Felix.”

Dokter Felix, yang mengenalnya sejak lama, merupakan kenalan Daniel, ia melangkah mendekat.

"Siapa sebenarnya gadis ini, Daniel? Aku belum pernah melihatmu setegang ini sebelumnya." alisnya bertaut dalam kebingungan.

Daniel menundukkan kepalanya."Dia… adik kelasku saat SMA." suaranya terdengar rendah dan bergetar.

Felix menatapnya tajam. “Dan kau membiarkannya minum sampai separah ini? Lambungnya mengalami pendarahan gastrointestinal. Daniel, itu bisa berakibat fatal."

Mata Daniel membelalak. “Apa? Kenapa dia bisa sampai separah itu?”

Felix menggeleng pelan. “Fisiknya memang sangat lemah. Besok, kau bawa dia untuk pemeriksaan menyeluruh. Jangan menganggap ini enteng. Biarkan dia membaca sendiri hasilnya nanti, agar dia bisa berhati-hati dalam menjaga kesehatannya”

Daniel mengangguk lemah. “Baik… Terima kasih, Felix.”

Felix menepuk bahunya sebentar sebelum kembali pergi ke ruangan pasien selanjutnya.

Daniel membuka pintu perlahan. Ia melangkah masuk dan menatap sosok Mia yang terbaring di ranjang. Selang infus menempel di tangannya, dan wajahnya tampak begitu pucat. Napasnya pelan dan teratur, namun sorot letihnya tetap terlihat.

Dengan perlahan, Daniel menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Matanya tidak lepas dari wajah Mia. Ada rasa getir dalam setiap helaan napasnya.

"Aku sungguh bodoh…" bisiknya lirih. “Tapi kau lebih bodoh lagi, karena menyakiti dirimu sendiri seperti ini.”

Kemudian ia mengulurkan tangannya, menyelipkan helaian rambut Mia yang menempel di pipinya, lalu menyentuh pipi dingin itu dengan lembut.

Tiba-tiba, dari bibir Mia yang hampir tidak bergerak, terdengar gumaman lemah. Suaranya terputus-putus, seakan berasal dari mimpi yang kelam.

"Selamatkan aku… Chris… Sakit… Christopher… Tolong…"

Tubuh Daniel menegang. Seketika itu juga, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia buru-buru menyeka dahi Mia yang basah, lalu menggenggam tangannya dengan erat.

"Mia… Aku di sini," ucapnya dengan suara bergetar.

Ia menunduk, lalu menempelkan tangan Mia ke dahinya, seolah ingin menyampaikan seluruh emosinya lewat sentuhan itu.

“Aku bukan Christopher…” bisiknya pelan. “Ini aku… aku Daniel. Aku yang bersamamu sekarang…”

Ia menggenggam tangan itu lebih erat, berharap sentuhannya mampu menyampaikan bahwa dia tidak akan pergi.

***

Riuh rendah tawa dan suara gelas berdenting kini hanya tinggal kenangan samar yang tertinggal di udara. Rumah besar itu perlahan kembali tenggelam dalam keheningan. Para tamu telah pergi, menyisakan aroma anggur merah dan jejak langkah di lantai marmer.

Minho duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja menutup di belakang tamu terakhir. Sementara itu, Lusy tampak kelelahan. Ia bersandar di sofa dengan tubuh yang lunglai, namun ekspresi wajahnya tetap mempertahankan kelembutan yang dibuat-buat.

"Aku minta maaf," ucap Lusy pelan, nada suaranya seperti ingin mencairkan suasana. "Aku tidak seharusnya bersikap seperti itu tadi."

Christopher yang berdiri di dekat jendela, segera menoleh dengan pelan. “Kau tidak perlu meminta maaf, Lusy. Ini pestaku. Aku yang mengundangmu ke sini.” ucapnya dengan suara rendah.

Lusy tersenyum samar, menyembunyikan sesuatu di balik matanya yang berkedip pelan. “Aku hanya tidak enak padamu.”

Christopher tidak merespons. Namun beberapa detik kemudian, ia mengambil jaket Lusy dan menyerahkannya. "Ayo, aku antar pulang."

Setelah mengantar Lusy dan kembali ke rumah, Christopher langsung menuju ke ruang kerjanya. Lampu gantung menyala temaram, membiaskan cahaya lembut di dinding putih pucat. Ia membuka dokumen di mejanya, tetapi matanya tidak menangkap satu pun isi halaman itu. Yang ada hanya bayangan suara lirih dari masa lalu yang terlalu sulit untuk diabaikan.

Mia.

Nama itu masih bergaung di relung hatinya, meski bibirnya tidak pernah lagi menyebutnya beberapa saat yang lalu.

Di seberang ruangan, Jaeha menutup bukunya dan menatap Christopher dengan mata yang sudah terlalu sering menyaksikan luka yang tidak pernah diobati.

"Kalau kau memang mengkhawatirkannya, kenapa tidak kau cari saja dia? Kau tidak bisa terus-terusan berpura-pura seperti ini." ucap Jaeha mendekat.

"Aku tidak berpura-pura," sahut Christopher, suaranya berat.

Jaeha berdiri di belakangnya, memperhatikan tangannya yang memegang lembar dokumen, lembar yang sama yang dibolak-balik sejak ia kembali.

"Kau bahkan tidak membaca apa pun dari tadi, Chris. Halaman itu sudah kau buka tiga kali. Bahkan aku hafal kalimat pertamanya."

Christopher menarik napas panjang. "Apa gunanya aku mencarinya kalau dia tidak ingin ditemukan?"

"Tidak ingin ditemukan... atau takut ditemukan olehmu?" Jaeha menimpali, "Kau ini keras kepala, tapi hatimu terlalu jujur. Itulah kelemahanmu."

Christopher tidak menjawab. Tapi diamnya bukan tanda dia acuh, melainkan tanda gentar. Karena dalam diamnya itulah suara hatinya berbicara paling keras.

Keesokan harinya, Christopher melangkah masuk ke kantor dengan langkah tegap dan wajah datar. Jas hitamnya tampak rapi, namun aura dingin yang menyelubungi tubuhnya cukup untuk membuat suasana di koridor utama mendadak menegang.

Bisik-bisik pelan terdengar begitu saat dia lewat. Para karyawan menunduk, dan pura-pura sibuk di depan meja kerja mereka. Namun Christopher tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

“Itu Tuan Chris... Dia sudah datang,” bisik salah satu karyawan kepada rekannya.

“Kau sudah lihat videonya? Yang viral semalam?” sahut yang lain, hampir tertelan oleh suara langkah kaki yang semakin dekat.

Langkah Christopher tiba-tiba terhenti. Ia menoleh tajam ke arah dua orang karyawan yang sontak membatu di tempat. Mata mereka membelalak, kemudian buru-buru kembali menunduk dan memfokuskan pandangan ke layar komputer, seolah mereka tidak pernah berbicara apa pun.

Lift kembali tertutup di belakang punggungnya saat ia berjalan menuju ruang kerjanya di ujung koridor. Di sana, Brian sudah berdiri menunggunya dengan wajah panik dan napas yang tak beraturan.

"Tu-Tuan Christopher!" serunya terbata. "Akhirnya Anda datang... Ada masalah. Ini masalah besar."

Christopher mengangkat alisnya. "Masalah?" tanyanya datar.

Brian menelan ludah, lalu sedikit menunduk, suaranya mengecil. "Seseorang mengunggah video pesta ulang tahun Anda ke internet. Video Anda... saat bermain piano bersama Nona Lusy."

Christopher tidak langsung merespons. Ia melangkah melewati Brian, membuka pintu ruangannya dan langsung menuju meja kerjanya. Jari-jarinya mengetik cepat di atas keyboard laptop, dan dalam hitungan detik, ia menemukan yang dimaksud.

Sebuah judul menyala di layar:

“Christopher Lee dan Lusy Ahn — Terlalu Dekat di Malam Ulang Tahun?”

Ia mengklik video itu. Suara denting piano yang lembut mengalun, mengisi ruangan dengan harmoni yang seharusnya menyenangkan. Di layar, ia dan Lusy duduk berdampingan di depan grand piano, dan tersenyum samar, jari-jari mereka menari di atas tuts.

Christopher menatap layar itu selama beberapa detik. Senyuman yang terekam di sana terasa asing baginya, senyuman yang muncul secara refleks.

Brian berdiri di ambang pintu, ia merasa gelisah. “Komentar-komentarnya sangat liar, Tuan.”

Tanpa menoleh, Christopher bertanya, “Apa yang mereka katakan?”

Brian menggigit bibirnya. "Banyak yang berspekulasi tentang hubungan pribadi Anda dengan Nona Lusy. Media juga mulai meliput. Ini sudah menjadi topik hangat di forum-forum bisnis."

Christopher menghela napas dalam-dalam, lalu menutup laptopnya dengan suara keras. Dentuman itu membuat Brian sedikit tersentak.

"Apakah mereka tidak punya hal lain untuk dikerjakan?" gumamnya dingin.

Brian ragu sejenak, lalu berkata, “Bagaimana jika berita ini sampai ke telinga Ibu Anda?”

Christopher menatapnya tajam, kemudian suaranya tegas. “Itu bukan urusanmu. Aku akan menanganinya sendiri.”

Brian mengangguk cepat. "Kalau begitu, saya pamit keluar terlebih dahulu."

Namun, sebelum Brian sempat berbalik, suara Christopher menahannya.

“Tunggu. Kirimkan tautan videonya padaku.”

Brian segera mengangguk dan mengirimkan tautan tersebut melalui email sebelum akhirnya keluar dengan langkah cepat.

Begitu ia tinggal sendiri, Christopher membuka kembali video itu. Musik kembali memenuhi ruangannya. Untuk sesaat, pikirannya kosong. Ia menatap layar itu, bukan pada gambarnya sendiri, tapi pada atmosfer dalam rekaman itu. Lusy tampak nyaman di sebelahnya.

Namun yang membuat hatinya mengeras adalah komentar-komentar yang memenuhi kolom di bawahnya.

Komentar A: “Mereka terlihat terlalu mesra untuk sekadar teman.”

Komentar B: “Apakah pasangan rahasia dari dunia bisnis?”

Komentar C: “Siapa sangka Tuan Chris bisa tersenyum seperti itu?”

Christopher memijat pelipisnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Kemudian satu tarikan napas dalam ia hembuskan perlahan.

***

Ruang pasien itu terlihat sunyi. Hanya suara detak mesin pemantau dan napas pelan seorang gadis muda yang mengisi keheningan. Di tepi tempat tidur, seorang pria duduk diam, memandangi wajah yang selama bertahun-tahun hanya bisa ia lihat dalam kenangan.

Daniel menatap Mia dengan mata sendu, seolah tidak percaya bahwa ia benar-benar ada di sana, tepat di hadapannya. Tubuhnya yang dulu tampak kuat kini begitu ringkih, dan wajahnya terlihat pucat di bawah sinar lampu rumah sakit yang lembut.

“Akhirnya… aku bisa melihatmu lagi dari dekat, Mia,” gumamnya dalam hati.

Dengan lembut, ia mengulurkan tangannya, menyentuh kening Mia yang sedikit berkeringat. Jarinya kemudian merapikan alis gadis itu yang berkerut.

“Tenanglah... Kau tidak perlu bermimpi buruk lagi,” bisiknya lirih, suaranya nyaris tercekat oleh emosi yang tidak pernah sempat ia utarakan.

Namun, sebelum ia sempat menarik tangannya kembali, tubuh Mia bergerak perlahan. Kelopak matanya yang semulanya tertutup kini mulai terbuka, menyambut dunia dengan tatapan yang samar dan bingung.

Daniel terlonjak, jantungnya berdetak panik. Ia langsung berdiri dan mundur beberapa langkah.

"...Hm?" gumam Mia pelan, suaranya serak dan hampir tidak terdengar.

Daniel membeku ditempat, wajahnya memerah karena rasa gugup. Bibirnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, dan ia terlihat sangat canggung.

“Daniel?” suara itu akhirnya keluar dari bibir gadis itu dengan pelan.

Daniel menunduk, tak berani menatap matanya. “Ehem… Apa kau ingin minum? Aku akan mengambil air untukmu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia segera berbalik dan melangkah keluar kamar. Lalu pintu tertutup dengan pelan, menyisakan kesunyian yang terasa menyesakkan.

Beberapa menit kemudian, Daniel kembali dengan segelas air di tangannya. Ia melangkah dengan pelan saat ia mendekat ke sisi tempat tidur.

“Aku akan membantumu bersandar dulu,” ujarnya, suaranya sedikit gemetar.

Ia menyanggah bahu Mia dengan hati-hati, lalu menekan tombol sandaran ranjang agar sedikit naik. Mia menurut, lalu kepalanya bersandar lemah. Saat ia menerima gelas dari tangan Daniel, matanya sempat menatap wajah pria itu sejenak.

“Pelan-pelan saja,” kata Daniel sambil tetap mengawasinya.

Setelah beberapa tegukan, Mia menolak dengan pelan.

“Tidak, terima kasih,” ucapnya, lalu memijat pelipisnya yang terasa berat.

“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya lemah.

Daniel terdiam sejenak. Ada keraguan di matanya sebelum akhirnya ia memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran seluruhnya.

“Kau pingsan di bar semalam. Pelayan bar menghubungiku, dan aku langsung memanggil ambulans.”

Mia mengangguk pelan, seolah terlalu lelah untuk merespons lebih.

“Dokter bilang lambungmu sangat lemah,” lanjut Daniel dengan nada khawatir. “Kau tidak boleh minum anggur merah lagi, Mia. Ini bisa sangat berbahaya untukmu.”

“Aku tahu,” jawab Mia pendek. Nada suaranya terdengar pasrah, seolah ia sudah tidak peduli lagi pada dirinya sendiri. Kepalanya tertunduk, dan ekspresi lelah terpancar jelas dari wajahnya.

Daniel memandangi Mia dengan mata berkabut. Ingin sekali ia menggenggam tangan gadis itu dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi bibirnya tetap diam, seperti terkunci oleh perasaan bersalah yang belum sempat ia akui.

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!