Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mogok
“Kenapa kamu yang melakukannya?” tanya Abi Aji kala mendapati istrinya sedang menjemur pakaian di belakang rumah.
“Kalau bukan aku, siapa lagi?”
“Bukankah biasanya Arumi?” Sari menghembuskan nafas kasar.
Sejak Arumi hari dimana mereka mengatakan agar Arumi tinggal di luar, Arumi tidak melakukan pekerjaan rumah seperti biasa beberapa hari ini. Sehabis subuh, Arumi akan pergi keluar rumah dan kembali setelah makan malam.
Abi Aji tidak mengetahuinya karena beliau memang selama ini mengabaikan kegiatan Arumi dan Arumi juga tahu bagaimana mencari waktu agar tidak terlihat abinya.
“Arumi sudah beberapa hari ini tidak melakukan pekerjaan rumah. Aku dan Adiba yang melakukannya, itupun jika Adiba tidak menolak.”
“Arumi ke mana?”
“Aku tidak tahu.”
“Sekarang dia ada dimana?”
“Tidak tahu.” Abi Aji mengernyitkan alisnya.
Seingatnya, Arumi tidak pernah seperti ini. Selain rumah, hanya ada satu tempat dimana Arumi berada. Segera saja ia pergi ke rumah sang ibu untuk mencari Arumi. Sayangnya, ia tidak menemukan Arumi di sana.
Ponsel Arumi juga tidak ada jawaban. Abi Aji yang sedang bingung, melihat Adiba yang sedang bersantai menonton tayangan kesukaannya.
“Apa kamu tahu dimana Arumi?” tanya Abi Aji.
“Aku melihatnya pergi ke seberang jalan tadi, Bi. Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Lanjutkan saja menontonnya!” Adiba mengangguk dan kembali fokus dengan layar televisi.
Abi Aji berjalan ke seberang jalan dan pergi ke rumah Om Yanuar. Beliau tidak menemukan siapapun di rumah karena di jam seperti ini, adiknya tidak ada di rumah melainkan di kebun. Tanpa pikir Panjang, Abi Aji pergi ke kebun untuk mencari Om Yanuar.
Sesampainya di kebun, Abi Aji melihat Om Yanuar yang sedang menyemprot gulma. Pandangannya beralih ke pondok yang biasa digunakan untuk beristirahat dan beliau menangkap bayangan Arumi yang menggunakan caping.
Segera Abi Aji menghampiri pondok dan berhadapan dengan Arumi.
“Abi…” Arumi terkejut dengan kedatangan abinya.
“Ada apa, Mas?” tanya Tante Nanik.
“Aku ada perlu dengan Arumi.”
“Katakan saja! Sebentar lagi kami mau pulang.” Dengan wajah masam, Abi Aji menatap Arumi yang sedari hanya menunduk.
Arumi tidak tahu kenapa abinya sampai menyusulnya di kebun Om Yanuar. Ia hanya bisa berdoa tidak ada masalah serius yang dibawa abinya.
“Kenapa di sini?” tanya Abi Aji.
“Membantu Om dan Tante.”
“Mereka sudah biasa tanpa bantuanmu! Pekerjaan rumah yang membutuhkanmu.” Tante Nanik yang awalnya duduk, sontak berdiri mendengar perkataan Abi Aji.
“Selama ini kamu menganggap Arumi pembantu, Mas?” sergah Tante Nanik.
Om Yanuar yang mendengar suara istrinya segera meletakkan tabung yang ada di gendongannya dan berlari ke pondok.
“Bukan.” Jawab Abi Aji.
“Kalau bukan, kenapa kamu mengatakan itu? Bukannya di rumah ada anak dan istrimu? Untuk apa kamu mencari Arumi kemari jika hanya menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah?”
“Sabar…” bisik Om Yanuar.
“Sari sedang hamil dan Adiba…” kalimat Abi aji menggantung.
Adiba sedang menonton televisi saat ibunya sedang menjemur pakaian dengan perut yang membesar. Entah mengapa, Abi Aji merasa hatinya sedang digelitik.
“Adiba apa? Bermalas-malasan?” skakmat Tante Nanik.
“Arumi yang biasanya mengerjakan semuanya. Aku mencarinya karena beberapa hari ini Arumi tidak melakukan apapun di rumah.”
“Kamu baru sadar sekarang, Mas?” tanya Om Yanuar dengan nada mengejek.
Abi Aji hanya menatap Om Yanuar datar, sedangkan Arumi yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya melihat abi dan omnya.
“Kamu yang memintanya pergi dari rumah, Mas. Sekarang Arumi tidak melakukan apa yang biasanya dia lakukan, anggap saja sebagai Latihan keluargamu tanpa Arumi kelak.”
“Tapi dia masih ada waktu seminggu.”
“Mas! Jangan tidak punya perasaan seperti itu! Arumi dibawa ke rumah sebagai anak bukan pembantu!” Om Yanuar meninggikan suaranya.
“Benar! Jika saja Mbak Im masih ada, beliau tidak akan rela kamu menganggap Arumi sebagai pembantu.” Timpal Tante Nanik.
“Maafkan Arumi, Bi. Arumi juga ingin merasakan hari tanpa melakukan pekerjaan rumah sedikitpun.” Arumi memberanikan diri buka suara agar abi dan omnya tidak bertengkar.
Abi Aji menatap dalam Arumi yang segera memalingkan wajah. Bukan karena Arumi tidak menghormatinya, tetapi karena takut.
Ingatan berkelebat di kepala Abi Aji, dimana dirinya yang selama ini mengabaikan Arumi dan hanya memberikan perhatian alakadarnya. Beliau selama ini berpikir apa yang dilakukan Arumi sudah sepantasnya karena keluarganya telah membesarkan dan memberikan tempat tinggal.
Tetapi mendengar kata-kata Arumi, Abi Aji baru sadar kalau selama ini ia tidak pernah melihat Arumi melakukan apa yang disukanya. Tanpa sepatah kata, Abi Aji berbalik dan pergi begitu saja.
Om Yanuar dan Tante Nanik mengabaikannya dan meminta Arumi untuk melakukannya seperti beberapa hari ini. Jika perlu, Arumi bisa tinggal di rumahnya sebelum berangkat ke Bumi Angling Dharma.
“Arumi tetap di rumah Abi saja, Om, Tante. Arumi masih mau mengenang kenangan dengan Umi.” Tante Nanik memeluk Arumi dengan sayang dan Om Yanuar mengusap kepala Arumi.
Sementara itu, Abi Aji yang sudah sampai di rumah tidak mengatakan apapun dan masuk ke dalam kamarnya. Kamar dimana almarhum istrinya menghabiskan waktu dengan duduk bersandar di tempat tidur dan menatap keluar jendela.
Ingatannya kembali pada percakapannya dengan Umi Im dulu, saat beliau mulai tidak bisa melakukan apapun dan digantikan Arumi yang masih duduk dibangku kelas 5 SD.
“Kita bayar orang saja untuk membersihkan rumah, Bi. Kasihan Arumi kalau dia semua yang kerjakan. Di umurnya, ia masih harus banyak bermain.”
“Dia yang mau, aku tidak memaksanya untuk mengerjakan semuanya.”
“Aku tahu. Tetapi Arumi juga berhak untuk bermain seperti teman sebayanya, Bi. Lebih baik bayar orang, daripada kita memperlakukan Arumi seperti pembantu.”
“Selama dia mau, biarkan saja! Nanti kalau dia sudah tidak sanggup, baru dipikirkan lagi.”
Pada kenyataannya, setelah perbincangan mereka kala itu, Abi Aji tidak pernah menanyakan perasaan Arumi dan menganggap apa yang dilakukan Arumi adalah bentuk bakti kepada mereka yang telah membesarkannya.
Dan saat mendengar keinginan Arumi untuk pertama kali, sebuah batu besar bersarang dihatinya.
“Aku sudah menjadi ayah yang buruk selama ini.” gumam Abi Aji.
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Sari yang masuk ke dalam kamar.
“Tidak apa-apa.”
“Apa kamu tadi mencari Arumi?”
“Ya. Dia ada di tempat Yanuar.”
“Apa yang dia katakan?”
“Tidak ada. Dia hanya sedang membantu Yanuar mengurus kebun.”
“Aku kira dia sedang mogok melakukan pekerjaan rumah.” Abi Aji menatap istrinya dengan tajam.
“Jangan melihatku seperti itu, Mas! Kamu sendiri juga merasa kalau keberadaan Arumi itu berguna.” Sari berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi.
Pikiran Abi Aji bercampur aduk. Sari yang dikenalnya tidak akan mengatakan hal itu karena selama ini istrinya selalu mengalah jika waktunya dihabiskan bersama Imamah. Bahkan Sari yang selalu mengingatkannya untuk mendahulukan Imamah.
“Apa karena kehamilannya?” tanya Abi Aji yang masih berprasangka baik.