Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musuh dalam Selimut
Jarum jam menunjuk angka 11.55 WIB. Angin semilir masuk melalui celah ventilasi dan jendela. Dalam ruangan yang sepi, seorang anak perempuan diam-diam masuk dengan mengendap-endap dan membuka lemari Haisya. Sementara itu, anak perempuan lain berjaga dan mengawasi dari luar pintu.
"Woi, Nur, cepetan! Nanti keburu ada yang datang!" seru anak yang di luar.
"Iya-iya, sabar, lagi milih buku mana yang mau gua ambil," sahut Nur dari dalam.
"Ambil aja semua buku materinya!" usul temannya.
"Oh, iya, pintar!"
"Siapa duluuu… Rere gitu loh… pintar dari lahir, ha ha ha…" ucap Rere penuh percaya diri.
"PD banget lo! Kalau lo pintar, enggak mungkin, nih, sekarang kita nyuri buku-bukunya si Haisya biar dia enggak belajar dan kita bisa kalahin dia," balas Nur.
"He he he he… iya, ya…" Rere terkekeh.
"Sudah, ayo cabut!" ajak Nur.
***
Dalam waktu tiga pekan ke depan, para santri akan menjalani UAS semester genap. Semuanya mempersiapkan diri dengan baik.
Saat yang lain sibuk belajar, Haisya malah mondar-mandir ke sana kemari, membuka dan menutup tasnya.
"Ukhti, madza ta’malina?" tanya salah seorang teman.
"Abhas kitabi," jawab Haisya.
"Ayyuka do’at?"
"Maa ‘aroftu."
Semua tahu buku Haisya hilang, tetapi tak satupun dari mereka yang berinisiatif meminjamkan bukunya atau sekadar mengajaknya belajar bersama.
"Yah… gimana, nih? Sepuluh menit lagi pengawas datang dan aku belum belajar apapun," keluh Haisya dengan wajah cemas. Namun, Nur dan Rere justru tersenyum sinis, seolah mengejek Haisya.
Entah apa yang ada di pikiran Haisya sehingga ia nekat menuju ruang guru dan meminjam buku rangkuman materi milik gurunya. Waktu yang tersisa hanya lima menit. Haisya membaca poin-poin terpenting saja karena waktu yang kurang memadai.
Kriiinggg! Bel berbunyi. Semua murid meletakkan buku-bukunya dan mengeluarkan tas mereka ke depan ruang ujian. Pengawas menghampiri peserta ujian satu per satu untuk membagikan kertas soal. Waktu untuk mengerjakan soal adalah 120 menit.
Usai mengerjakan soal ujian Nur mendekati Haisya.
"Kayfa anifan? Tastati’?" Nur berpura-pura peduli, padahal ia hanya ingin memastikan jika Haisya kebingungan dan tidak dapat menjawab soal dengan benar. Namun, bukannya menjawab, Haisya malah bertanya balik dengan heran.
"Antum kayfa?"
"Soalnya tadi susah-susah banget. Yang aku pelajari ternyata nggak keluar, jadi aku jawabnya ngarang, deh, yang penting keisi, he he he…" cerita Nur.
"Oh, gitu, ya… kalau aku, alhamdulillah tadi bisa mengerjakan dengan baik, semua soal dapat kujawab dengan benar. Aku bersyukur banget soal yang diberikan tidak terlalu sulit," kata Haisya.
"Bukannya kamu nggak belajar, ya? Bukumu hilang?" tanya Nur heran.
"Iya… tapi alhamdulillah aku diberi pinjaman buku oleh ustaz 5 menit sebelum ujian," jawab Haisya.
***
POV Nur
Kali ini aku benar-benar nekat. Aku benci banget sama anak baru itu. Aku nekat melakukan berbagai cara agar dia tidak bisa ikut ujian.
Lihat saja, hari ini dia nggak akan ikut ujian dan kalaupun ikut pasti dia tidak menjawab soal dengan benar, ha ha ha…
Rupanya perkiraanku salah. Dia tetap saja tidak kekurangan akal, dia malah pinjam buku ke ustaz. Dia juga bisa mengerjakan soal dengan mudah. Sedangkan aku… aku malah kesulitan menjawab soal. Sebenarnya apa sih yang membuat semua orang suka sama dia? Kenapa hampir seluruh warga pondok, enggak Abah dan Umi, ustaz dan ustazah, santri putra maupun santri putri semua suka sama anak itu?
Hmm… lihat saja nanti, Sha, gua bakal bikin lo enggak betah ada di pondok ini, gua bakal bikin lo sengsara!
POV Nur off
***
Kali ini Nur bekerja sama dengan Aliva. Mereka menyusun rencana untuk menjatuhkan Haisya sejatuh-jatuhnya. Mereka menyusun siasat jahat untuk menjebak Haisya.
"Sha, kamu sibuk nggak?" tanya Aliva.
"Eh, Via, mau minta tolong apa, Vi?" Haisya balik bertanya.
"Temani gue ke taman pusat kota, yuk."
"Ngapain ke sana?"
"Ya, refreshing, kek, jenuh tahu di dalam pondok terus."
"Ya sudah, aku mau minta izin ke ustazah dulu, ya…"
"Eh, gak usah! Aku sudah izin, kok. Langsung aja, yuk!"
"Ya sudah, yuk." Mereka berdua akhirnya pergi ke taman pusat kota.
Sesampainya di tujuan, Haisya justru di tinggal sendirian.
"Sha, aku tinggal ke toilet, ya… kamu jangan ke mana-mana, ya…" pesan Aliva.
"Iya, iya… tapi jangan lama-lama, ya…" jawab Haisya. Via hanya mengacungkan jempolnya dan pergi meninggalkan Haisya sendirian di bangku taman.
Bruk! Seseorang berhasil mendaratkan bokongnya di samping Haisya. Kedatangannya benar-benar mengejutkan Haisya yang sedang membaca novel.
"Baca apa, Mbak?" Orang itu menggeser badannya mendekati Haisya.
"Siapa kamu?" Haisya bertanya dengan nada ketus.
"Oh, iya, kenalkan saya Ricky." Orang itu mengulurkan tangannya. Namun, Haisya enggan menjabat tangan itu, melainkan hanya menyatukan kedua telapak tangannya sebagai ganti berjabat tangan. Orang itu yang mendapat perlakuan itu pun menarik kembali tangannya dan memberikan senyuman sesaat.
Dari balik semak-semak, Via mengintai keduanya dengan kamera di tangannya. Cekrek! Aliva berhasil mengambil beberapa foto Ricky dan Haisya yang sedang berduaan.
Karena respons Haisya yang teramat jutek dan cuek, akhirnya Ricky meninggalkan Haisya. Aliva datang dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Haisya pun tidak bercerita apapun perihal laki-laki yang mendatanginya barusan.
***
Hari demi hari berlalu. Para santri masih melakukan aktivitasnya seperti biasa. Namun ada yang berbeda kali ini.
Seorang anak kecil duduk di serambi sekolah, wajahnya murung seperti menahan beban.
"Riska! Kok sendirian?" tanya Haisya.
"Iya, Ukhti Haisya, ngapain di sini?" Riska balik bertanya.
"Enggak apa, cuma lewat terus lihat kamu, jadi Ukhti samperin."
"Kok Ukhti nyamperin aku sih, nggak malu kalau nanti ada yang lihat?"
"Loh, kenapa harus malu?"
"Ya kan Ukhti pengurus, Ukhty dihormati, Ukhti
juga anak pintar, disukai banyak orang. Emangnya Ukhti nggak malu dekat sama anggota kayak aku? Sudah jelek, miskin, pintar juga nggak, semua orang menjauh dariku, kalau Ukhti dekat-dekat aku, nanti wibawa Ukhti turun."
Haisya langsung menangkup kedua pipi Riska dengan telapak tangannya, dan menatap bocah itu dalam-dalam.
"Ris, dengarkan Ukhty! Baik pengurus maupun anggota itu sama saja, yang membedakan hanyalah tanggung jawabnya. Pengurus bertugas membantu pondok terkait mengurusi, mengatur segala hal, permasalahan, dan kebutuhan santri. Sedangkan anggota, mereka berkewajiban mematuhi dan menaati segala peraturan dan tata tertib yang ada. Namun, biarpun pengurus, mereka juga tetap sama dengan anggota yang harus mematuhi peraturan juga.
Dan masalah wibawa, itu nggak ada sangkut pautnya dengan kedekatan seseorang. Orang bisa mendapatkan wibawanya karena sikap mulia yang ia miliki, orang yang berwibawa akan dihormati karena rasa segan, bukan karena rasa takut. Dan itu yang sedang Ukhti terapkan ke diri Ukhti sendiri. Ukhti jadi pengurus bukan untuk memperoleh kedudukan dan ingin dihormati, melainkan Ukhti ingin lebih dekat dan bisa memahami santri lebih dalam, agar Ukhti bisa membantu dan mengatasi segala permasalahan yang santri alami."
"Tapi kenapa kebanyakan pengurus hanya marah-marah, nyuruh-nyuruh, dan suka banget menghukum? Mereka juga takut dekat dengan anggota biasa hanya karena takut wibawanya akan turun," tanya Riska.
"Yaah… itulah yang sedang terjadi di pondok kita ini. Jujur saja Ukhti juga kurang sreg dengan teman-teman pengurus yang lain, tapi ya sudahlah. Oh iya, kamu kenapa murung gitu?"
"Em… itu masalah bulanan. Aku sudah nunggak tiga bulan, dan kalau nggak segera dibayar aku nggak bisa sekolah di sini lagi, hik hik." Riska terisak.
Haisya langsung memeluk Riska dengan hangat. Riska menangis dalam pelukannya, ia merasa tenang dalam dekapan Haisya. Tiba-tiba Riska tersadar akan sesuatu.
"Ukhti… menjauhlah dariku!" Riska melepas dan mendorong tubuh Haisya.
"Loh, kenapa?" Haisya bingung.
"Jangan dekat-dekat sama aku, Ukhti, apalagi meluk aku, nanti badan Ukhti kotor."
Haisya merasa bingung dan langsung memeluk tubuh Riska. "Oke, kalau kamu nggak mau dekat dengan saya yang berstatus sebagai pengurus, maka perbolehkan saya memelukmu sebagai kakakmu, boleh hem?"
Riska mendongakkan wajahnya menatap mata Haisya dalam-dalam. "Kakak, ti?"
"Iya… kakak, kamu bisa anggap saya seperti kakakmu sendiri, bukankah di pondok ini kita semua adalah keluarga?"
Riska tersenyum bahagia, ia mengeratkan pelukannya. "Mulai sekarang kamu nggak usah sungkan-sungkan, ya!"
"Makasih, Ukhti…."
"Oh iya, sekarang kamu nggak usah cemas, nggak usah pikirin masalah uang bulanan lagi. Tugasmu cuma satu, yaitu belajar. Jadi fokuslah dalam belajar, tunjukkan bahwa dirimu bisa."
"Tapi kalau aku nggak segera bayar, aku akan dikeluarkan."
"Sudah… tenang saja! Kamu masih bisa sekolah, kok. Ingat, Allah pasti membantu."