“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Risa kembali ke rumah yang kini terasa begitu hening.
Mama dan Papa Aditya memutuskan untuk tinggal beberapa hari menemani, tapi saat ini, Risa memilih menyendiri.
Perlahan, ia melangkah menuju kamar Aditya.
Setiap sudut ruangan masih sama. Seragam pilot yang tergantung rapi di balik pintu, sepatu hitam mengkilap di sudut lemari, dan jam tangan yang biasa dipakai Aditya tergeletak di atas meja.
Risa duduk di tepi ranjang. Dingin. Sepi.
Ia mengangkat bantal Aditya, memeluknya erat. Tangisnya pecah—bukan lagi histeris, tapi pelan, menyayat. Seakan tubuhnya tak kuat menahan rindu.
"Mas... aku pulang. Tapi rumah ini rasanya bukan rumah lagi tanpamu..." ucap Risa.
Ia membuka laci kecil di samping ranjang dan menemukan sebuah buku catatan kecil.
Saat dibuka, tertulis tanggal-tanggal penting—ulang tahun Risa, tanggal pernikahan mereka, dan rencana Aditya membelikan hadiah ulang tahun untuknya:
"Sepatu kulit coklat, semoga pas di kaki Risa."
Tangannya gemetar.
“Mas ternyata selama ini kamu memperhatikan...”
Ia kembali terisak, namun di tengah air mata, ada senyum kecil. Ia tahu, cinta Aditya tidak pernah benar-benar pergi.
Risa berdiri mematung di depan lemari. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintunya perlahan, lalu meraih seragam pilot milik Aditya yang tergantung rapi di sana.
Seragam itu masih tercium wangi tubuhnya—campuran aroma sabun, parfum maskulin, dan sedikit bau khas dari perjalanan panjang.
Perlahan, ia memeluk seragam itu erat-erat, seakan Aditya masih di sana, memeluknya kembali. Bahunya bergetar pelan, menahan tangis yang nyaris pecah.
"Mas... aku rindu," bisiknya lirih.
"Aku belum siap... tapi kamu sudah pergi sejauh ini."
Ia duduk di lantai kamar, memeluk seragam itu seperti harta paling berharga.
Di antara keheningan dan bayang-bayang kenangan, Risa hanya bisa berharap—semoga cinta yang pernah mereka jalin tetap hidup dalam ingatannya.
Di balik mata yang sembab, ia menyadari bahwa luka ini akan lama sembuhnya… tapi cinta itu akan tetap tinggal.
Risa membuka laptopnya dengan tangan gemetar. Layar menampilkan halaman terakhir novel yang ia tulis, bab tentang kehilangan dan cinta yang tak sempat selesai. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik. Kata demi kata mengalir, seolah hatinya yang menulis, bukan tangannya.
Di sela-sela menulis, notifikasi komentar masuk membanjiri akunnya di platform menulis online.
@ Kak, jangan menyerah ya. Bisa saja tokohnya belum benar-benar meninggal.
@ Aku punya firasat... Aditya masih hidup.
@ Kadang dalam dunia nyata, keajaiban itu nyata, Kak Risa.
Risa membaca komentar itu satu per satu, air matanya kembali jatuh. Hatinya yang selama ini mengunci rapat kemungkinan itu, tiba-tiba bergetar.
"Mungkinkah ada keajaiban?" gumam Risa.
Ia menatap layar, lalu menoleh ke arah jendela kamar Aditya yang menghadap langit sore.
Seketika, harapan kecil tumbuh, meski samar—seperti embun yang tetap hadir meski malam begitu dingin.
“Kalau memang kau masih hidup, pulanglah, Mas… Aku masih di sini.”
****
Sementara itu, di sebuah rumah sakit kecil di pinggiran kota, suasana sunyi menyelimuti sebuah ruang perawatan intensif.
Di sana, seorang wanita tua duduk diam di kursi kayu yang sudah mulai lapuk, menatap dengan mata sembab pada sosok lelaki yang terbaring tak berdaya di ranjang.
Tubuh lelaki itu penuh perban. Wajahnya rusak dan lebam, nyaris tak dikenali.
Kaki kirinya dibalut gips tebal, menandakan patah yang serius.
Namun, denyut jantung yang stabil di layar monitor menjadi satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup.
Wanita tua itu membelai rambut lelaki itu dengan lembut.
"Nak, aku tidak tahu siapa kamu... tapi Tuhan pasti punya alasan kenapa kamu diselamatkan," gumamnya pelan.
Ia menarik napas berat, lalu merapikan selimut yang menutupi tubuh lelaki itu.
"Aku titipkan nyawamu pada-Nya. Siapa pun yang menunggumu di luar sana, pasti sedang berdoa seperti aku sekarang."
Lalu, ia berbisik dengan harapan.
“Bangunlah, Nak… dunia masih menunggumu.”
Beberapa hari setelah berita kecelakaan menggemparkan dunia, seorang wanita tua bernama Margaretha sedang berjalan di tepi hutan pegunungan yang tak jauh dari desanya.
Ia hendak mencari tanaman obat seperti biasa. Namun hari itu, langkahnya terhenti ketika samar-samar ia mendengar suara rintihan lemah di balik rerimbunan semak.
Dengan hati-hati, Margaretha menyibak dedaunan dan terkejut melihat seorang pria tergeletak, tubuhnya penuh luka, pakaian pilotnya robek dan berlumur darah.
Wajahnya sulit dikenali karena luka dan lebam, namun matanya masih terbuka sedikit, menunjukkan bahwa ia masih hidup.
"Ya Tuhan, dia masih hidup." bisiknya terkejut.
Tanpa pikir panjang, Margaretha memanggil bantuan dari penduduk desa.
Mereka menggunakan tandu darurat dari bambu dan membawa pria itu menuruni jalur hutan menuju puskesmas kecil di desa.
Karena kondisi rumah sakit besar masih penuh akibat tragedi besar itu, Aditya dirawat secara diam-diam.
Tak ada identitas yang utuh tersisa padanya. Semua kartu dan alat komunikasi hancur.
Hanya potongan kecil kain bersulam nama "A. Wardhana" yang menempel di sisa seragamnya, cukup untuk membuat Mak Lastri yakin bahwa pria itu adalah bagian dari kecelakaan yang diberitakan.
Namun karena tubuhnya rusak parah dan tak dapat dikenali, serta seluruh dunia yakin tidak ada yang selamat, keberadaan Aditya pun luput dari perhatian.
Ia pun menjadi "Pasien Tanpa Nama" di buku medis desa itu.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Di sebuah ruang sederhana rumah sakit, Margaretha duduk di kursi di samping tempat tidur Aditya.
Udara sore yang masuk dari jendela hanya membawa suara dedaunan yang digoyang angin, tapi Margaretha tidak pernah bosan menatap wajah lelaki itu.
Tubuh Aditya masih terbaring lemah. Kepalanya diperban, wajahnya separuh masih rusak dan penuh luka bekas trauma. Kakinya masih dibalut gips, dan selang infus terpasang di tangan.
Margaretha menggenggam tangan Aditya yang dingin. Ia menyeka dahi lelaki itu dengan kain hangat sambil bergumam pelan,
“Lekas sadar, Nak... Siapa pun kamu, pasti ada yang menunggumu di luar sana.” ucap Margaretha.
Setiap hari Margaretha datang membawa bubur hangat, walau tahu Aditya belum bisa menelan sendiri.
Ia bercerita tentang kebun, langit, dan suara anak-anak desa bermain, seolah semua itu bisa mengisi kesunyian di hati Aditya yang masih terkurung dalam ketidaksadaran.
Beberapa perawat muda di sana mulai memanggil Aditya dengan sebutan "Tuan Pilot", karena potongan seragam yang masih disimpan Mak Lastri.
Mereka tak tahu siapa dia sebenarnya, hanya tahu ia diselamatkan oleh wanita tua yang tak pernah meninggalkannya.
Margaretha tidak pernah lelah jika harus tiap hari ke rumah sakit menjenguk lelaki yang ia temukan.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending