NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 15: Akhir Perjalanan

Hari ini adalah kali keduanya aku harus bersaksi di hadapan majelis hakim, semenjak terjun lagi ke dalam dunia kenotariatan. Dan ajaibnya, hakim ketua yang berada di hadapanku sekarang adalah pak tua yang memiliki bekas luka sayatan di wajahnya. Yah, ini adalah sesuatu yang bagus sebab Deborah akan dijatuhi hukuman yang sesuai atas segala kejahatannya.

“Saudara Nael mengenal saudari Indah Deborah sebagai apa?” Tanya pak tua itu sama seperti sebelumnya.

“Saya mengenal saudari Deborah ini sebagai pelanggan, Yang Mulia.” Jawabku dengan tenang sambil memegang mikrofon di depan mulut. “Yah, selain itu, saudari Deborah ini kebetulan adalah mantan pacar saya waktu SMA dulu, Yang Mulia.” Tambahku dengan nada yang terdengar sedikit malas. Jujur aja, aku nggak bakal sudi mengakuinya sebagai mantan pacar sampai kapanpun.

“Oh, begitu rupanya. Jadi saudara membantu membuatkan sertifikat tanah ini atas dasar pekerjaan atau atas dasar perasaan?” Wah, pertanyaan pak tua yang satu ini lumayan bikin kesel, ya. Dia pasti mikir kalau aku ngebantu Deborah gara-gara masih ada perasaan suka yang terpendam, kan? Hipotesismu itu sangat salah, pak tua.

“Tentu saja atas dasar pekerjaan, Yang Mulia. Saya membuatkan sertifikat tanah itu atas dasar kode etik notaris yang melarang untuk menolak setiap masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan.” Jawabku dengan nada tegas dan lugas.

“Hahaha, baiklah, baiklah.” Ucap hakim tua itu sambil menulis di kertas yang ada di mejanya. “Nah, sekarang, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.” Ucapnya sambil mengarahkan tatapan mata yang tajam ke arahku.

“Pihak kepolisian telah menemukan barang bukti berupa rekaman suara yang berisi percakapan kalian berdua, serta alasan Saudari Deborah dalam pembuatan sertifikat ini. Lalu, bisa tolong dijelaskan mengapa saudara Nael memutuskan untuk merekam percakapan pribadi kalian pada saat itu?” Hah! Aku sudah menduga kalau dia akan menanyakan mengenai hal ini. Sekarang, saatnya menguak segala keburukkan Deborah saat SMA dulu di hadapan majelis hakim.

“Itu sebagai antisipasi saja, Yang Mulia. Waktu SMA dulu, saya pernah hampir kehilangan uang beasiswa sebesar tujuh juta rupiah karena dihasut oleh saudari Deborah.”

“Izin menyela, Yang Mulia!” Pengacara Deborah langsung menyela di saat aku baru saja menjelaskan sekilas tentang tindak kriminal clientnya itu di masa lalu. Yah, wajah lah, ya, namanya juga pengacara.

“Client saya atas nama Indah Deborah tidak pernah melakukan tindakan sekeji itu di masa mudanya. Menurut pengakuannya, ia baru pertama kali melakukan kekhilafan ini sekitar dua tahun yang lalu, Yang Mulia.” Hah? Kekhilafan? Tindakannya di masa lalu itu jelas-jelas adalah tindak pidana, tolol.

“Kalau begitu, aku ucapkan selamat karena kau udah ditipu sama Deborah. Asal kau tahu, clientmu itu jago banget nipu orang, lho.” Aku menanggapi pernyataan konyolnya itu dengan nada yang menyindir.

“Benarkah? Apa anda bisa membuktikan kebenaran dari perkataan anda itu?” Pengacara sialan itu membalas dengan mulut besarnya.

“Aku mengenal nama orang-orang yang juga pernah ditipu sama Deborah. Jadi, kalau kalian mau, aku bisa menghubungi mereka untuk memberi kesaksian di persidangan ini. Mari kita lihat siapa yang benar dan juga siapa yang salah.” Ucapku sembari menatap pengacara itu dengan wajah yang congkak.

“Baiklah, cukup, kalian berdua!” Hakim ketua langsung menghentikan perdebatan kami dengan nada yang tegas. Dia kemudian terlihat menghembuskan napas panjang begitu suasana persidangan sudah kembali kondusif.

“Saudara Nael, terima kasih banyak karena telah meluangkan waktu untuk memberikan kesaksian pada persidangan ini. Saya minta anda untuk segera memberikan nama-nama orang yang dimaksud tadi agar bisa kami panggil pada persidangan berikutnya. Untuk hari ini, kita sudahi dulu sampai di sini.” Ucapnya dengan nada khas seorang hakim.

“Baiklah, terima kasih, Yang Mulia.”

...***...

Setelah selesai sidang, aku memutuskan untuk menikmati sore hari di taman kota Andawana. Dengan ditemani rokok dan juga sebotol kopi kemasan, aku menatap awan yang bergerak perlahan di tengah hangatnya langit sore yang berwarna jingga. Kawanan burung terlihat berterbangan kesana-kemari, seolah mereka sedang mencari buruan untuk disantap malam nanti.

“Anjay, lagi asik menyendiri, nih?” Saat menghembuskan asap rokok ke udara, tiba-tiba suara Eka terdengar menyapaku dari arah samping.

“Yoi, dong. Hitung-hitung self-reward setelah capek ngehadepin Deborah.” Aku membalas sambil menoleh ke arahnya.

Eka pun ikut duduk lesehan di atas rumput, sembari membuka keripik kentang kemasan yang ia bawa. Selain itu, tak lupa juga dia menyulut sebatang rokok sebagai elemen pelengkap untuk menikmati penghujung hari ini.

“Si jalang itu emang selalu bikin repot dari zaman dulu, ya.” Ucap Eka sembari menghembuskan asap rokoknya.

“Tentu saja. Orang modelan kayak gitu nggak bakal pernah berubah sampai kapanpun, tahu.” Celetukku ketus menanggapi pernyataannya itu.

“Hahahaha. Kau benar.” Balasnya sambil menghirup rokok dalam-dalam.

Suasana mendadak hening sejenak, seakan kita berdua sama-sama ingin menikmati sore hari yang tenang ini di tengah ramainya taman kota Andawana. Meskipun di hadapanku ini ada banyak sekali orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing—seperti berpacaran, latihan fisik, dan lain-lain—tapi entah kenapa ada suatu ketenangan yang bisa kurasakan di antara mereka. Perasaan nyaman ini tentu saja menjadi sesuatu yang nggak biasa kurasakan sebagai seorang introvert.

“Ngomong-ngomong, kenapa waktu itu kau bisa hampir ketipu sama si Deborah?” Yak, dan sayangnya kenyamananku ini seketika hancur karena pertanyaan Eka yang benar-benar di luar nalar.

“Really, ka? Kau nanyain perkara itu sekarang?” Balasku dengan nada kesal yang bisa terdengar jelas.

“Aku kepo aja, sih, soalnya udah lupa sama kejadian itu. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa, kok.” Ujarnya dengan nada acuh tak acuh, seolah pertanyaannya itu cuma sekedar buat nyari topik obrolan aja. Asli, kalau kau nggak punya sesuatu buat diobrolin, mending diam aja, deh. Rese banget jadi orang!

Yah, tapi untungnya dia ini adalah sahabatku dari lama. Jadi, segala kelakuan bodohnya itu sangat bisa aku toleransi. Selain itu, kayaknya Eka emang nggak terlalu ingat sama permasalahanku dengan Deborah waktu SMA dulu. Soalnya, perkara itu udah terjadi sekitar 26 tahun yang lalu, sehingga wajar kalau dia udah mulai lupa.

“Intinya dia pernah hampir nyuri duit beasiswaku. Kau pasti ingat, kan?” Ucapku singkat dengan nada yang ketus.

“Oh, iya deng! Dia pernah ngehasut kau buat mengganti beberapa data di formulir beasiswa itu, kan?” Balas Eka dengan penuh semangat, seakan dia baru saja bisa mengingat kejadian masa lalu itu.

“Bener, tapi nggak usah dipertegas lagi, dong.” Jawabku jutek, sambil menatap tajam ke arahnya.

“Hahahaha, iya, iya. Aku udah inget sekarang.” Ucapnya tertawa sambil menyulut sebatang rokok lagi.

“Dan sekian lama setelah kejadian itu, akhirnya kau pacaran sama Felicia, ya. Jujur, aku sebenarnya ngira kalau hubungan kalian itu nggak bakal bertahan lama, lho. Soalnya, waktu awal-awal pacaran, kau kelihatan nggak bisa naruh kepercayaan sama sekali ke Felicia.” Tambahnya lagi sembari menghembuskan asap rokok ke udara.

Sama seperti Eka, aku juga nggak nyangka kalau hubungan kami akan selanggeng itu sampai akhirnya dipisahkan oleh maut. Karena trauma yang disebabkan oleh Deborah, aku sempat nggak bisa naruh kepercayaan sama cewek manapun, termasuk pacarku sendiri. Tapi, perlahan-lahan, Felicia berhasil menyembuhkan luka lama itu dan mengubah seluruh perspektifku kepadanya.

“Yah, di luar dugaan, ternyata dia adalah wanita yang benar-benar bisa dipercaya.” Gumamku lirih untuk merespon ucapan Eka.

“Bener banget.” Balas Eka setuju, sembari menyantap keripik kentangnya lagi. “Ditinggal mati sama pasangan yang sebaik itu pasti bakal bikin siapapun depresi berat. Tapi, syukurnya kau masih bisa bertahan sampai di titik ini sekarang.” Ujar Eka dengan nada suara yang terdengar penuh rasa bangga.

“Yah, ini semua berkat support dari kalian, sih. Aku benar-benar berterima kasih karena hal itu.” Ucapku dengan nada yang kaya akan ketulusan.

“Hahahaha, nggak masalah. Aku dan yang lainnya akan terus membantu sampai kau sembuh total!” Eka kemudian berdiri perlahan-lahan, lalu menatapku dengan aura optimis yang terpancar dari senyumannya. Dia juga mengulurkan tangannya, seolah mencoba membantuku untuk segera bangkit kembali. “Kita semua adalah keluarga, kan?” Tanyanya dengan nada yang penuh kehangatan.

Bibirku seketika menyunggingkan senyuman kecil saat mendengar ucapan sahabatku itu. Tanganku kemudian meraih tangan Eka, lalu menjabatnya erat-erat.

“Iya, kita adalah keluarga!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!