"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mobil mencurigakan
Di waktu yang sama, pintu kamar sebelah kanan berderit pelan, lalu terbuka perlahan. Dan langsung menampilkan sosok Murni yang sudah siap dengan mengenakan cardigan cokelat yang tampak hangat, dipadukan dengan celana kain hitam yang sederhana. Dengan sentuhan terakhir berupa kerudung krem yang membingkai wajahnya, menghadirkan kesan anggun tanpa perlu sentuhan riasan apa pun.
Selepas menutup pintu kamarnya kembali, sorot matanya dengan cepat menangkap sosok Kaan yang tengah duduk di tepi sofa. Penampilan pria itu juga tampak sudah rapi dalam balutan kemeja biru tua yang membingkai tubuhnya dengan pas, dipadukan dengan celana hitam yang membuat penampilannya terlihat makin tenang nan menawan.
Begitu pandangan mereka bertemu, Kaan segera berdiri tanpa ragu, dan menghampiri Murni dengan langkah pasti.
"Sudah siap?"
"Sudah mas, ayo kita berangkat." Ucap Murni pelan terdengar mantap.
Selepas itu barulah mereka berdua keluar dari unit apartemen. Kaan segera mengunci pintu apartemen, sementara Murni dengan santai menunggu, sembari memandangi lorong yang sepi.
Lorong di depan mereka tampak lengang, hanya deretan pintu tertutup yang berjajar rapi di sepanjang dinding. Cahaya lampu langit-langit menyinari lantai yang mengilap, memantulkan bayangan mereka berdua dalam senyap.
Hingga pada akhirnya, pandangan mata Murni tak sengaja tertumbuk pada satu pintu lain, yakni unit apartemen milik tetangga yang siang tadi sempat ia temui. Tak ada suara maupun tanda-tanda akan kehadiran seseorang dari balik pintu itu.
Setitik perasaan bahagia perlahan menelusup benak Murni ketika ia teringat akan sosok wanita bernama Aria itu. Murni berharap kedepannya semoga saja mereka bisa menjadi tetangga yang akrab dan murni pun akhirnya dapat memiliki teman mengobrol selama ia berada di apartement sendirian.
"Murni? Murni..."
Suara panggilan Kaan membuyarkan lamunannya.
"Eh, iya Mas. Ayo kita pergi," jawabnya cepat, segera melangkah mendekati Kaan.
Akhirnya mereka berdua pun melangkah menyusuri lorong menuju lobi, lalu masuk ke dalam lift yang membawa mereka turun, meninggalkan sejenak segala pikiran yang belum selesai.
.
.
.
Begitu keduanya masuk ke dalam mobil, Kaan segera menyalakan mesin dan perlahan melajukan mobil keluar dari area apartemen.
Keheningan menyelimuti sepanjang perjalanan. Tak ada percakapan selain suara halus mesin mobil yang bersahutan dengan deru lalu lintas dan angin malam. Murni bersandar diam, matanya menatap ke arah luar jendela, sambil memperhatikan lampu-lampu jalanan yang berkelip di sepanjang jalan.
Di balik kaca, Murni melihat orang-orang yang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing, ada yang berjualan di pinggir jalan, duduk bersantai di kursi jalanan, serta ada pula yang berjoging sambil mengenakan earphone dan menikmati suasana malam yang mulai dingin.
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil Kaan akhirnya berhenti tepat di depan sebuah supermarket. Namun mendadak lesu ketika tahu jika supermarket itu ternyata sudah tutup lebih awal dari yang mereka duga.
Kaan tiba-tiba memajukan mobilnya sedikit untuk membaca sebuah pengumuman kecil yang terpampang di pintu masuk supermarket.
"Supermarket nya kenapa, mas?" tanya Murni, mencoba melihat dari tempat duduknya yang terlalu jauh.
"Ada perbaikan di dalam, jadi tutup sementara," jawab Kaan singkat, lalu kembali melajukan mobilnya keluar dari area parkir.
Akhirnya mobil mereka kembali melaju melewati jalanan. Keheningan kembali merayap di antara mereka. Tak ada yang bicara diantara keduanya selain suara angin malam dan gemuruh kendaraan lain yang menemani perjalanan mereka. Murni enggan memulai percakapan, sementara Kaan tampak tenggelam dalam fokusnya menyetir.
Hingga akhirnya...
"Mas." Murni pertama kali mengeluarkan suaranya.
"Yeah?" Sahut Kaan tanpa menoleh.
"Mas kenal sama mbak Aria?" Tanya Murni akhirnya.
Murni berpikir kemungkinan Kaan kenal dengan wanita bernama Aria itu, dan apabila Kaan kenal, maka Murni akan jauh lebih mudah berhubungan dekat dengan wanita itu.
"Yeah, saya kenal. Dia tetangga kita," jawab Kaan. "Kenapa?"
"Itu... Tadi siang kami ndak sengaja bertemu," jawab Murni. "Kalau mas kenal, baguslah. Soalnya aku kepikiran mau lebih akrab sama mbak Aria." Lanjutnya.
Kaan mengangguk sedikit, "bagus, bu Aria tampaknya juga butuh teman bicara."
"Bu Aria? Apa mbak Aria itu sebenarnya lebih tua dari ku ya?" Batin Murni ketika mendengar Kaan menyebut wanita muda itu dengan kata 'bu Aria' yang seperti menjelaskan jika umur wanita itu jauh lebih tinggi dari Kaan.
"Murni. Kamu sudah makan malam?" Tanya Kaan.
"Belum, Mas. Kalau Mas sendiri gimana? Udah makan?"
Kaan menggeleng sedikit, sementara matanya masih menatap lurus ke jalan. "Belum. Kalau begitu, kita sekalian pergi makan malam."
Tanpa menunggu jawaban, Kaan segera membelokkan mobil menuju tempat yang ia ingat.
Mobil kembali melaju, meninggalkan lampu-lampu jalan yang mulai memudar.
Tak lama kemudian, mereka berhenti di depan sebuah restoran besar dan elegan. Tepat di sampingnya berdiri supermarket lain yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya.
Kaan turun lebih dulu dari mobil, lalu berjalan mengitari kap depan untuk membukakan pintu bagi Murni. Gadis itu segera keluar perlahan, sebelum akhirnya matanya langsung menyapu pemandangan megah restoran di depannya dengan takjub.
"Ayo," ajak Kaan.
Mereka pun melangkah bersama, masuk ke dalam restoran tersebut.
Begitu pintu kaca restoran terbuka, aroma harum dari masakan yang sedang disajikan langsung menyambut mereka. Lampu-lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya hangat yang memantul di meja-meja elegan berlapis kain putih. Musik instrumental klasik mengalun lembut di latar belakang, menambah nuansa tenang namun berkelas.
Seorang pelayan pria berseragam rapi segera menyambut mereka dengan senyum profesional.
"Selamat malam, Tuan dan nona. Untuk berdua, ya?" sapanya ramah.
Kaan mengangguk. "Ya, untuk berdua."
"Silakan ikuti saya," ujar pelayan itu.
Lalu berbalik dan berjalan pelan, memandu mereka melewati deretan meja yang hampir semuanya telah terisi. Tawa ringan dan obrolan pelan terdengar bersahutan, namun semuanya terdengar teratur dan sopan, tak ada yang mencolok ataupun berisik.
Pelayan itu berhenti di sebuah meja yang berada dekat jendela, di mana lampu-lampu kota tampak berkelip indah di luar sana. Ia menarikkan kursi untuk Murni terlebih dahulu, lalu mempersilakan Kaan duduk.
"Berikut buku menunya, silakan dilihat-lihat terlebih dahulu. Nanti akan saya bantu dengan pesanannya." Ucapnya sambil meletakkan dua buku menu tebal berwarna hitam dengan tulisan keemasan di atas meja.
Murni membuka buku itu dengan hati-hati. Daftar makanan asing dengan nama-nama yang sulit ia ucapkan memenuhi halaman demi halaman. Beberapa bahkan tak memiliki gambar, hanya deskripsi dalam bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami.
Ia menoleh perlahan ke arah Kaan, lalu berbisik pelan dengan wajah agak canggung, "Aku... ikut pesanan mas aja, ya."
Kaan menoleh dan mengangguk pelan. "Baiklah."
Pelayan kembali mendekat, menunggu dengan sabar.
"Kami pesan dua porsi steak," ucap Kaan tenang. "Untuk minumannya, silakan pilih yang paling cocok."
"Baik. Mohon tunggu sebentar." Jawab pelayan itu sopan, lalu segera melangkah pergi.
Murni menarik nafas pelan dan mulai memperhatikan sekelilingnya. Meja-meja lain dipenuhi oleh pria dan wanita yang mengenakan pakaian glamor. Membuat ia merasa kecil di tengah ruangan itu, lalu menurunkan pandangannya menatap cardigan cokelat dan celana hitamnya yang terasa terlalu sederhana.
Namun, ketika matanya sekilas melirik ke arah Kaan, ia melihat pria itu tampak tenang dan tidak mempersoalkan penampilan. Suaminya itu tampak santai duduk dengan postur santai sembari melihat ponselnya, tanpa Murni sadari Kaan sesekali melirik ke arahnya.
Meski ada perasaan asing dan canggung yang menyelubunginya, namun ada sedikit kehangatan yang muncul di dadanya saat menyadari bahwa ia tidak sendirian di tempat asing itu.
Hingga tak berapa lama kemudian, pelayan tadi datang kembali, dengan membawa dua piring besar berisi steak yang menggoda selera dan minuman dingin yang tampak menyegarkan. Piring-piring itu diletakkan dengan hati-hati di depan mereka, disertai ucapan sopan, "Silakan menikmati hidangannya."
Murni menatap piring di hadapannya, sepotong daging besar yang disiram saus coklat gelap seperti kuah kecap, mengeluarkan aroma gurih yang menggiurkan. Ia menelan ludah pelan, penasaran seperti apa rasanya. Namun, rasa penasaran itu sedikit terganggu ketika ia melirik ke arah Kaan, yang tampak sudah siap dengan posisi duduk tegak, kedua tangannya memegang garpu dan pisau kecil dengan mantap.
Dengan gerakan tenang dan teratur, Kaan mulai memotong steaknya. Potongan demi potongan terbentuk rapi dan seragam, seperti kotak-kotak kecil yang siap disantap. Murni hanya bisa memperhatikan, terkesima sekaligus bingung.
Ia menunduk, mencoba meniru. Tangannya meraba pisau dan garpu, agak ragu menentukan mana yang harus dipegang dengan tangan kiri dan kanan. Setelah beberapa detik kikuk, akhirnya ia menggenggam pisau di tangan kiri dan garpu di kanannya, yang entah benar atau salah, tapi ia mencoba saja.
Namun sebelum pisaunya sempat menyentuh daging, matanya kembali melirik ke arah Kaan. Pergerakan tangan pria itu begitu teratur, tanpa ragu, dan daging-daging itu seperti menyerah begitu saja dipotongnya. Murni yang masih bingung hanya bisa menatap, berusaha menangkap pola gerakan Kaan dengan penuh konsentrasi.
Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Kaan menarik piring Murni dengan tenang dan menggantinya dengan piring miliknya sendiri yang isinya sudah terpotong rapi.
"Makan yang ini." Ucap Kaan singkat, sebelum mulai memotong daging di piring bekas Murni.
Murni sempat terdiam, sebelum akhirnya tersenyum hangat. "Makasih, mas."
Ia kemudian menusuk sepotong steak yang kini sudah siap santap, lalu perlahan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu daging itu menyentuh lidahnya, Murni nyaris tak bisa menyembunyikan ekspresinya, tekstur lembutnya langsung meleleh dalam mulut, disusul rasa gurih yang dalam dan saus manis asin yang berpadu sempurna.
Kelopak matanya terpejam sebentar, meresapi kenikmatan rasa yang belum pernah ia cicipi sebelumnya. Ia mengunyah perlahan, menikmati setiap detik dari sensasi yang terasa nendang di lidah.
Tapi di tengah kenikmatan itu, suatu pikiran mendadak melintas di benaknya.
"Sayangnya ndak ada nasi." Batinnya lirih.
Ia melirik Kaan sebentar yang masih fokus memotong daging dan makan, lalu kembali pada makanannya.
.
.
.
Setelah selesai makan malam yang menyenangkan dan berbelanja bahan makanan, mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan segera melaju pulang.
Langit malam mulai sunyi, dan waktu pun tak terasa sudah menunjukkan pukul 22:55. Jalanan yang tadi ramai perlahan mulai lengang, hanya ada satu-dua kendaraan yang sesekali melintas.
Namun suasana yang tenang itu berubah dalam sekejap.
Wajah Kaan yang sejak tadi terlihat santai kini mendadak berubah waspada. Sorot matanya menajam saat ia menoleh sekilas ke kaca spion samping.
Sebuah mobil hitam terlihat melaju di belakang mereka, dalam jarak terlalu dekat untuk sekadar kebetulan.
Kaan mengencangkan pegangan tangannya pada setir dan mulai mempercepat laju mobilnya secara perlahan. Tapi yang membuat jantungnya makin waspada, mobil di belakang juga ikut mempercepat laju mereka.
Tanpa membuang waktu, Kaan segera membelokkan setir, mengambil jalan alternatif yang tidak biasa.
Namun...
Mobil hitam itu juga ikut berbelok, yang semakin menambah kecurigaan Kaan.
Ia kembali menekan pedal gas lebih dalam, melajukan mobil mereka semakin cepat, sembari matanya fokus menatap jalanan depan, dan sesekali mencuri pandang ke spion.
Murni yang duduk di samping mulai menyadari keanehan tersebut.
“Mas, kenapa mobilnya ngebut?” tanyanya pelan, merasa bingung dengan perubahan suasana.
Namun Kaan tidak menjawab. Rahangnya mengeras, diikuti sorot matanya yang tampak fokus dipenuhi konsentrasi.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Kaan membelokkan mobilnya dengan tajam ke arah kanan.
“M-Mas?!” pekik Murni spontan, terkejut dengan manuver mendadak itu.
Kaan hanya menggertakkan giginya, lalu segera memasukkan mobil mereka ke sebuah bangunan tua yang tampak kosong dan gelap. Bangunan itu seperti gudang tua yang sudah tak terurus.
Begitu masuk, dalam hitungan detik Kaan memutar balik mobilnya ke arah pintu masuk, dengan posisinya kini memungkinkan dia untuk mengamati dari dalam, sekaligus bersembunyi di balik bayangan dinding beton yang kusam.
Ia segera mematikan mesin mobilnya hingga semua lampu di mobil padam.
Kaan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya menatap tajam ke arah luar, mengawasi apakah mobil misterius itu akan melintas atau berhenti.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣