Berada di dunia yang mana dipenuhi banyak aura yang menjadi bakat umat manusia, selain itu kekuatan fisik yang didapatkan dari kultivasi melambangkan betapa kuatnya seseorang. Namun, lain hal dengan Aegle, gadis belia yang terasingkan karena tidak dapat melakukan kultivasi seperti kebanyakan orang bahkan aura di dalam dirinya tidak dapat terdeteksi. Walaupun tidak memiliki jiwa kultivasi dan aura, Aegle sangat pandai dalam ilmu alkemi, ia mampu meracik segala macam ramuan yang dapat digunakan untuk pengobatan dan lainnya. Ilmu meraciknya didapatkan dari seorang Kakek tua Misterius yang mengajarkan cara meramu ramuan. Karena suatu kejadian, Sang Kakek hilang secara misterius. Aegle pun melakukan petualang untuk mencari Sang Kakek. Dalam petualang itu, Aegle bertemu makhluk mitologi yang pernah Kakek ceritakan kepadanya. Ia juga bertemu hantu kecil misterius, mereka membantu Aegle dalam mengasah kemampuannya. Bersama mereka berjuang menaklukan tantangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29
Beberapa hari berlalu sejak malam itu, Ariel terus menghindari Dewi Aetheria. Sang Dewi tidak memahami alasan di balik perilaku tersebut. Padahal Ariel-lah yang membuat masalah, tetapi mengapa kini dia yang merasa kesal dan memilih menjauh?
"Haaah..." Dewi Aetheria menghela napas panjang, menatap buku yang ada di tangannya dengan wajah murung.
"Kau terlalu memanjakan anak itu. Lihatlah sekarang, dia menjadi semena-mena terhadapmu," ujar Lunaire melalui transmisi suara, suaranya terdengar tegas namun sinis.
"Aku tidak memahami anak itu... atau mungkin dia memang tidak bersalah?" jawab Dewi Aetheria, nada suaranya ragu.
"Dirimu terlalu memperhatikan anak dunia bawah itu. Sebentar lagi, Tuan Caldris akan kembali. Istana akan bersiap menyambutnya, dan kau, sebagai tunangannya, tentu harus hadir untuk menyambutnya," tutur Lunaire, mencoba mengingatkan tanggung jawab sang Dewi.
"Kau semakin cerewet saja," sahut Dewi Aetheria sambil menarik ekor Lunaire yang berada dalam mode mininya. Dengan gemas, ia mencubit pipi Lunaire yang kecil itu.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan!" jerit Lunaire mini kesal.
"Haish! Tidak bisakah kau membicarakan hal lain? Selalu saja membahas pria itu. Lagi pula, aku tidak benar-benar menyukainya. Pertunangan ini pun hanya hadiah dari Dewa Raja," ucap Dewi Aetheria sambil mengembuskan napas berat.
"Jika kau tidak menyukai Tuan Caldris, apakah kau sudah jatuh hati dengan anak kegelapan itu?" tanya Lunaire tajam.
Dewi Aetheria terdiam sejenak. "Aku menyukai Ariel... Huff, mana mungkin aku menyukai anak kecil itu." pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Kau tidak boleh menyukainya!" tegur Lunaire dengan nada marah.
"Oh, jadi aku hanya boleh menyukai Caldris? Huh, mentang-mentang kau adalah spirit yang diberikan olehnya, apakah kau masih terikat dengan tuan lamamu itu? Atau mungkin Caldris memintamu berada di sisiku untuk mengawasiku?" balas Dewi Aetheria sambil mengangkat Lunaire seperti seekor kucing. Ia mengayun-ayunkannya pelan di depan wajahnya dengan bibir manyun, menggodanya.
"Lepaskan aku!" teriak Lunaire kesal.
"Bagaimanapun, sekarang aku adalah tuanmu. Aku sudah merawatmu selama seribu tahun, jadi kau harus mendengar perintahku," ujar Dewi Aetheria santai. "Dan aku tentu saja tidak memiliki perasaan kepada Ariel. Dia hanya anak kecil di mataku. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa terikat oleh siapa pun atau apa pun," tambahnya, mencoba mengakhiri pembicaraan.
Namun dalam hati, Dewi Aetheria merasakan keraguan yang tidak ia ungkapkan.
Dewi Aetheria berdiri diam, memandang keluar dari jendela besar istananya. Lengkungan megah itu, berbingkai ukiran emas dan kristal, memancarkan cahaya lembut yang menambah keagungan ruangannya. Matanya yang jernih, seindah langit tanpa awan, menatap jauh ke luar dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Udara pagi menyelinap masuk, membawa embusan lembut yang membuat tirai sutra tipis di sekitarnya melambai perlahan, seperti menari mengikuti irama angin.
Di kejauhan, pohon Celestaria berdiri megah di tengah taman kerajaan. Pohon legendaris yang hanya tumbuh di dunia dewa itu tampak seperti penjaga langit, cabang-cabangnya menjulang tinggi seolah memeluk angkasa. Daun-daunnya yang berwarna perak melayang lembut tertiup angin, menciptakan hujan cahaya yang memantul indah di bawah sinar matahari pagi.
Bunga-bunga Ethernis di pohon itu mulai bermekaran, satu per satu. Kelopaknya berwarna biru pucat dengan ujung berpendar keemasan, memancarkan keharuman manis yang menenangkan jiwa. Setiap bunga yang mekar memancarkan partikel kecil bercahaya, seperti bintang yang melayang menuju langit.
Aetheria menarik napas panjang, membiarkan kedamaian pagi itu mengisi hatinya di tengah kekacauan dunia. “Betapa indahnya ciptaan ini,” gumamnya pelan, suara lembutnya nyaris tertelan oleh angin. Namun, di sudut matanya yang lembut, tampak bayang-bayang kekhawatiran. Keindahan ini terasa terlalu rapuh, seperti harmoni yang sewaktu-waktu bisa runtuh oleh ancaman besar yang mendekat.
Ia mengulurkan tangannya melalui jendela, membiarkan salah satu daun Celestaria yang melayang jatuh di telapak tangannya. Daun itu terasa hangat, seolah membawa pesan kehidupan. Aetheria memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya larut dalam momen singkat itu sebelum akhirnya berbalik, bersiap menghadapi tugas berat yang menantinya.
Namun, sebelum ia beranjak, pandangannya terhenti pada sosok di bawah pohon Celestaria. Ariel, seorang pemuda dengan keindahan dan keteguhan yang terpahat sempurna, berdiri diam di sana. Tubuhnya tinggi dan tegap, dengan bahu lebar yang menyiratkan kekuatan yang tersembunyi. Rambutnya keemasan, berkilau lembut di bawah sinar matahari pagi, seperti mahkota sinar yang menari di antara helai-helainya.
Mata birunya memancarkan sorot tajam, penuh rasa ingin tahu bercampur kesedihan yang sulit dijelaskan, seperti dua permata langka yang menyimpan kisah ribuan tahun. Kulitnya bersih dan bercahaya, tetapi bekas luka samar di lengannya menceritakan perjuangan yang telah ia lalui. Meski hanya mengenakan pakaian sederhana berwarna putih dan biru pucat, dengan jubah tipis yang melambai lembut tertiup angin, aura agung yang melingkupinya tidak dapat disembunyikan.
Ariel berdiri diam, kedua tangannya tergenggam di depan tubuhnya. Di bawah pohon Celestaria yang menjatuhkan bunga dan daun perak berpendar, siluetnya tampak seperti sosok mitos dalam lukisan kuno. Sorot matanya terpaku pada Dewi Aetheria yang berdiri di jendela istana, menatap keluar dengan penuh perasaan.
Ada sesuatu di wajah Ariel campuran rasa hormat, kekaguman, dan kerinduan mendalam. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang sulit diungkapkan. Ketika salah satu bunga Ethernis jatuh di bahunya, ia mengangkat tangannya perlahan, membiarkan kelopak itu terbang kembali ke angin, sementara matanya tetap tertuju pada Dewi Aetheria.
Dewi Aetheria menyadari tatapan itu, lalu balas memandang ke arah pemuda di bawah pohon. Mata mereka bertemu sejenak, saling menatap dalam keheningan. Namun, Ariel segera membuang pandangannya dan berjalan menjauh tanpa berkata sepatah kata pun.
“Anak kecil yang kubesarkan itu... sejak kapan menjadi pria setampan itu?” gumam Dewi Aetheria polos, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun di balik senyumnya, ada perasaan yang ia sendiri belum mampu pahami.