NovelToon NovelToon
Di Balik Cadar Arumi

Di Balik Cadar Arumi

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta setelah menikah / Diam-Diam Cinta / Romansa / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:20.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mbak Ainun

Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....

Yuk ramaikan...

Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....

Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....

Selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

"Ikuti saja tidak apa-apa," ucap Aris berusaha menenangkan. Arumi mengangguk, mengikuti wanita bercadar itu dengan tenang, tanpa rasa khawatir sedikitpun.

"Kemarilah. Di sini kamar bayi kami. Dia sedang tidur. Makanya saya ajak kamu menidurkannya." Lidia membuka pintu.

Arumi dibuat takjub setelah pintu terbuka. Kamar yang bernuansa ungu itu didesain dengan begitu apiknya, mewah dan terlihat berkelas, menandakan status sosial pemilik rumah.

"Ayo, duduk sini."

Lidia menidurkan putri kecilnya di dalam box bayi.

"Sudah lama saya ingin berkenalan denganmu, Arumi. Saat acara gathering family itu, saya sebenarnya datang. Tetapi kondisi kehamilan saya yang bermasalah tidak memungkinkan untuk saya berada di tengah-tengah kalian. Saat saya melihat kamu satu-satunya wanita bercadar di sana, saya langsung penasaran. Saya meminta Bapak untuk mempertemukan aku denganmu. Dan alhamdulillah sekali, Allah mempertemukan kita di acara akikah putri kami. Selamat datang, ya? Semoga kalian cepat menyusul mendapat momongan."

"Ahh, Ibu membuat saya terharu. Saya pikir, saya mau diapain? Kok, diundang ke acara Pak Wijaya yang saya saja tidak mengenal beliau. Saya tidak mengenal Ibu juga."

"Saya butuh teman yang sepemikiran, sehati dan sejalan. Dan saya yakin, kamulah orangnya. Masya Allah, akhirnya kita dipertemukan juga."

**

"Semakin dilarang, semakin penasaran," gumamnya.

Arin terduduk di pinggir ranjang. Jari jempolnya sibuk menarik-turunkan layar ponsel. Peringatan keras dari Aris, justru membuatnya didera rasa penasaran. Ia pun bukanya menghindari segala bentuk kedekatan dengan Farhan, malah sengaja mencari tahu perihal pria itu melalui media sosialnya.

"Mana ...." Mulutnya kumat-kamit membaca satu-satu deretan nama pada layar.

"Nggak ada Mas Farhan di sini." Mengucapkan nama pria itu saja sudah menghadirkan getaran tersendiri di hatinya. Di mana semua ingatan akan pria preman itu kembali menyibukkan otaknya, mengingat kembali pertemuan awal mereka. Arin senyum-senyum sendiri mengenangnya.

"Makanya, sudah tau jalanan sepi masih dilewati juga. Apa lo nggak tau kalau wilayah ini sarangnya maling dan begal ?" Farhan membentak-bentaknya usai lari dari pengejaran para penjambret. Lawan Farhan mengeluarkan senjata tajam. Ia memilih menarik gadis yang belum ia kenal, dan mengajaknya lari. Lalu, membawanya menjauhi tempat itu menggunakan motornya.

"Heh, diam aja! Masih hidup, lo!" Farhan berteriak menghadap kesamping, memastikan penumpangnya.

"Iya, Mas. Saya dengar?"

Arin menjawab setengah berteriak. Suara motor racing Farhan memekakkan telinga.

"Saya orang baru, saya nyasar, Mas."

"Nggak nanya gua. Yang jelas, elo sudah bikin gua babak belur begini."

"Saya nggak nyuruh ditolong."

"Apa lo bilang?"

Arin menjadi khawatir. Jangan-jangan pria preman di lengan kiri itu marah mendengar ucapannya.

Jangan-jangan dirinya akan diturunkan di tempat sarang jambret itu. Arin bergidik ngeri.

"Di mana rumah lo?" Mendengar teriakan Farhan yang menanyainya, hati Arin menjadi lega. Setidaknya, laki-laki yang menolongnya itu benar-benar tidak mendengar gerutuannya tadi.

"Heh, lo tuli?" bentak Farhan lebih keras mengalahkan suara motornya yang bising.

"Di jalan mangga nomor 100, Mas," jawab Arin. Berkali-kali mendapat bentakan, tidak membuatmu takut sama sekali.

"Katanya orang baru?

Kenapa sudah hafal alamat? Bohongin gua, lu?"

"Lah, Mas nanya alamat tadi, kan?"

"Berisik, lu!"

"Lebih berisik suara knalpotmu kali, Mas."

Sayangnya, Arin hanya berani bergumam di balik punggung pria itu. Jilbab yang ia kenakan meriap terhempas oleh angin sehingga ia juga disibukkan dengan membenahinya.

"Saya tinggal bersama kakak saya!" Arin kembali memberikan informasi. Suaranya dibuat sekencang mungkin agar Farhan tidak menanyakan ulang. "Saya baru datang dari kota sebelah," ucapnya lagi.

"Nggak nanya gua. Nggak penting juga. Buat apa gua tau lo tinggal sama siapa dan asal lo dari mana." Farhan memperlambat laju kendaraan. Ia sudah berada di jalur yang aman. "Aneh lu!" imbuhnya lagi menyambung ucapan sebelumnya.

"Ini orang gimana, sih? Tanya alamat, dikasih tau malah merepet mulu."

"Ngomong apa lu? Gue denger, ya? Jangan sangka gua tuli."

Arin lupa kalau Farhan sudah memperlambat laju motor sehingga bisa mendengar ucapannya meskipun sebuah gerutuan.

"Maaf. Habisnya kamu sensian, sih!"

"Kamu, kamu! Enak saja manggil begitu."

"Namanya siapa? Biar saya panggil pakai nama."

"Farhan."

"Mas Farhan kita sudah hampir sampai."

"Gua sudah tau." Farhan mengurangi kecepatan, berhenti di depan pagar bercat putih. "Elu apanya Arumi?"

Arin turun. Gerakannya melambat ketika Farhan menyebut nama iparnya.

"Heh, ditanya tuh, dijawab!" ketus teguran dari Farhan mengejutkannya.

"Adiknya."

"Ngarang lo! Arumi mana punya adik? Dia itu yatim pintu."

"Adik ipar maksud saya."

"Adiknya Aris?"

Arin terbengong-bengong dibuat Farhan. Pria ajaib, pikirnya, karena segala macam hal serba tau.

"Iya-iya. Mas Aris kakakku. Mas Farhan kenal?"

"Hem, dikit."

"Mampir dululah. Saya obati lukanya."

"Nggak usah. Sudah malam ," tolak Farhan.

"Setidaknya izinkan saya berterima kasih dengan membuatkan teh," bujuk Arin.

"Nggak usah. Salam saja sama kakak lo."

"Mereka nggak ada di rumah."

"Jangan bilang lo mau menahan gua di sini."

Arin menunduk, ia menjawab dengan gelengan. Farhan menanggapi dengan helaan nafas panjang.

"Lo udah gua tolong, masih nyusahin pula."

"Maaf," lirih Arin merasa bersalah.

"Sudah babak belur begini, masih minta ditungguin!"

"Maaf. Izinkan saya membalas budi Mas Farhan."

"Pagarnya bisa dibuka, nggak?"

"Bisa. Bisa."

Arin segera bergerak mendekati pagar merasa mendapat kesempatan. Lalu, dengan tenaga yang tersisa menggeser pagar yang kebetulan tidak digembok.

"Masuk, Mas." Arin berucap dari dalam pagar. Farhan menyalakan mesin motor, menarik gas hingga motornya merambat ke halaman.

"Gua tunggu di teras saja," ucap Farhan.

"Iya, Mas. Saya mau mencoba membuka pintu lewat belakang."

Arin tersenyum-senyum sendiri hingga lamunannya teralihkan oleh sebuah foto lengan pria preman itu.

"Mas Farhan." Mata berbinar, bibir menyungging senyum. Arin segera mengecek profil sosial media pria yang mengalihkan perhatiannya.

"Yes, dapat!" serunya kegirangan. Ia berjingkrak-jingkrak di atas ranjang mengekpresikan kegembiraan.

"Aku DM, deh." Ia mengetik sesuatu di layar ponsel. "Mas Farhan. Masih ingat saya?"

1
Bellenav
Buruk
Retno Harningsih
up
Retno Harningsih
lanjut
Retno Harningsih
up
Retno Harningsih
lanjut
Retno Harningsih
up
Retno Harningsih
lanjut
Retno Harningsih
up
Retno Harningsih
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!