Mata kecil itu berpendar melawan rasa bosan di tengah hiruk pikuk orang dewasa, hingga matanya berbinar melihat seorang gadis cantik, terlihat anggun dengan raut keibuan. Ini dia yang di carinya.
Kaki kecilnya melangkah dengan tatapan tak lepas dari gadis bergaun bercorak bunga dengan bagian atas di balut jas berwarna senada dengan warna bunga di gaunnya.
Menarik rok gadis tersebut dan memiringkan wajah dengan mata mengerjap imut.
"Mom.. Kau.. Aku ingin kau menjadi Mommyku.."
"Anak kecil kau bicara apa.. Ayo aku bantu mencari Ibumu.."
"Tidak, Ibuku sudah tiada, dan aku ingin kau yang menjadi Mommy ku."
"Baiklah siapa namamu?."
"Namaku Daren, Daren Mikhael Wilson aku anak dari orang terkenal dan kaya di kota ini, jadi jika kau menikah dengan Daddyku kau tidak akan miskin dan akan hidup senang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TW 28: Willy Mematahkan Tulangnya!
"Apa kau sudah puas!" Isa menatap Willy dengan tajam, dadanya naik turun tanda amarah yang semakin membuncah, "Jika mau mati kenapa tidak mati saja sendiri!" teriaknya. Mata Isa berkaca- kaca, rasanya tidak kuat ingin menangis, dia seperti baru saja terlepas dari kematian.
Willy terkekeh "Siapa suruh tidak mau mengaku."
"Dasar brengsek!, tidak tahu diri, sialan!." Isa melayangkan pukulan ke wajah Willy memukulnya membabi buta, sambil terus mengumpat marah.
Willy yang awalnya merasa terkejut berhasil mengelak dan menangkap tangan Isa, hingga gerakan tangan Isa terhenti.
Melihat nafas Isa yang memburu dengan tatapan tajam yang terus Isa layangkan padanya membuat Willy tersenyum lalu dengan gemas mengecup bibir Isa.
"Terserah mau berkata apa, tapi mulai sekarang kau adalah milikku!" wajah Isa memerah mendengar perkataan Willy ditambah lagi dengan tindakan Willy yang mengecup bibirnya secara tiba- tiba, pria itu bahkan tanpa malu tersenyum sangat tampan.
"A-apa maksudmu, bagaimana bisa kau menyimpulkan itu!" Isa berkata dengan gugup, jantungnya berdebar semakin kencang manakala melihat Willy terus tersenyum.
Kenapa pria itu terus tersenyum, biasanya juga wajahnya selalu datar.
Isa memalingkan wajahnya, namun tak lama Isa merasakan dagunya di ampit dan kembali menoleh ke arah Willy.
"Tentu saja karena kau sudah mengakui jika kau cemburu, dan itu berarti kau mencintaiku." Isa menelan ludahnya kasar, jika bukan karena ancaman Willy Isa tidak akan mengatakannya. Sekarang bagaimana? Rasanya malu bukan main.
"Tidak semua rasa cemburu ada untuk perasaan cinta.." Isa mencoba mengelak, namun perkataan Willy membuat Isa kembali gugup.
"Kalau begitu jelaskan padaku, untuk apa rasa cemburu-mu?" jelas sekali Willy melihat Isa bahkan hampir menangis saat menyaksikannya dan Clara berdansa tadi, apa itu bukan cemburu karena cinta.
"Ba-bagaimana jika aku hanya iri.." Isa berkata sedikit gugup, karena dirinya sendiri tak yakin apa yang dia ucapkan, Isa hanya berusaha mengelak saja.
"Iri?, Iri karena aku tak memperlakukanmu seperti wanita itu?" Isa tertegun "Itu sama saja KAU CEMBURU!" Willy menoyor dahi Isa, hingga kepala Isa terhunyung ke belakang. Namun, tak lama Willy kembali menangkup pipi Isa dan langsung mendaratkan ciuman di bibir Isa.
Isa tertegun dengan gerakan cepat Willy yang lagi- lagi menciumnya.
Isa merasa tak hanya di pipi saja, tapi seluruh tubuhnya terasa panas. Ciuman Willy sangat lembut dan menggebu membuat Isa larut dan terbuai.
"Kau adalah milikku!" Ucap Willy di sela ciumannya, lalu melanjutkan kembali kegiatannya menikmati bibir Isa.
Tubuh Isa semakin panas, dengan jantung yang kian membuncah, perkataan Willy membuat Isa tak bisa lagi berkata- kata, ucapan itu seolah ultimatum yang tak bisa lagi di ganggu gugat.
Apa- apaan ini, bagaimana bisa dia menjadi milik Willy begitu saja. Dalam hati Isa ingin berontak tapi sayang gerakan tubuhnya benar- benar menikmati bahkan dengan bodohnya Isa membalas ciuman Willy.
..
Willy memarkirkan mobilnya di depan rumah besarnya, lalu menoleh pada Isa yang dengan cepat melepas sabuk pengamannya.
Sejak perjalanan tadi Isa hanya diam, dan Willy pun tak lagi bicara, ia biarkan saja suasananya hening karena sesungguhnya dia juga merasa canggung. Hanya saja Willy memang selalu bisa menutupinya dengan raut wajah yang datar.
Isa keluar dari dalam mobil, namun saat akan berdiri kakinya terasa berdenyut, Isa meringis dan berjongkok, dia ingat tadi saat Willy menariknya sepertinya kakinya terkilir. Dengan hati yang kesal Isa mengumpat dan memaki Willy, jika saja Willy tidak menariknya untuk berjalan cepat kakinya pasti baik- baik saja.
Willy mengerutkan keningnya saat melihat Isa berjongkok di depan pintu mobilnya, saat melihat Isa memegangi kakinya Willy segera keluar dari dalam mobil dan menghampiri Isa "Ada apa?" Willy berjongkok mensejajarkan dirinya di depan Isa.
Melihat Willy di hadapannya Isa mendelik kesal "Bukan urusanmu, pergi sana!" Isa masih kesal dengan Willy yang membawa mobil dengan kencang juga sembarangan mengklaim sebagai miliknya. Meski sebenarnya Isa merasakan hatinya berdebar- debar menyenangkan, tapi tetap saja seharusnya dia tidak mengakui perasaanya dengan cara seperti itu.
Willy melihat ke arah tangan Isa yang memegangi kakinya "Kaki mu terkilir?" tangan Willy terulur untuk memeriksa kaki Isa, namun gadis itu justru menipisnya.
"Mau apa kau!" Teriakan Isa membuat Willy menghela nafasnya.
"Aku mau melihatnya, apa itu parah?."
"Tidak perlu aku baik- baik saja!"
Willy berdecak kesal "Ya sudah, jika begitu aku masuk dulu," Willy mengecup dahi Isa.
Isa memerah. Bisa- bisanya Willy melakukan itu di saat Isa sedang marah, lebih parah lagi pria itu melakukannya seolah dia tak melakukan apapun yang membuat Isa kesal setengah mati.
Apa Willy benar- benar tidak peka? Lalu sekarang dengan santainya pria itu berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Isa yang masih berjongkok memegangi kakinya.
Pria itu, sungguh menyebalkan.
Isa berdiri dengan perlahan setelah sebelumnya melepas sepatu hak tingginya, "Dasar pria brengsek!" entah berapa kali Isa mengucapkan itu, yang pasti hati Isa belum puas memaki Willy.
"Kakiku sakit sekali.." Isa kembali meringis saat kakinya kembali melangkah, Isa menunduk melihat kakinya yang memerah di pergelangannya "Sepertinya bengkak." Ucapnya lagi dengan mata yang berkaca- kaca.
Isa masih melihat kakinya saat tiba- tiba terdengar suara seseorang berjalan kearahnya, awalnya Isa hiraukan karena mengira itu pasti seorang pelayan atau pengawal yang sedang berpatroli, namun tak berapa lama Isa merasakan tubuhnya melayang..
"Akhh.." Isa memekik dan melihat ke arah belakangnya dimana Willy menggendongnya "Kau!, turunkan aku!" teriaknya, Isa bergerak tak nyaman saat tangan Willy berada di punggung dan sela kakinya.
"Diamlah, apa kamu tidak lelah terus berteriak." Willy berjalan dengan santai membawa Isa masuk ke dalam rumah.
"Ini semua karena kau!" Tidakkah Willy tahu jika Isa sangat marah.
"Benar, aku lupa. Kau sekarang milikku, harusnya tak perlu tanya saja tadi dan langsung menggendongmu, begitu kan?" Willy tersenyum menatap Isa yang tertegun.
"Apa?" Wajah Isa terbodoh mencerna apa yang Willy katakan.
"Aku tahu kaki mu terkilir. Jadi kau sebenarnya menginginkan aku menggendongmu sejak tadi, harusnya katakan saja secara langsung tak perlu memakai kode- kode."
Isa semakin tak percaya dengan indera pendengarannya, dia yang bodoh atau Willy yang bodoh, seingatnya dia tak memberi kode agar pria itu menggendongnya, bahkan dengan tegas Isa menolak agar Willy tak menyentuhnya.
Willy lagi- lagi tersenyum melihat Isa melamun, namun tangannya melingkar sempurna di lehernya, entah sadar atau tidak kini Isa bahkan tak lagi memberontak hingga Willy bisa membawanya dengan aman sampai tiba di kamarnya.
"Sudah selesai berpikirnya?" Isa merasakan dirinya menyentuh kasur empuk dengan kaki yang berselonjor, kenapa dia tidak sadar kalau dia sudah sampai, benarkah dia di gendong dari lantai bawah hingga tiba di kamarnya di lantai dua.
Isa mendongak melihat Willy yang berdiri di hadapannya, rumah Willy sangat luas, apa pria itu tidak kelelahan menggendongnya?
"Pelayan akan membawa air hangat untuk mengompres kakimu," perkataan Willy kembali menyadarkan Isa, pria itu bahkan sudah duduk di tepi ranjang dan melihat kakinya.
"Ini tidak terlalu parah, setelah di kompres dan di beri salep kau akan sembuh." Willy masih meneliti kaki Isa.
"Kau mengatakannya tanpa rasa bersalah?" Isa mendelik tajam.
"Mengapa?" tatapan mereka beradu, hingga Isa memilih memalingkan wajahnya.
"Jika kau tidak menarik aku dengan cepat, aku tidak akan terkilir!"
"Kau saja yang lambat." Isa melihat kembali pada Willy, dari sekian banyak yang dilakukan Willy sejak tadi dia tak meminta maaf satu kali pun dan membuat Isa semakin kesal.
"Kau ini! semua salahmu.." Isa melihat Willy mengerakkan kakinya memutar perlahan "Apa yang?"
Kreeekk.. Krekkk
"Akhh.."
Isa berteriak saat bunyi tulangnya terdengar, Willy mematahkan tulangnya!
...
Hay.. Kalian tahu rasanya saat karya kalian tidak di hargai?
Aku pernah berkata "Jika suka silahkan baca, jika tidak suka cukup tinggalkan." aku tahu karyaku jauh dari kata sempurna, tapi jika kalian jadi aku atau setidaknya tahu siapa aku, kalian pasti tidak akan menyangka aku bisa membuat beberapa Novel, meski sekedar remahan, tapi aku bangga pada diriku sendiri, mulai dari belajar nulis sendiri dan awalnya tak tahu jika awalan dialog dan narasi harus huruf kapital, sampai dimana titik dan koma pun semakin aku perhatikan, mencoba terus menjadi lebih baik dengan otakku yang minim ini. Karena aku suka, aku suka menulis dan berimajinasi.
Tapi tiba- tiba saat aku sedang nyaman menulis meski di sela kesibukan mengurus anak dan rumah tangga, ada yang kasih bintang satu yang artinya buruk aku menghela nafasku.. Bintang satu dia kasih, tapi masih baca karyaku ini.
Teruntuk kalian, meski kalian gak suka, karya siapapun itu tolong jangan kasih rating buruk, karena bintang itu sangat berarti dan menentukan nasib Novel kami selanjutnya.
Jadi begitu ya..
Telimakasih Guys, jangan lupa kalian boleh
Like..
Komen..
Vote..
Asal jangan kasih rating buruk, ya!😭
kau dtg kerana urusan bisnes bukan utk urusan hati.. teguh pendirian.. ingat perjanjian