Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
“Bibi, kenapa nangis?”
Bibi mengusap air matanya, tidak ingin membuat Xavier menjadi khawatir.
“Maafin bibi ya, Tuan. Karena Tuan sudah menjadi orang dewasa yang baik, maka dari itu bibi merasa bangga dengan sikap dan perilaku Tuan kepada semua orang. Bahkan Tuan tetap bisa untuk tidak membeda-bedakan orang lain menurut statusnya.”
“Mungkin karena saya sering diajarin bibi sih, makanya saya bisa berbicara seperti ini. Makasih ya, Bi.”
“Iya, Tuan.”
“Ya sudah, Bi. Kalau gitu saya pergi kerja dulu ya. Soalnya saya ada rapat hari ini, rapat penting. Walaupun saya males sih, tapi mau bagaimana lagi, saya direktur utamanya. Sebenarnya saya juga males, sih.”
“Bibi sudah siapin bekalnya ya, Tuan. Kalau mau dimakan syukur, kalau nggak dimakan juga nggak apa-apa.”
Xavier tersenyum melihat bekalnya, merasa seperti anak kecil yang disiapkan bekal oleh ibunya.
“Makasih ya, Bi. Aku pergi dulu.”
“Baik, Tuan. Hati-hati.”
Xavier pergi dari pandangan bibi tanpa berkata apa-apa lagi, sementara bibi hanya tersenyum haru. Ia merasa kalau Xavier sudah tumbuh dewasa dengan baik. Dalam hati, bibi berharap Tuan-nya itu suatu hari memiliki pasangan yang sederajat dengan dirinya.
Di dalam mobil, Xavier melihat bekal makanan tersebut dan berpikir bahwa jika dirinya dulu memiliki orang tua, mungkin akan merasakan hal seperti ini setiap hari. Sayangnya, rasa itu hanya sebentar. Sejak kecil, ia hanya diurus oleh kakek dan bibinya, bahkan kakeknya sendiri jarang sekali memperhatikannya.
Xavier merasa bahwa dirinya sebenarnya tidak terlalu diperlukan di rumah itu—hanya sebagai pewaris usaha keluarga. Ia sadar kalau dirinya hanyalah penerus garis keluarga yang nanti akan dilanjutkan oleh anak-anaknya. Pola hidup keluarganya sudah bisa ia tebak; monoton dan penuh tuntutan.
Berpikir tentang hal itu saja membuatnya malas, apalagi jika harus menjalaninya.
Xavier tiba di kantor terlalu pagi. Tapi mau bagaimana lagi, ia adalah bos di sana. Semua pegawai menyapanya, namun Xavier sudah terbiasa, jadi tidak perlu merasa canggung.
Setelah masuk ke ruangannya, ia langsung bekerja dan menyelesaikan banyak hal. Beberapa jam kemudian, pekerjaannya selesai, dan ia mulai beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan lainnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Di jam istirahat seperti ini, biasanya tak ada yang menghubunginya. Saat melihat isi pesannya, Xavier kaget sekaligus heran.
> “Pak, makasih. Ayo yuk makan.”
Ajakan dari Helen itu cukup mengejutkan. Biasanya, wanita itu tidak pernah mengajak siapa pun makan. Tapi kali ini, ia sendiri yang mengajak.
Xavier hanya tersenyum geli membaca pesannya. Helen memang sering bersikap random.
> “Emangnya kamu lagi di mana? Nggak sekolah?”
> “Enggak. Saya dihukum sama guru karena nggak ngerjain PR. Lalu saya disuruh pulang karena telat. Harusnya masuk jam 07.00 pagi, tapi saya baru datang jam 09.00.”
Xavier tertawa kecil. Ia tidak menyangka Helen bisa sepolos dan sejujur itu.
> “Kenapa kamu telat? Emangnya ada urusan apa sampai nggak datang ke sekolah?”
> “Semalam saya pulangnya kemaleman, soalnya banyak yang pesan minuman sama saya. Makanya saya telat ke sekolah.”
Xavier berpikir sejenak, mungkin jam kerjanya bisa ia ubah supaya Helen tidak terus-terusan terlambat.
> “Kalau jam kerjamu saya pindah, kamu keberatan nggak?”
> “Kalau bisa, saya nggak mau sekolah aja, Pak. Saya lebih pilih kerja daripada sekolah. Saya nggak suka sekolah.”
> “Kok kamu ngomong gitu sih? Jangan dong. Harusnya kamu berprestasi, harus sekolah. Kalau nggak sekolah, nanti kamu dibodohin orang. Emang kamu mau dibodohin orang?”
> “Nggak mau sih, tapi dari sekarang juga saya sering dibodohin. Jadi buat apa sekolah? Sekolah pun nggak bikin hidup saya berubah.”
Xavier bisa memahami perasaan Helen. Ia tahu gadis itu sudah kehilangan semangat untuk belajar.
> “Jadi kamu maunya gimana? Soal sekolah, terserah kamu aja, senyaman kamu. Saya juga nggak bisa maksa.”
> “Saya maunya nggak sekolah, tapi karena Bapak yang sekolahkan saya, jadi saya nggak enak.”
Memang semua kebutuhan Helen ditanggung oleh Xavier, jadi wajar jika Helen merasa sungkan.
> “Kamu nggak usah terbebani soal itu. Itu memang kemauan saya, bukan kamu yang minta. Jadi kenapa harus merasa nggak enak?”
> “Masalahnya saya nggak suka sekolah, Pak. Kayaknya Bapak salah nyekolahin orang.”
Xavier hanya menggeleng lemah mendengar ucapan Helen.
> “Ya sudah, terserah kamu. Yang jelas, saya sudah bayarin uang sekolah kamu. Kalau kamu nggak mau sekolah, ya itu pilihan kamu.”
> “Bapak nggak marah saya nggak mau sekolah?”
> “Untuk apa saya marah? Itu hak kamu, bukan hak saya. Lagian kalau saya marah juga nggak ada gunanya.”
> “Tapi Bapak kan udah keluarin uang buat saya. Pasti Bapak ada berharap sesuatu dari saya, kan?”
Sebenarnya, Xavier tidak punya maksud apa pun selain membantu Helen. Ia hanya merasa kasihan dan ingin menolong dengan tulus.
> “Kalau orang yang saya bantu nggak mau sekolah, ya sudah. Masa saya harus maksa? Nggak bisa.”
Helen merasa makin tidak enak kepada Xavier yang begitu baik dan tidak pernah menuntut apa pun darinya.
> “Ya sudah, mulai besok saya akan ke sekolah tepat waktu dan nggak akan telat. Tapi kali ini temenin saya makan siang ya, mau nggak?”
Xavier tentu saja tidak menolak ajakan itu. Helen jarang sekali mengajak orang makan, jadi ini kesempatan langka.
> “Ya udah, ayo. Mau makan di mana emang?”
> “Saya ke kantor Bapak deh, nanti kita makan bareng.”
> “Boleh, saya tunggu di sini. Nanti kita pergi bareng.”
Pesan pun berakhir di situ. Sambil menunggu Helen datang, Xavier merapikan beberapa pekerjaannya agar tidak menumpuk nanti.
Satu jam kemudian, Helen tiba-tiba datang langsung ke ruangannya tanpa lewat lobi.
“Kok kamu baru datang jam segini sih? Kan udah lewat jam istirahat.”
“Kan Bapak bosnya. Emang Bapak ada jam istirahat? Bapak mah tiap hari juga bisa istirahat, ngapain ngikutin pegawai lain.”
“Iya sih, tapi saya nggak enak sama pegawai yang lain. Kalau mereka lihat saya beda, nanti malah iri.”
“Untuk apa peduli sama mereka? Orang mereka juga yang Bapak gaji. Kalau mereka nggak mau kerja ya nggak usah kerja. Ngapain dipikirin, aneh.”
Xavier hanya bisa diam, merasa seperti sedang dimarahi ibu kos-kosan.
“Kok kamu galak banget sih? Nanti kalau kamu jadi bos juga bakal kayak gitu?”
“Kalau saya jadi bos, saya nggak bakal kayak Bapak. Bapak tuh baik banget sama semua orang, padahal ada orang yang nggak bisa kerja tapi tetap dikasih kerja. Terlalu baik!”
Xavier berpikir emangnya ada pegawainya tidak bisa bekerja sampai-sampai helen berkata seperti itu
“Emangnya ada pegawai saya yang nggak bisa kerja sampai kamu berbicara seperti itu coba kalau ada kamu kasih tahu saya yang mana orangnya”
“Kalau saya sih berani-berani aja ya kasih tahu tapi kan kalau bapak nggak suka kalau misalkan saya jahatin pegawai bapak karena bapak orangnya selalu baik kalau saya sih maunya langsung tunjuk aja biar bapak tahu orangnya yang mana”
“Boleh kamu tunjuk aja langsung biar saya tahu yang orangnya bekerjanya nggak bener tapi malah saya kasihani untuk bekerja”