Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Asep merangkak mendekati Wulan, memohon untuk menyelamatkan mereka.
"Wulan, demi hubungan ayah dan anak. Tolong, katakan pada Ki Barjah kalau kamu memaafkan kami," pinta Asep tak tahu malu.
Wulan menarik tanyanya dengan kuat, berpaling menghindari tatapan sang bapak. Bayangan mendiang sang ibu datang tanpa diundang.
Dulu, ibu juga memohon kepadamu agar tidak kamu usir dari sini, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu hanya mendengarkan istri barumu saja. Kamu selalu percaya padanya bahkan meski tuduhan itu tidak ada bukti sama sekali. Sampai-sampai ibu harus tinggal di istana Nagari sebagai pelayan dan mati mengenaskan.
Wulan menggerutu di dalam hati, menahan laju air mata yang akan turun menjatuhi pipi. Ia tidak sudi memaafkan laki-laki bajingan seperti Asep.
"Saya adalah orang yang tidak mendapatkan pendidikan dari kecil. Saya juga tidak tahu balas budi. Yang saya tahu kamu adalah penyebab meninggalnya ibu saya. Kamu membiarkan wanita itu memfitnah ibu saya tanpa bukti dan mengusirnya dari rumah ini."
Wulan menjeda, menahan getaran di dalam hati. Sungguh rasanya amat menyakitkan apa bila teringat kejadian masa itu. Di mana Wulan menangis memohon sampai mengais tanah agar ibunya dimaafkan, tapi Asep tidak mau peduli.
Asep membelalak, dia melupakan kejadian itu setelah bertahun-tahun lamanya. Tak ingat sama sekali.
"Jadi seperti itu kejadiannya." Tetua adat menimpali.
"Iya, Ki. Dulu saya diancam maka itu saya tidak berani berbicara. Pada akhirnya saya tetap dibuang ke gunung setelah ibu meninggal," jawab Wulan membuat semua penduduk tercengang mendengar kisah itu.
Kisah yang tak pernah terungkap ke permukaan, rahasia yang dijaga Wulan selama bertahun-tahun lamanya. Hari ini dia sengaja mengungkapkannya untuk membalas dendam atas kematian sang ibu.
"Ka-kamu masih mengingatnya?" Asep tertunduk lesu, seharusnya dia merasa malu sekarang dan berhenti memohon.
"Tidak disangka tersangka Kang Asep sekejam itu. Saya pikir itu kemauan Dewi sendiri yang pergi ke istana Nagari. Ternyata dia terpaksa melakukan itu untuk terus melanjutkan hidup, tapi sayang Dewi meninggal dan tidak ada yang tahu apa sebabnya," ujar salah satu penduduk.
Patma semakin terpojok, tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk membela diri.
"Saya serahkan urusan ini kepada Tetua adat. Bagaimana mereka akan dihukum, saya tidak akan menghalangi, tapi sebelum itu mereka harus mengembalikan barang-barang yang mereka curi kepada saya," ucap Wulan dengan tegas.
Ia melirik Asep dengan kejam, tak ada belas kasih di matanya. Hanya ada kebencian dan dendam yang tak akan pernah surut. Asep mendongak tak percaya dengan ucapan anaknya itu.
Jadi, Dewi itu adalah ibunya Neng Wulan? Tak heran Wulan begitu cantik dan lembut, ternyata dia memiliki ibu yang cantik dan menawan juga. Sampai-sampai bapaknya juragan kepincut kecantikannya. Sayang, tidak ada yang tahu apa penyebab kematiannya.
Bi Sumi bergumam di dalam hati, teringat pada seorang pelayan yang berhati lembut yang hanya beberapa bulan saja bekerja di istana Nagari. Pelayan yang dikhususkan untuk merawat juragan Nata bersamanya.
"Wulan, Bapak tahu Bapak salah. Tolong, maafkan Bapak, Wulan. Bapak tidak mau diasingkan, Wulan. Kamu boleh mengambil semuanya, tapi biarkan Bapak tinggal di rumah ini," mohon Asep dengan air mata berlinang.
Wulan bergeming, tetap pada pendiriannya. Menyerahkan segala keputusan kepada tetua adat.
"Baiklah. Semua penduduk sudah mendengarnya. Kang Asep dan keluarganya berhati kejam, tidak berprikemanusiaan. Memfitnah perempuan baik-baik, dan menyebabkan kematiannya. Mencuri yang bukan haknya, sudah sepantasnya dihukum. Sesuai adat yang berlaku, penduduk desa Munding yang berkelakuan jahat akan diasingkan ke hutan terlarang dan selamanya tidak boleh kembali ke desa mana pun. Tidak diakui sebagai penduduk desa, baik di desa Munding maupun di desa yang lainnya!" putus sang tetua adat membuat tulang-tulang Asep dan keluarganya lesu.
"Tidak hanya itu, rumah dan seluruh isinya akan menjadi milik Nyai Wulan. Barang yang dicuri harus dikembalikan oleh tangan yang mencurinya!" lanjut tetua adat membuat Patma dan Sari semakin lunglai.
"Cepat, kembalikan barang-barang milik Nyai Wulan!" titah tetua adat yang tak dapat dibantah oleh keduanya.
Patma dan Sari beranjak mengambil barang-barang yang mereka curi. Hanya saja uang sudah berkurang, tidak masalah bagi Wulan.
"Antar mereka ke tempat pembuangan, dan umumkan kepada seluruh desa!" tandas tetua adat kepada orang-orang yang berpakaian putih yang ikut serta bersamanya.
Habis sudah! Wulan ternyata datang untuk membalas dendam.
"Tunggu!"
Semua orang menoleh pada sumber suara yang datang.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa