"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Daddy Nakal
"Nenekku yang menjodohkanku dengan Ellena. Itu juga terjadi minggu lalu, belum lama. Aku tidak menyangka kalau dia akan pindah ke kampus ini." Justin akhirnya menjelaskan semuanya kepada Jessy.
Jessy menghela napas. Ternyata apa yang ia lihat malam itu direstoran benar-benar Justin. Ia sama sekali tidak bisa marah. Dirinya juga menyembunyikan sebuah kebohongan besar di belakang Justin.
Sebenarnya Jessy sudah menduga hal ini akan terjadi. Justin tak mungkin berakhir dengannya. Dia terlalu tinggi untuk digapainya. Perbedaan mereka sangat jauh, terutama jika dipandang dari segi materi.
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Jessy pasrah.
Justin menggenggam tangan Jessy. "Kamu jangan pesimis, Jessy. Aku akan tetap mempertahankanmu. Aku yakin kita pasti bisa bersama," katanya meyakinkan.
"Aku takut membuat banyak orang kecewa karena hubungan kita," katanya sembari menyandarkan kepala di bahu Justin.
Keduanya menyadari bahwa mereka masih terlalu muda untuk melawan dunia. Mereka tahu kehidupan di dunia yang sebenarnya memang diatur oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Seperti halnya keluarga Justin. Mereka bisa melakukan apapun demi mencapai tujuan, termasuk menyingkirkan Jessy.
"Jessy, aku sangat mencintaimu," kata Justin.
"Aku tahu. Aku juga mencintaimu, Justin."
Jessy sudah pasrah dengan nasib hubungannya. Bu Magda yang sangat baik saja tidak mengharapkan ia berpacaran dengan Justin, apalagi kakek dan nenek Justin yang terkenal sangat tegas.
***
Hari-hari Jessy disibukkan dengan proyeknya mengembangkan ide sebuah start up yang diharapkan bisa berkembang di masa depan. Ia telah memilih empat orang teman dari jurusan yang berbeda untuk mendukung idenya.
Apa yang ia lakukan tak terlepas dari bimbingan Ibu Magda. Sumber dana seluruhnya ditanggung oleh dosen mereka. Empat orang yang Jessy aja secara suka cita menyambut baik karena proyek tersebut ada dananya.
"Baby, kamu sedang apa?" sapa Mark.
Lelaki itu baru saja pulang dari kantor. Ia lihat Jessy masih sibuk di depan layar laptop sembari duduk di atas ranjang.
"Seperti biasa, mengerjakan proyek kampus," jawab Jessy tanpa menoleh ke arah Mark.
Mark mengerutkan dahi. Seingatnya sudah lebih dari dua minggu Jessy selalu fokus pada laptopnya. Ia bahkan tidak tega mengajaknya bercinta karena takut mengganggu.
"Masih belum selesai juga?" tanya Mark dengan nada agak kecewa. Ia melepaskan pakaiannya sendiri dan mengganti dengan pakaian santai.
Biasanya, Jessy akan menyambut kepulangannya dengan hangat. Wanita itu akan membantunya mengganti pakaian serta memberi pelukan yang membuat perasaannya bahagia. Gara-gara tugas itu, Jessy sudah tak mempedulikannya lagi.
"Ini proyek khusus untuk lomba. Aku sedang fokus mengembangkan ide untuk membangun start up baru," kata Jessy.
Mark hanya bisa menghela napas. Ia naik ke atas ranjang, duduk di samping Jessy dan memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu.
"Trash Money?" gumam Mark heran.
"Iya. Rencananya mau membuat start up di bidang pengolahan limbah. Sistemnya nanti konsumen yang akan bergabung harus mendaftar dengan membayar sejumlah uang untuk mendapatkan fasilitas tempat sampah untuk pemilahan. Untuk selanjutnya, sampah yang mereka buang akan ditukar dengan poin dan bisa diuangkan. Jadi, mereka bisa dapat penghasilan juga dari sampah."
"Kenapa tempat sampahnya tidak diberikan gratis? Bukankah itu akan lebih menarik minat banyak orang?" tanya Mark.
"Mereka yang berani membayar uang pendaftaran member artinya sudah siap mengubah kebiasaan dalam membuang sampah yang awalnya di dicampur menjadi dipilah. Targetnya untuk kalangan yang berminat saja. Selain itu juga untuk menghemat biaya," jawab Jessy.
Mark ingin tertawa mendengar jawaban yang terdengar lucu itu. "Lalu, sampah-sampah yang sudah dipilah akan dibuang kemana?" tanyanya.
"Tentu saja tidak dibuang, tapi dijual ke perusahaan pengolahan limbah."
"Oh, pintar sekali ide bisnisnya. Kamu menyuruh orang membayar untuk masuk jadi anggota, menyuruh mereka memilah sampah, terus kamu jual dan dapat uang tanpa susah payah? Bisa cepat kaya, ya ...." Mark sampai geleng-geleng kepala dengan ide Jessy. Ia menepuk lembut puncak kepala wanita itu.
"Aku juga membagi sedikit keuntungan dengan mereka, Daddy. Sampah yang mereka pilah akan dihitung dengan poin dan dapat diuangkan. Aku tidak seserakah itu," bantah Jessy.
"Hahaha ... Sekalipun kamu mau serakah, itu tetap sah-sah saja. Dalam berbisnis memang yang diutamakan adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya."
Jessy kembali fokus pada pekerjaannya. Ia perlu menuliskan deskripsi yang bagus tentang start up buatannya agar menarik orang untuk turut bergabung. Berkat bantuan teman-temannya dari jurusan Teknik Informatika, Desain Komunikasi Grafis, dan Bisnis Digital, ia telah berhasil merancang logo dan website start up milikinya.
"Daddy ...."
Jessy menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya melebar melihat kelakuan Mark yang cukup mengganggunya. Tangan lelaki itu begitu nakal menggerayangi dadanya.
"Kamu selesaikan saja pekerjaanmu, Baby. Aku hanya ingin membantu memijitmu," goda Mark.
Tentu saja Jessy tak bisa berkonsentrasi. Mark telah menyentuh salah satu titik sensitifnya. "Aku tidak bisa kalau seperti ini," keluh Jessy menahan lengkuhannya.
"Mungkin kamu perlu beristirahat supaya rileks," bisik Mark nakal.
Jessy menggigit bibirnya. Hembusan napas Mark di telinga membuatnya tak bisa berpikir lagi. Apalagi tangan Mark terus memanjakan kedua bukitnya dengan lembut.
"Please, Daddy. Malam ini aku ingin menyelesaikannya. Jangan ganggu dulu," kata Jessy memelas.
"Aku sudah cukup mengalah 2 minggu, Baby. Kamu tetap bisa terus mengerjakan tugasmu, tapi biaskan aku melakukan tugasku," jawab Mark.
Jessy tidak mungkin melanjutkannya dalam kondisi seperti itu. Ia memilih mematikan laptop sebelum datanya hilang. "Biar aku bereskan barang-barangku dulu!" pinta Jessy.
Mark akhirnya mau melepaskan Jessy dan membiarkannya menaruh laptop serta buku-buku ke dalam tas.
Wajah Jessy tampak cemberut. Namun, ia tetap melepaskan pakaiannya menghampiri Mark di atas ranjang.
realistis dunk