Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO Bab 28 - Restu Gaida
Di tempat lain, motor milik Alden meluncur dengan kecepatan tinggi di antara padatnya jalan kota. Sang empunya sudah tidak sabar untuk tiba di Rumah Sakit Royal Dude.
Beberapa waktu lalu, Alden berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Dinda, yang menurut salah satu warga dibawa ke Rumah Sakit Royal Dude.
Kamu tidak boleh kenapa-napa Dinda. Kamu harus selamat. batin Alden seraya menambah laju.
Karena kecepatan berkendara di atas rata-rata, maka tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di sana. Hanya dua puluh menit saja.
Setibanya di Rumah Sakit Royal Dude, Alden bergegas masuk dan menanyakan keberadaan Dinda kepada petugas.
"Maaf Tuan, di sini tidak ada pasien atas nama Adinda Holscher."
"Ini Tidak mungkin. Dia dibawa ke rumah sakit ini, mana mungkin tidakk ada," jawab Alden. Dia masih yakin dengan informasi yang didapat dari warga.
"Tenang Tuan, mungkin saja dia masih pingsan dan dokter belum tahu identitasnya. Jadi, nama Nona Adinda belum terdaftar sebagai pasien," ucap Derrick berusaha menenangkan tuannya. Dia juga ada disini, sedari tadi mengikuti kemanapun Alden pergi menggunakan mobilnya sendiri.
"Kamu benar," kata Alden.
Lantas dia kembali bicara dengan petugas, menanyakan korban kecelakaan hari ini.
"Ada tiga korban yang masih pingsan dan identitasnya belum diketahui. Mereka masih ada di IGD."
"Boleh saya melihatnya? Teman saya kecelakaan dan dibawa ke sini, mungkin salah satunya adalah dia," ucap Alden dengan cepat.
Sang petugas meluluskan permintaan Alden karena pihak rumah sakit juga masih mencari keluarga mereka. Sungguh beruntung jika ada yang datang sendiri.
"Mari, silakan ikut saya!" ajak perawat yang akan mengantarkan Alden ke IGD.
Alden mengangguk dan mengikutinya. Dan tak lama kemudian, mereka tiba di sana. Alden dan perawat masuk ke ruangan, sedangkan Derick menunggu di luar.
Setelah melihat pasien yang pertama, Alden kecewa dan juga senang. Kecewa karena belum berhasil menemukan Dinda, tapi juga senang karena pasien yang cukup parah itu bukan dia. Setidaknya masih ada harapan melihat Dinda baik-baik saja.
"Apakah dia teman Anda?" tanya perawat ketika melihat pasien yang ke tiga.
"Bukan." Alden menggeleng lemah. Setitik harapannya perlahan hilang dan entah ke mana lagi mencari harapan itu.
Karena tidak menemukan titik terang di dalam IGD, Alden bergegas keluar dan menemui Derick.
"Bagaimana Tuan?" tanya Derick.
"Bukan Dinda. Kita harus mencari ke tempat lain, Rick," jawab Alden, suaranya terdengar penuh oleh putus asa.
"Baik Tuan." Derick mengangguk patuh.
Rupanya, Alden salah informasi. Seseorang yang kecelakaan dan dibawa ke Rumah Sakit Royal Dude bukan Dinda, melainkan orang lain. Sementara Dinda, kecelakaan dan dilarikan ke Rumah Sakit Medistra.
Kini, Alden dan Derrick terus mencari ke klinik-klinik terdekat. Pikirnya, mungkin Dinda tidak parah dan cukup dirawat di klinik saja. Namun, pencarian itu tak jua membuahkan hasil.
"Mungkin yang kecelakaan bukan Dinda. Dia hanya kabur dan sembunyi entah di mana," ujar Alden setelah cukup lama mencari.
"Semoga saja benar Tuan."
"Kita harus menemukannya!" Alden bicara tegas.
Tanpa beristirahat, Alden dan Derick kembali mencari Dinda. Namun, sampai siang berubah malam, mereka belum menemukan tanda-tanda keberadaan Dinda.
"Tuan, apa mungkin ... Nyonya Gaida sudah berhasil menangkapnya?" kata Derick dengan ragu-ragu.
Alden tidak menjawab, hanya mengepal dan menahan amarah. Sesungguhnya, sejak tadi dia memikirkan hal yang sama. Tapi, terus berusaha menenangkan diri agar tidak panik.
"Tuan!" panggil Derrick.
"Terus cari dan jangan berhenti sebelum ketemu!" perintah Alden.
"Baik Tuan."
"Aku akan pergi ke rumah Liora. Aku menunggu kabar baik darimu," kata Alden.
Usai memberikan perintah, Alden kembali memacu motornya dan kembali ke apartemen. Dia akan bersiap-siap menemui Gaida seperti janjinya pada Liora tadi siang.
Tepat pukul 08.00 malam, Alden menghentikan motornya di depan rumah Liora. Dengan penampilan seperti biasa, dia memasuki pintu gerbang yang sudah terbuka lebar.
"Mari, Nyonya dan Nona sudah menunggu Anda di dalam," ucap seorang pelayan yang menyambut kedatangannya.
Alden tak menanggapi apapun dan kemudian mengikuti langkah pelayan itu. Lantas mereka masuk ke dalam rumah besar miliki Gaida.
Setibanya di ruang tamu, Gaida dan Liora langsung menyambut dengan hangat dan ramah. Senyuman terus merekah di bibir keduanya, sangat serasi dengan penampilan yang mewah.
"Sayang, ayo duduk."
Liora menggamit tangan Alden dan membimbingnya duduk di sofa. Sementara dirinya, juga duduk di sana dengan tubuh yang terus menempel.
Alden menatap kekasihnya sekilas, lantas mengulas senyum masam. Meski malam ini penampilan Liora sangat cantik dan memesona, tapi tidak menggetarkan hati Alden. Rasa cintanya sudah retak, entah nanti bisa kembali utuh atau bahkan malah patah.
"Melihat kalian mesra begini, Nenek ikut senang. Rasanya sudah tidak sabar menyaksikan kalian menikah dan memberikan cicit untuk Nenek," ucap Gaida lengkap dengan senyuman lebar.
Alden hanya diam saja, hanya merasa aneh dengan situasi yang dia hadapi saat ini.
Dia mulai merasakan perubahan sikap Gaida. Yang biasa angkuh dan sinis, kini terlihat ramah. Seolah-olah wanita itu sudah menerima kehadirannya.
"Maafkan Nenek Al, selama ini nenek memperlakukan mu tidak baik. Nenek hanya buta, tidak melihat jika kamu adalah pria terbaik pilihan Liora," ucap Gaida lagi, dia mendominasi pembicaraan malam ini.
"Kita lupakan tentang masa lalu, tidak perlu lagi dibahas. Sekarang nenek akan merestui kalian," ucapnya lagi dengan mantap. Liora pun menganggukkan kepalanya setuju.
Mereka tak sadar jika sikapnya berlebihan dan justru membuat Alden berpikir lain.
Mereka terlalu fokus dengan tujuan utama, sampai-sampai tidak bisa membaca ekspresi wajah Alden. Yang ada dalam pikiran mereka hanya menjerat Alden, membuatnya tetap menikahi Liora dan berhenti mencari Dinda.
Dia hanya wanita bayaran yang miskin dan tidak berguna, kamu tidak boleh memikirkannya apalagi mencarinya. Satu-satunya wanita yang layak menjadi istrimu hanya cucuku. batin Gaida.
Dalam benaknya, sudah tergambar jelas tatapan kagum dari para teman dan rekan. Menjadi menantu di keluarga Carter adalah impian hampir setiap wanita. Dan siapa sangka cucunya berhasil menyandang gelar itu. Sungguh sebuah hal yang sangat membanggakan.
"Setelah malam ini, perkenalkan lah Liora pada kedua orang tua mu dan rencanakan pernikahan kalian secepatnya," ucap Gaida lagi, restu yang buru-buru.
Alden tak menanggapi dengan kata-kata, dia hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum, meski sebenarnya menahan amarah di dada.
Gaida tidak lagi menghina dan memaki seperti biasanya, malah merendah dan terus meminta maaf seperti penjilat. Dan hal itu membuat Alden semakin curiga.
Sepertinya dugaanku memang benar, mereka sudah tahu identitasku yang sebenarnya. batin Alden.
"Lio, aku ingin ke toilet. Bisa kamu mengantarku?" ucap Alden, akhirnya dia buka suara setelah cukup lama hanya diam, dia ingin masuk lebih dalam ke rumah ini, mencari semua petunjuk untuk menemukan Dinda.
"Baiklah, ayo, aku akan mengantarmu," jawab Liora.
Saat itu Liora mengajak Alden untuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, mereka berdua naik ke lantai 2. Sepanjang perjalanan itu Alden terus mengedarkan pandangannya, menatap lebih tajam ke tiap sudut ruangan. Namun tetap saja dia tak menemukan petunjuk apapun tentang Dinda.
Kamu dimana Din? batin Alden.