NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 28

"Apa kau tidak mau mampir untuk minum kopi sebentar?," ucap Emily begitu mobil yang dikendarai Albert berhenti di depan apartementnya.

Albert mengernyitkan dahi, berfikir apakah ini adalah sebuah ajakan sopan atau kode yang artinya Emily ingin berbicara lebih intens dengannya.

"Jika kau mempersilahkan, aku akan singgah sebentar.."

Apartemen itu tidak terlalu besar, namun tertata rapi dan hangat. Wangi kopi yang baru saja diseduh segera memenuhi ruangan, membuat suasana semakin akrab.

Emily menaruh dua cangkir di meja kecil dekat sofa, lalu duduk berseberangan dengan Albert.

“Semoga kau tidak keberatan kopi instan,” ucap Emily sambil tersenyum tipis, seolah malu.

Albert menerima cangkir itu, menatap uap panas yang mengepul. “Aku tidak masalah, kopi instan pun bisa terasa enak jika diminum di tempat yang tepat.”

Emily tertawa kecil. “Kau pandai sekali merangkai kata, Tuan Albert."

“Bukan merangkai kata,” balas Albert tenang, menatap matanya sesaat, “tapi itu memang apa yang kupikirkan.”

Keheningan singkat tercipta, hanya terdengar suara jam dinding dan hiruk pikuk samar dari jalan di bawah sana.

Emily menggigit bibirnya, merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, dia lalu mencoba mencairkan suasana.

“Jadi… kau selalu pulang larut seperti ini? Atau hanya kebetulan malam ini aku ikut menumpang?”

Albert menyesap kopi perlahan sebelum menjawab. “Hampir setiap malam. Rasanya pekerjaan selalu menumpuk tanpa akhir.”

Bibirnya melengkung samar. “Tapi malam ini berbeda, aku punya alasan untuk berhenti sebentar.”

Emily terdiam sejenak, menatap wajahnya dengan ragu. “Maksudmu?”

“Ya,” Albert mengalihkan pandangan ke cangkirnya. “Aku berhenti karena mengantarmu pulang. Dan.. aku tidak menyesalinya.”

Pipi Emily langsung merona, dia buru-buru menutupi dengan tertawa kecil. “Kau benar-benar tahu bagaimana membuat seseorang merasa spesial.”

Albert menatapnya serius kali ini. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”

Suasana kembali hening, itu membuat Albert yang tidak tahu harus mengangkat topik apa akhirnya memandang ke sekeliling ruangan.

Disana ada banyak alat melukis dan beberapa lukisan yang sudah jadi, dia pun teringat bahwa ayahnya telah memberitahukan tentang Emily dan Emy yang sama-sama mengambil jurusan seni.

"Apa kau sangat suka melukis?," tanya Albert.

Seketika itu juga Emily ikut memandang ke arah dimana Albert memandang, dia menganggukkan kepala dan berkata, "awalnya tidak, tapi saat aku bertekad dan rajin belajar, ternyata aku memang memiliki bakat itu dari ibuku"

Mendengar Emily yang mengatakan tentang ibunya membuat Albert semakin tertarik, dia menatap Emily seolah memberikan ruang agar dia lebih banyak bercerita tentang wanita yang melahirkannya itu.

"Yah.. dia sudah lama meninggal, jauh sebelum aku kembali ke keluarga ini," Emily mulai menerawang ke masa lalunya.

"Maksudmu?," tanya Albert.

"Saat aku kecil, aku hilang dan baru di temukan beberapa tahun belakangan ini"

Emily menatap Albert, dia mencari ekspresi kasihan dari pria itu namun tidak ada sedikitpun.

"Itu masa lalu, jadi tidak papa juga kalau kita menceritakannya bukan? Lagi pula tidak ada yang bisa merubah masa itu.." ucap Albert, meyakinkan Emily agar menyelesaikan ceritanya.

Sebelum Emily melanjutkan, dia melihat jam di dinding dan berkata, "Aku akan mempersingkatnya karna ini sudah larut malam"

Emily menghela nafas panjang.

"Saat kecil aku tenggelam dan di selamatkan oleh seorang biarawati, akhirnya aku di besarkan di panti asuhan, selama tahun berikutnya mereka mencari ku karna tidak menemukan jasadku"

"Setelah lelah mencari, mereka memutuskan mengangkat seorang gadis dan memberikan dia nama yang mirip denganku untuk mengobati rasa rindu ibu padaku"

Cerita yang di sampaikan Emily ringkas dan jelas sehingga Albert tidak menanyakan apapun setelah dia bercerita.

Emily akhirnya meneguk kopinya, lalu menatap jam dinding lagi.

“Ah.. sudah hampir tengah malam. Kau harus pulang, bukan? Aku tidak ingin membuatmu terlalu lelah.”

Albert mengangguk pelan, meletakkan cangkir yang sudah hampir kosong, dia bangkit, meraih jasnya yang tadi diletakkan di sandaran sofa. “Terima kasih untuk kopi dan.. ceritamu.”

Emily ikut berdiri, mengantarnya sampai pintu. “Aku yang harus berterima kasih. Rasanya menyenangkan berbicara denganmu tanpa topik pekerjaan atau hal-hal berat.”

Albert menatapnya lama sebelum akhirnya membuka pintu. “Kalau begitu, mungkin kita harus melakukannya lagi.. suatu saat nanti.”

Emily tersenyum tipis, menyembunyikan debar di dadanya. “Aku akan menunggu.”

Albert membalas senyum itu, lalu melangkah keluar. Pintu menutup perlahan, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku dengan perasaan hangat yang masih tertinggal di sana.

***

Beberapa minggu kemudian, rapat di adakan di satu cabang Hilton Group yang bergerak di bidang seni modern terasa berbeda.

Dinding kaca besar menampilkan pemandangan kota yang sibuk, sementara layar proyektor menampilkan slide berisi karya-karya digital penuh warna. Para manajer seni duduk rapi, memperhatikan presentasi dari kepala divisi mereka.

“Seperti yang sudah saya laporkan minggu lalu, kita sedang mencari seniman muda untuk kolaborasi pameran tahun depan,” jelas seorang pria berkacamata, Kepala Divisi Seni, sambil menunjuk layar.

“Tim kami menelusuri akun-akun independen, dan menemukan satu yang cukup menarik.”

Slide berikutnya menampilkan beberapa lukisan bergaya kontemporer seperti permainan warna lembut bercampur goresan tegas, penuh emosi tapi tetap elegan.

Di pojok setiap karya, ada tanda tangan kecil bertuliskan Daisy.

“Seniman ini tidak pernah menunjukkan identitas aslinya,” lanjut pria itu.

"Dia hanya menjual karyanya lewat akun sosial media dan platform seni. Namun, respons pasar cukup baik, banyak yang mengaku tersentuh oleh gaya melankolis yang dia tuangkan."

Albert yang duduk di kursi utama memperhatikan layar dengan seksama. Ekspresinya tenang, tapi matanya tampak sedikit berbeda. Ada sesuatu dalam lukisan itu yang membuatnya berhenti sejenak.

“Daisy…” gumamnya pelan. “Unik. Siapkan tim untuk menghubunginya.”

“Baik, Tuan,” jawab sang Kepala Divisi dengan penuh semangat. “Kami akan mengirimkan undangan resmi untuk kolaborasi pameran.”

Sementara itu, di kamar pribadinya, Emily sedang menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Notifikasi baru saja masuk di emailnya.

[Kepada Daisy,

Kami dari Hilton Art Division dengan bangga mengundang Anda untuk berdiskusi mengenai kemungkinan kolaborasi pameran seni kami. Karya Anda menyentuh banyak orang, dan kami percaya ada potensi besar dalam goresan Anda. Kami berharap bisa bertemu langsung dalam waktu dekat.]

Emily menutup mulutnya, nyaris menjatuhkan ponselnya.

Matanya membelalak tak percaya. Hilton Group?

Itu.. perusahaan Albert!

Tangannya gemetar saat menekan layar, akun Daisy adalah identitas rahasianya, sesuatu yang dia buat hanya untuk menghasilkan uang tanpa harus bekerja secara fisik.

Selama ini dia tidak pernah berani mengungkapkan ke keluarganya bahwa dia memiliki bakat melukis.

Sejak kecil, setiap kali dia menggambar, Emy selalu menertawakan hasil karyanya dan Ethan menyebutnya “buang-buang waktu”, itulah yang membuatnya malas untuk mengasah bakat tersebut.

Namun ketika di harapkan dengan kesulitan, ternyata melukis memberikan harapan baru padanya, setidaknya di kehidupan yang lalu dia bisa mendapat uang dari sana.

Hanya melalui akun Daisy dia merasa bebas, seakan dunia luar mau mendengarkan isi hatinya.

Dan kini, akun itu ditemukan oleh perusahaan calon suaminya.

“Apa yang harus kulakukan?” bisiknya panik.

***

Hari berikutnya, Emily duduk di kursi dekat taman apartementnya sambil membawa sketsa kecil.

Pikirannya masih berkecamuk, tiba-tiba suara tenang yang sangat familiar menyapanya.

“Apa yang kau lukis?”

Emily tersentak, Albert berdiri di belakangnya, menatap kertas sketsa yang buru-buru dia sembunyikan di balik buku.

“Tidak.. aku hanya mencoret-coret,” jawabnya cepat.

Albert tidak mendesak, hanya duduk di kursi seberang. “Coret-coret pun bisa jadi karya kalau kau melakukannya dengan hati.”

Emily menatapnya bingung. Biasanya Albert selalu bicara dengan nada dingin, tapi kali ini suaranya terdengar lebih lembut.

“Kau tahu,” lanjut Albert, “perusahaan cabangku sedang mencari seniman. Mereka menemukan akun bernama Daisy. Karya-karyanya... menarik. Penuh emosi, tapi tetap elegan.”

Emily membeku. Jantungnya berdegup semakin cepat. “D-Daisy?”

Albert mengangguk pelan. “Ya. Entah siapa dia, tapi aku merasa seolah-olah pernah mengenal gaya itu.”

Emily menunduk, berusaha menahan wajahnya agar tidak terlihat panik. “Lalu.. apa yang akan kau lakukan?”

“Aku ingin bertemu dengannya. Orang itu punya sesuatu yang berbeda. Dan Hilton Group tidak akan melepaskan talenta yang begitu langka.”

Emily tidak berani menatap Albert. Tangannya menggenggam buku sketsanya erat-erat, takut kalau saja dia tanpa sengaja mengaku.

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!