NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satu Titik Pusat

...Chapter 28...

Setiap gerakan terlihat liar dan acak bagi siapa pun nan memandang dari luar.

Tetapi bagi Theo, setiap ayunan dan serangan memiliki tujuan begitu pasti.

Ruang pertempuran nan semula biasa menjadi medan energi begitu padat, di mana tiap serangan yang dilepaskan bergerak di luar aliran waktu normal, memundurkan detik demi detik dari -1, -2, -3 hingga setiap teknik merangkai riak ketegangan yang membingungkan indera.

Tidak ada titik henti, tidak ada jeda.

Hanya himpunan teknik yang bergerak secara simultan, menyalahi logika alam, namun selaras dengan niat dan konsentrasi Theo yang tak tergoyahkan.

Setiap pedang nan berputar, menebas, dan meluncur menembus ruang dengan kekuatan dan presisi menakutkan, menyerang satu titik pusat begitu serupa, akar dari segala ancaman yang harus dihancurkan.

Inti Lu yang dilepaskan begitu intens sehingga medan di sekeliling bergetar, tanah berderak, dan udara tampak retak oleh kekuatan yang melampaui ukuran manusia biasa.

Theo berdiri di tengah pusaran, tubuhnya tampak tenang meski setiap serangan memaksa konsentrasi dan kesadaran tingkat tinggi.

Lengan kiri yang sebelumnya lumpuh akibat ledakan hampir tidak lagi menjadi hambatan karena Teknik Totalitas mengalihkan fokus dan kekuatannya ke seluruh gerakan yang muncul di sekelilingnya.

Semua itu bukan hanya pertunjukan teknik berpedang, tetapi juga manifestasi dari kreativitas dan kejeniusan seorang penulis nan mampu mengubah teori menjadi kenyataan berbahaya.

Dalam sekejap, semua teknik menyerbu, menargetkan Cru secara langsung, tidak membiarkan ruang untuk bertahan atau mengelak.

Setiap gerakan adalah presisi tanpa cela, harmonisasi kekuatan dan strategi yang lahir dari penguasaan penuh terhadap pedang dan konsep ruang waktu.

Ruang pertempuran menjadi simfoni brutal, kombinasi kaos dan ketertiban, di mana setiap pedang membawa niat Theo untuk menumpas akar ancaman secara total.

Tekanan nan muncul begitu nyata sehingga siapa pun yang berdiri terlalu dekat akan merasakan getaran yang hampir memecah tulang dan mengguncang Inti Lu.

'Setidaknya enam puluh persen dari seluruh teknik berpedang yang kumiliki sudah kuterjunkan.

Tebasan dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, menyerong ke kiri, melintang ke kanan—semua bergerak dengan niat tunggal, satu titik fokus.

Anda!!'

Alhasil karena jumlah teknik yang dikerahkan begitu luar biasa, pandangan Theo kian terhanyut di antara pusaran serangan yang dia ciptakan.

Tebasan pedang meluncur dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, menyilang menyerong dari kiri bawah menuju kanan atas, dan garis horizontal lurus nan menuntun ujung pedang ke muka lawan.

Setiap gerakan mengalir tanpa jeda, seakan medan pertempuran dibentuk dari ritme dan simetri yang hanya dapat dipahami oleh satu pikiran yang menguasai semua teknik tersebut.

Mata Theo, yang awalnya terbuka lebar penuh kewaspadaan, perlahan menyipit mengikuti setiap tarikan dan ayunan, tubuhnya menyesuaikan posisi, menahan napas, memasang kuda-kuda nan menunjukkan kesiapan menghadapi ancaman paling hebat.

Posisi ini bukan sekadar bertahan, tetapi refleksi samurai sejati yang menyadari bahwa setiap langkah dan setiap ayunan menentukan hidup dan mati.

Seratus persen konsentrasi Theo tertuju pada satu titik, tempat terakhir Cru berada, meski energi yang dilepaskan tersebar di segala arah.

Tidak ada celah untuk kesalahan.

Setiap teknik yang muncul dari jurus-jurus yang digabungkan itu memiliki tujuan serupa, dan setiap gerakan yang melesat menimbulkan riak ketegangan nan menyebar ke udara sekeliling.

Tanah bergetar di bawah kaki, debu dan pecahan material beterbangan, menggarisbawahi medan itu sendiri menolak hadirnya kekuatan yang tak terkendali namun dikendalikan dengan presisi sempurna.

Tubuh Theo menahan semua tekanan itu.

Bahkan ketika lengan kirinya yang lemah menjadi pengingat batasan manusia, ia tetap mampu menyesuaikan diri agar setiap serangan mencapai titik akhir tanpa hambatan.

Seiring teknik-teknik itu terus menderu, aura kekuatan dan kreativitas Theo memancar dengan intensitas paling sulit diukur.

Setiap pedang bukan sekadar logam yang melesat, tetapi manifestasi dari intuisi dan strategi nan terlahir dari pengetahuan mendalam seorang penulis sekaligus pejuang.

Setiap ayunan, setiap putaran, setiap serangan yang bergerak mundur di luar aliran waktu normal menjadi kombinasi kekacauan dan ketertiban nan menakjubkan, menciptakan wilayah di mana siapa pun yang menyaksikan akan merasakan ketegangan nyaris fisik begitu mendesak.

Segalanya tertuju pada satu titik.

'Rupanya kau ada di sana, Cru.

Aku menangkap aura Anda di sebelah kanan—agak ke belakang, ya?

Tangan kiriku masih bisa digerakkan.

Sakit, namun masih mampu mencengkeram pedang.

Tangan kanan bersiap, siku menghadap belakang.

Jarak kita sangat dekat, hanya perlu dua langkah untuk menyabet lehermu.

Satu kali … cukup satu sabetan kilat, lalu—’

Tssuuuung!

'Jebakan? Lima langkahku sendiri yang menjadi kesalahan fatal—’

BOOM!

'Binatang!!’

Fuuuuuh!

'Keseimbangan tubuhku kacau, sementara waktu tidak bisa menemukan pijakan yang tepat.’

Wussssh!

'Seperti inikah rasanya berhadapan dengan Administrator yang mengeluarkan kemampuan sebenarnya?'

Baaaam!

‘Uhkk—!! Ghh—p … perutku …!!'

Usssshh!

'Bukan pukulan biasa.

Seperti ditabrak oleh seluruh hukum alam.

Sa-mu … kau menyalurkannya lewat tinju, iya kan?!

Meridian-ku terbakar, Benih Tenaga-ku—hampir remuk!

Bangun!!'

Kemudian ledakan itu mengguncang udara, mengirim riak energi nan membuat tanah di sekitar Theo bergetar hebat.

Theo menyadari keberadaan Cru tepat di samping kanan, sedikit menyerong ke belakang, dan tanpa ragu menempatkan pedang di tangan kiri meski nyeri, sementara lengan kanannya bergerak membentuk sikut ke belakang, siap menghadapi serangan.

Jarak yang cukup dekat memungkinkan Theo bertahan tanpa harus melangkah mundur beberapa kali, namun ambisi dan dorongan adrenalin membuatnya lupa memperhitungkan langkah lima tahapan yang biasanya ia lakukan sebagai penulis sekaligus pejuang.

Hanya beberapa detik kemudian, Theo tersadar bahwa ia telah masuk perangkap Cru.

Ledakan dari belakang punggungnya mendorong tubuhnya ke depan dengan tak terkendali.

Keseimbangan terguncang, dan setiap langkah menjadi rapuh.

Dalam momentum itu, Cru dengan cepat mengarahkan kepalan ke perut Theo, memusatkan tenaga yang tidak hanya menembus meridian dan otot, tetapi juga menembus indera spiritual yang biasanya menjadi insting tambahan Theo sebagai samurai sejati.

Theo terpaksa mundur beberapa meter, menutup mulut dengan tangan kanan saat darah mengalir keluar meski tidak banyak, sementara tangan kiri yang masih memegang pedang menekan perutnya yang kesakitan, menahan nyeri sambil mencoba tetap stabil.

Serangan itu tidak bisa diremehkan dan datang tanpa peringatan bagi Theo.

Tinju yang melesat melalui Sa milik Cru bukan sekadar pukulan biasa, ia nyaris menghancurkan jantung Theo berkeping-keping, meruntuhkan pertahanan Benih Tenaga nan selama ini menjadi fondasi kekuatannya.

Setiap sel tubuhnya bergetar, namun refleks dan pengalaman bertahun-tahun sebagai penulis nan memahami pertempuran menahan tubuhnya agar tidak jatuh penuh, meski tubuhnya dipaksa menyesuaikan tekanan dan dorongan luar biasa yang datang secepat kilat.

'Mengedip—dengan tempo lambat dan sengaja?

Dan itu bukan gerakan mata biasa, melainkan pertanda datangnya badai.

Pilihanku terbatas—teknik pedang pertama atau kedua?

Atau semua kemampuan yang masih tersisa?

Tapi lengan kiri ini jika dipaksakan, Parameternya bisa meledak—kematian adalah janji yang pasti, bukan sekadar kemungkinan.'

Usssshhh!

'Baiklah—pedang, pindah ke tangan lainnya.

Satu tangan memikul beban seluruh narasi ini.

Jangan memperdayai dirimu sendiri, Theo.

Hitung langkah dengan teliti, perkirakan waktu dengan presisi.'

MATI, MATI, MATI dan MATI!!

Pedang berdiri tegak, menjadi penghalang di depan dada.

Tanpa gaya tebasan mewah, tanpa komposisi heroik.

Hanya sebilah baja yang menantang takdirmu, Cru.'

Theo menatap Cru dari kejauhan, tubuhnya masih gemetar akibat cedera di bahu dan lengan kiri, sementara pikirannya sibuk menimbang strategi bertahan.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!