Karena desakan Ekonomi, Rosa terpaksa harus menikah dengan pria yang sama sekali tak di cintainya. Bekas luka di tubuh serta hatinya kian membara, namun apalah daya ia tak bisa lepas begitu saja dari ikatan pernikahan yang isinya lautan luka.
seiring berjalannya waktu, Rosa membulatkan tekadnya untuk membalas segala perbuatan suaminya. bersembunyi di balik wajah yang lemah lembut nan penurut, nyatanya menyiapkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Hem, gimana ya ceritanya. yuk simak kelanjutannya, jangan lupa tinggalkan jejak likenya, komen, subscribe dan vote 🥰🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam pengantin
Rosa keluar dari gedung pernikahan dengan perasaan lega, langkahnya mengayun berjalan menuju mobil Kenny yang sudah menunggu. Kenny sebagai kakak angkatnya bersedia menemani Rosa kemana pun ingin pergi.
"Ayo, Tuan besar pasti sudah menunggu." Ucap Kenny tersenyum.
Rosa pun masuk ke dalam mobil Kenny dan duduk di samping kursi kemudi. Alan keluar dari gedung, ia berlari begitu mobil Kenny melesat pergi bak kilat.
"Rosa!" Teriak Alan.
Langkahnya berusaha mengejar, tetapi tetap saja tak mampu menggapai mobil yang sudah pergi jauh sampai tak terlihat lagi bayangannya. Alan meninju udara guna melampiaskan amarahnya, hidupnya terasa tak berarah kala penuntun jalan tak lagi mengarahkannya.
"AAARRGGGHHHH!!!" Teriak Alan frustasi.
****
Rosa menyandarkan kepalanya lesu, air matanya jatuh seperti air embun diatas daun talas, hatinya diliputi penyesalan dan merutuki kebodohannya.
'Mengapa tak dari dulu aku mengambil keputusan untuk bercerai, kenapa harus kehilangan dahulu saat aku berani mengambil keputusan? Rosa, kenapa kau bodoh sekali, kenapa kau berbaik hati mengorbankan bahagiamu sendiri.' Batin Rosa.
"Kamu belum ikhlas?" Tanya Kenny ragu.
"No! Aku sangat-sangat ikhlas, cuma aku kasihan sama diriku sendiri, karena bodohnya aku sampai mau di perlakukan bak barang yang bisa diatur dan di lempar sesuka hati. Sekarang, aku tidak akan lagi menjadi lemah!" Jawab Rosa dengan penuh keyakinan.
"Good job! Cintai diri sendiri, di dunia yang penuh dengan ketidak adilan tidak pantas untuk orang lemah, karena lemah adalah senjata paling di butuhkan oleh orang jahat untuk menginjak-injak." Ucap Kenny.
Kenny tak hanya menyiapkan psikolog untuk membantu adiknya sembuh, namun ia juga membantu Rosa dengan menanamkan ketegasan di dalam dirinya, membentuk adiknya untuk tumbuh menjadi lebih kuat supaya tidak bisa di perdaya orang lain.
Cekiittt..
Mobil berhenti tepat di depan gedung yang menjulang tinggi, rumah sakit terbesar di negara konoha. Kenny meminta Rosa masuk terlebih dahulu, di dalam sebuah ruangan khusus sudah ada Dharma yang menunggu.
Rosa melangkahkan kaki sesuai arahan sang kakak, berjalan menyusuri lorong rumah sakit, kemudian memasuki lift dan menekan nomor lantai paling atas.
Beberapa saat kemudian.
Rosa keluar dari dalam lift, berjalan pelan sambil mengedarkan pandangannya. Matanya menangkap empat sosok pria berbadan kekar berdiri di depan sebuah pintu, mereka semua menunduk saat Rosa datang.
"Selamat datang, nona Rosa." Sapa keempatnya serempak.
"Tidak perlu terlalu formal dan sungkan, panggil aku Rosa saja." Ucap Rosa merasa tak nyaman. Pasalnya, ia sudah bukan bagian dari keluarga Dharma.
"Silahkan masuk," Ucap salah satu penjaga.
Rosa di persilahkan masuk ke dalam ruangan khusus dimana ayah Alan di rawat dengan penjagaan ketat, di dalam Dharma berdiri di samping ranjang putranya.
"Kakek," Panggil Rosa.
"Kemarilah, nak." Balas Dharma menoleh sambil tersenyum kearah Rosa.
Rosa pun menghampiri Dharma dan menyalimi tangannya, ia pun menatap kearah mantan mertua lelaki yang sudah tak memakai alat bantu untuk bernafas lagi.
"Bagaimana keadaan Om Pradipta?" Tanya Rosa.
"Sudah banyak kemajuan, sekarang Pradipta masih harus di pantau kesehatannya." Jawab Dharma.
"Apa yang akan kakek lakukan selanjutnya?" Tanya Rosa dengan mata tetap menatap Pradipta.
"Pradipta akan ikut denganku, setelah sembuh nanti aku akan menyuruhnya bercerai dengan Rania, dia yang akan menduduki posisi tertinggi di perusahaan Laksmana Pradipta menggantikan posisi Alan." Jelas Dharma.
"Lalu, bagaimana dengan wanita itu?" Rosa menoleh, ia ingin tahu apa yang akan Dharma lakukan pada Sabrina.
"Serahkan saja semuanya pada kakek, akan kakek urus sesuai dengan keinginanmu." Jawab Dharma.
Rosa pun tersenyum puas, ia ingin Sabrina merasakan apa yang di rasakan olehnya selama ini. Sebagai penebus rasa salahnya, Dharma akan melakukan apa yang di inginkan oleh Rosa karena ia juga tidak suka dengan segala tingkah polah Sabrina.
*****
Malam hari.
Usai resepsi Alan dan Sabrina masuk ke dalam kamar pengantin, keduanya saling diam dengan perasaan yang tak bisa di utarakan dengan kata. Alan melepaskan dasi yang melingkar di lehernya dengan kasar, kakinya pula melangkah masuk ke kamar mandi sambil membanting pintunya dengan keras.
Braakkkk...
Sabrina tentunya terkejut bukan main, ia mengepalkan tangannya menatap pintu kamar mandi dengan tajam.
"Awas kau Rosa!"
Sabrina memutuskan untuk duduk menenangkan dirinya sendiri sambil melepas pakaiannya, ia menyeringai setelah pakaiannya sudah terlepas dan mulai berpose menggoda, Sabrina tahu Alan itu tak akan kuat dengan godaan.
Tak berselang lama Alan keluar dari dalam kamar mandi, handuk melilit di pinggangnya dengan rambut basahnya. Alan melirik sekilas ke tempat tidur, namun tak berniat naik ke tempat tidur melakukan malam pengantin dengan Sabrina.
Sreettt..
Alan menarik kopernya menjauh dari tempat tidur, ia kembali ke kamar mandi untuk memakai pakaiannya.
"Kenapa Alan pergi? Apa jangan-jangan dia tidak tergoda? Tidak mungkin, kali aja dia lagi menyiapkan stamina, hm." Sabrina masih berpikir positif.
Ceklek.
Alan kembali keluar dari kamar mandi, dengan cepat Sabrina membuka penutup dua gundukannya untuk menarik perhatian Alan.
Pluk..
Sabrina melempar b*anya tepat di hadapan Alan, namun siapa sangka Alan justru tak menghiraukannya. Melihat bagaimana reaksi Alan membuat Sabrina heran, ia langsung melompat dan memeluk Alan dari belakang.
"Sayang," Bisik Sabrina di telinga Alan, tangannya bergerak nakal mengusap leher dan dada Alan.
Kreeeppp..
Alan menahan satu tangan Sabrina saat hendak menyentuh area sensitifitasnya, ia membalikkan badannya kemudian mendorong Sabrina keatas ranjang.
"Aku tahu kamu pasti menginginkannya, kemarilah, kita bermain." Ucap Sabrina.
"Menginginkannya? Heh," Seringai Alan.
Alan pun menindih tubuh Sabrina, ia pun mengunci kedua pergelangan tangan Sabrina menggunakan satu tangannya, sementara satu tangan lainnya ia gunakan mencengkram leher Sabrina.
"Bermain ya? Oke, akan ku tunjukkan apa itu bermain." Ucap Alan.
"Haakkkk... L-lepas," Sabrina memberontak. Cengkraman di lehernya membuatnya kesulitan bernafas, namun Alan tak memperdulikannya.
PLAKKK..
PLAKK..
PLAKKK..
PLAAKKK...
Tamparan bolak-balik Sabrina dapatkan, bukan belaian manja maupun belaian mesra, justru rasa kebas di pipinya. Malam pengantin yang seharusnya di penuhi desahan kenikmatan, justru berakhir dengan rintihan kesakitan.
"Aakkkhhh!!" Teriak Sabrina kala Alan menggigit bulatan cokelat kecil miliknya.
"Baru juga main, masa udah teriak aja." Alan menampilkan smirknya melihat Sabrina kesakitan.
"Alan, kau menyakitiku!" Pekik Sabrina.
Telinga Alan seolah tuli, ia mengambil ikat pinggangnya kemudian melampiaskan amarah kepada Sabrina dengan menyeret perempuan yang sudah sah menjadi istrinya itu ke kamar mandi.