”Semua orang tahu, kalau cuma ada lima Big Boss di Marunda. Arnold, Baek, Kim, Delaney, sama Rose. Lima keluarga itulah yang berkuasa di North District, dan enggak ada satu pun yang berani melawannya.”
Season: I, II, ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
Begitu keluar dari toilet, tiba-tiba ada pintu kantor yang terbuka di sebelah kananku. Refleks, aku pun menengok ke arah suara itu. Dan seketika, hawa dingin langsung menjalar ke tubuhku.
Aku melihatnya dengan jelas, Remy Arnold sedang memegangi leher seorang laki-laki. Aku enggak bisa dengar apa yang mereka bicarakan, tapi saat Big Jonny keluar dari ruangan, aku lihat Remy menusukkan pisau ke tenggorokan lelaki itu.
"Ya, Tuhan!" Teriakanku pun langsung membuat Big Jonny menengok ke arahku. "Sial!"
Aku harus kabur, tapi bahkan belum sampai melangkah, tangan kasarnya sudah meraih lenganku dan menyeretku ke dalam kantor itu.
Enggak.
Enggak.
Enggak.
“Ampun. Aku enggak lihat apa-apa!” mohonku.
Big Jonny pun cuek saja, dan itu membuatku makin panik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. I Feel It's Love
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Begitu aku sampai di konter, aku terkejut, aku pun langsung bertanya, "Penerbangan ke Indonesia berikutnya kapan?"
Petugasnya memperhatikan layar komputer, alisnya mengernyit. "Untuk daerah tujuannya ke mana, Bu?" tanya si petugas.
"Aku enggak peduli. Di ke mana aja," jawabku, suaraku sudah kering.
"Ibu, baik-baik saja?"
Aku mengangguk, memaksa suara untuk keluar. "Aku ... kehilangan ... suami aku. Aku kehilangan Remy."
Kalau dia menemukanku, dia bakal bunuh aku.
Mata petugas itu pun melunak. "Saya turut berduka cita," katanya pelan. Dia cek layar lagi, lalu bicara, "Ada penerbangan sekarang dengan Trans Nusa, tujuan Denpasar. Apakah Ibu mau?"
Aku pun panik. "Berapa?"
"Empat ratus lima puluh Ringgit."
Aku langsung mengeluarkan amplop dari tas, memberikan uang dan paspor. "Aku ambil."
Jantungku berkedut kencang. Aku memperhatikan sekitar sampai dia bereskan pembelian tiketnya.
Jangan sampai mereka menemukanku.
Tolong, Tuhan.
Lindungi aku.
Waktu petugas mencetak tiket, dia bilang, "Ibu, kita sudah naikkan kelas penerbangan ibu ke first class tanpa biaya." Dia memberikan tiket sambil tersenyum ramah. "Ada barang lainnya yang mau dititipkan di bagasi?"
Aku menggeleng. Panik, membuatku lupa mengambil barang dari mobil.
"Itu saja?" tanyanya.
Aku cepat-cepat mengangguk. "Makasih banyak!" Aku memperhatikan dia lagi, menahan air mata. "Makasih."
"Sama-sama." jawabnya.
Aku masuk ke area first class, mataku langsung fokus ke petugas keamanan. Jantungku langsung deg-degan.
Bagaimana kalau mereka mengecek?
Bagaimana kalau salah satu dari mereka kerja buat Remy?
Ya, Tuhan.
Please.
Please.
Please.
"Silakan maju," kata petugas keamanan, mengangguk ke arahku.
Mulutku kering waktu memasukkan tas ke wadah. Aku lewat mesin pemindai, dan saat bunyi 'beep' nya enggak keluar, aku mengelus dada lega.
Para penjaga enggak sadar sama aku. Aku cepat ambil tas, terus lari menyusuri koridor. Begitu aku sampai di konter berikutnya, petugasnya langsung tersenyum ke arahku.
“Tepat waktu juga anda. Mereka sudah nelpon, bilang kalau anda lagi di jalan.”
“Makasih,” desahku, tanganku pun gemetaran waktu memberikan paspor dan tiket itu.
Dia cek dokumennya dulu, terus mengembalikannya kepadaku.
“Selamat menikmati penerbangannya, Nyonya Arnold.”
Mendengar nama belakang itu, 'Arnold' dadaku langsung sesak.
“Terima kasih,” bisikku pelan, sebelum masuk ke lorong menuju pesawat.
Hampir sampai.
Begitu naik, pramugari langsung mengantarku ke bilik dengan kursi empuk. Aku langsung duduk, menunduk, menutup mulut yang bergetar hebat menahan tangis.
Jantungku mendesah enggak karuan.
Tolong, Tuhan.
Bantu aku lepas dari mimpi buruk ini.
Akhirnya pengumuman terdengar, pesawat mulai bergerak.
Aku melhat keluar jendela kabin, menahan napas saat pesawat mulai melaju dan semua pemandangan menjadi kabur.
Perutku mual waktu pesawat lepas landas. Aku turunkan kepala, memperhatikan cincin kawin di jariku.
Sekarang aku aman, setidaknya untuk sementara.
Air mata mengucur diam-diam di pipi. Aku memutar badan, merangkul diri sendiri.
Waktu tangan lembut menyentuh bahuku, aku terkejut. Seorang pramugari bicara pelan, “Aku turut berduka cita, Nyonya Arnold. Namaku Ivy. Kalau Nyonya butuh apa pun, tinggal panggil, ya?”
Sepertinya petugas sebelumnya sudah memberitahukan dia.
Aku menggeleng pelan. “Boleh minta air … sama tisu?”
“Tentu.” Dia pergi sebentar, terus kembali lagi membawa sebotol air sama sekantong tisu.
Dia jongkok di sebelahku, tangannya mengelus lenganku dengan lembut. “Nyonya baik-baik aja?”
Aku menggeleng, menutupi wajah. Air mata enggak bisa berhenti. Dia terlalu baik. Ivy tetap mengelus bahuku dan berbisik, “Maaf ya. Andai aku bisa bantu lebih banyak.”
Aku tarik napas gemetar, berusaha bicara, “Makasih … aku cuma … lagi shock.”
Dia mengangguk paham. “Aku ke depan dulu, ya?”
Aku mengangguk lagi. Dia berdiri, terus beberapa detik kemudian, dia kembali membawa segelas whisky. “Minum ini, bisa bantu redain syoknya.”
“Makasih.” Aku menyeruputnya sedikit, dan langsung menyambar tenggorokanku. Aku pun terbatuk keras.
“Mau aku ambilin makanan?” tawarnya lembut.
Aku menggeleng, taruh gelas di meja. “Enggak usah. Makasih buat semuanya.”
Begitu Ivy pergi, pikiranku diserbu oleh peristiwa tadi. Aku ingat lagi tubuh Deth yang jatuh dari tebing balkon. Aku ingat tatapan matanya. Dan itu terus berputar di kepalaku.
Aku tutup mulut pakai tanganku yang gemetar. Suara Remy pun terngiang, marah, penuh dengan kekecewaan. Aku telah kehilangan dia. Aku kehilangan lebih dari sekadar Remy. Benny, Juwiie, Big Jonny, semuanya.
Baru saja aku bisa merasakan punya keluarga, terus semuanya direbut lagi.
Dan yang paling menyakitkan?
Mereka akan mengejarku, membunuhku. Orang-orang yang aku cintai, sekarang ingin melihat aku mati. Aku enggak bakal pernah punya kedamaian lagi. Mulai sekarang aku harus hidup dalam pelarian. Pindah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa arah.
Kenapa semua ini bisa terjadi?
Aku enggak bakal bisa kembali ke North District. Enggak akan bertemu lagi sama Pastor Yeskil dan Rissa. Aku kehilangan semuanya.
Bayangan Deth, lagi-lagi muncul di kepala. Aku membunuh orang. Dosa yang enggak akan bisa dihapuskan. Enggak ada hal yang bisa membersihkan jiwaku. Bahkan Tuhan pun sepertinya meninggalkanku.
Maafkan aku, Remy.
Aku buka HP. Masuk ke chat antara aku dan Remy. Aku scroll ke awal, baca semua pesan kami. Tapi bukannya tenang, hati aku malah makin remuk. Di tengah kehancuran dan gelap ini, aku sadar, kalau aku enggak cuma tertarik sama Remy. Aku mencintainya, aku sayang sama dia.
Sepenuh hati.
Sepenuh jiwa.
Dan yang paling menyakitkan?
Aku bahkan belum sempat mengatakan itu ke dia.
cepetan update lagi ✊