NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 : Perburuan di Hutan Bakau.

Suara baling-baling helikopter dan gerungan robot berkaki empat itu menghapus semua kedamaian yang baru saja mereka temukan. Zega bertindak sebelum pikirannya selesai memproses kengerian itu. Ia mencengkeram lengan Sasha, menariknya keras dari pasir yang kini terasa seperti jebakan.

“Ke dalam air! Sekarang!” teriak Zega. Mereka terjun ke perairan dangkal, air laut mencapai pinggang mereka. Sasha tersentak ketika air dingin menusuk pergelangan kakinya yang terkilir, tetapi rasa takut mengalahkan rasa sakit. Ransel Bara terasa berat di punggungnya, beban bukti yang tak ternilai.

Anjing robot, Hound, itu bergerak cepat. Kaki-kaki hidroliknya yang ramping memungkinkan pergerakan yang lincah di pasir, tetapi ketika ia mencapai air, gerakannya melambat. Lensa merahnya berkedip, memindai lingkungan.

“Pelacak termal tidak berfungsi baik di air, tetapi ia masih bisa melihat siluet kita!” Zega mendesis. “Ke hutan bakau. Akar-akar itu akan memperlambatnya.”

Mereka berjuang melewati lapisan lumpur yang tebal menuju kerapatan pohon bakau. Di atas mereka, helikopter Express Teknologi melayang, memancarkan bayangan besar yang menakutkan. Dari sana, Sasha mendengar bunyi zlip tali yang dilemparkan, menandakan tim bersenjata mulai turun.

“Mereka datang, Zega!” Sasha terengah-engah, lumpur menyulitkan langkahnya.

“Kita harus berpisah dari perahu! Perahu itu adalah umpan!” Zega meraih laptop Bara dari ransel, membungkusnya dalam kantong kedap air berlapis yang selalu ia bawa, dan menyelipkannya ke celah antara akar bakau yang besar.

“Kau gila? Kita butuh itu!” protes Sasha.

“Kita akan kembali! Jika kita membawanya, kita akan mati sebelum mencapai seratus meter! Ini tempat persembunyian terbaik sementara. Cepat!” Zega mendorong Sasha lebih dalam ke labirin akar yang kusut. Mereka bergerak merangkak dan tersandung, memanfaatkan kegelapan dan kekacauan akar-akar yang saling melilit.

Hound mengikutinya. Suara motornya yang mendesis terdengar jelas di tengah keheningan hutan bakau. Zega melihat ke belakang. Robot itu berjuang. Lumpur tebal dan jalinan akar yang tak terduga mulai mengganggu sensor keseimbangannya. Namun, itu hanya jeda sesaat.

“Kita perlu membuatnya lumpuh total,” kata Zega, matanya mencari sesuatu yang bisa digunakan.

Di bawah pohon bakau yang lebih tua, Zega menemukan tumpukan jaring ikan yang ditinggalkan dan beberapa sampah laut yang terperangkap di akar. Tiba-tiba, ia teringat bagaimana robot serupa, yang pernah ia pelajari dari *dark web*, rentan terhadap gangguan mekanis pada sendi kaki.

“Sasha, alihkan perhatiannya ke sana!” Zega menunjuk ke arah celah kecil di mana air mengalir deras.

Sasha, meskipun takut, mengangguk. Ia melemparkan batu kecil ke arah celah itu. Hound, yang sistemnya dirancang untuk mendeteksi gerakan dan suara abnormal, mengalihkan lensa merahnya.

Sementara perhatian robot teralihkan, Zega melompat, memanfaatkan momentum tubuhnya. Ia bukan seorang prajurit, tetapi ia adalah ahli fisika digital. Ia tahu di mana titik lemah mekanisme. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan jaring ikan berlapis lumpur tebal itu ke atas kepala Hound. Jaring itu menutupi sensor optik dan membelit sendi kaki depannya.

Robot itu mengeluarkan raungan mekanis bernada tinggi, lalu jatuh ke lumpur dengan bunyi *plop* yang keras. Ia mulai berjuang, berusaha melepaskan diri dari jaring dan lumpur, tetapi semakin ia bergerak, semakin ia terperangkap.

“Kerja bagus!” Sasha berbisik, napasnya memburu. Namun, kelegaan itu hanya bertahan sepersekian detik.

Di tepi hutan bakau, mereka mendengar suara sepatu bot yang memecah ranting. Tim Express Teknologi telah mendarat dan mulai menyisir area tersebut. Mereka berkomunikasi melalui radio, bahasa yang asing, tetapi nadanya jelas: agresif dan metodis.

“Mereka menyebar. Kita harus pergi ke daratan,” Zega memimpin. Mereka keluar dari hutan bakau, melompat ke tepian berlumpur, dan berlari menuju bukit yang tertutup semak belukar.

Saat mereka mendaki, mereka melihat ke bawah. Kapal patroli Express Teknologi yang besar kini berlabuh di teluk, dan beberapa prajurit berseragam hitam mulai menyisir pantai, membawa senjata otomatis. Mereka terkunci.

“Kita harus naik ke puncak bukit. Di sana ada jalur setapak menuju desa terpencil, tempat Pak Tio tinggal,” kata Zega. “Jika kita sampai di sana, mereka tidak akan berani mengejar. Orang-orang di sana bersenjata dan tidak ramah kepada orang luar.”

Sasha berusaha mengikuti kecepatan Zega, tetapi kakinya memprotes. Ia tersandung di akar pohon dan jatuh terduduk, mengeluarkan erangan pelan.

“Aku tidak bisa, Zega. Aku memperlambatmu,” kata Sasha, matanya dipenuhi frustrasi. “Tinggalkan aku. Amankan laptop itu.”

Zega berbalik. Ekspresinya yang biasanya dingin kini terlihat muram. Ia menatap Sasha, lalu ke arah bukit yang curam di depan mereka. Pengejar hanya berjarak beberapa ratus meter.

“Tidak ada yang ditinggalkan,” ujar Zega tegas. Ia berjongkok di depan Sasha. “Naik. Kita tidak punya waktu untuk berdebat tentang pengorbanan heroik.”

Sasha ragu sejenak, tetapi bahaya itu nyata. Ia memanjat ke punggung Zega, melingkarkan lengannya di leher Zega. Zega menggendongnya, melanjutkan pendakian yang curam itu dengan kecepatan yang luar biasa, meskipun beban Sasha, ransel kosong, dan jaket tebal yang dikenakannya.

Mereka bergerak melintasi semak belukar selama sepuluh menit yang terasa seperti jam. Akhirnya, Zega meluncur ke dalam sebuah ceruk batu tersembunyi, meletakkan Sasha dengan hati-hati.

“Tunggu di sini,” Zega terengah-engah. “Aku akan mencari Pak Tio.”

Sasha mengangguk. Saat Zega hendak pergi, ia merasakan Sasha memegang pergelangan tangannya. “Zega, bagaimana mereka tahu? Aku sudah membuang ponselku. Kau mematikan semua sinyal. Bagaimana mereka bisa mengantisipasi bahwa kau akan pergi ke tempat paling rahasia yang kau miliki?”

Zega menatapnya, rasa frustrasi dan pengkhianatan tercermin di matanya. “Mereka tidak melacak kita, Sasha. Mereka melacak sesuatu yang dibawa oleh Bara. Sesuatu yang kita abaikan. Mereka tahu Bara punya rencana pelarian. Ini bukan kebetulan.”

“Pergilah,” kata Sasha, melepaskan tangannya. “Aku akan menahan napas sampai kau kembali.”

Zega menghilang menuruni sisi bukit yang lain. Sasha bersandar ke batu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Lima menit kemudian, ia mendengar suara percakapan samar, yang kemudian berubah menjadi langkah kaki yang cepat dan berat.

Zega kembali, ditemani oleh seorang pria tua yang kulitnya terbakar matahari, mengenakan sarung usang dan memegang parang tua. Wajahnya keras dan matanya tajam seperti elang. Ini pasti Pak Tio.

“Mereka di belakangmu, Anak Muda,” kata Pak Tio dalam dialek lokal yang kental, beralih ke bahasa Indonesia. “Helikopter itu terus memindai. Mereka mencari jejak panas di hutan.”

“Kita perlu perahu, Pak Tio. Yang cepat dan tidak terdeteksi radar,” pinta Zega.

“Aku punya satu. Kecil, tersembunyi di dermaga lama di seberang bukit. Tapi ke mana kalian akan pergi? Kalian harus meninggalkan pulau ini, tidak ada tempat aman di Nusa Tenggara lagi.”

Zega memikirkan sinopsis yang dia baca di laptop Bara sebelum mereka melarikan diri dari Lombok. Bara telah merencanakan kontingensi terakhir.

“Bali,” Zega memutuskan. “Konferensi Teknologi Global di Denpasar. Mereka tidak akan pernah menduga kita akan pergi ke tempat yang paling ramai dan paling dijaga.”

“Gila,” gumam Pak Tio, tetapi ia mengangguk. “Baiklah. Tapi kalian harus pergi sekarang. Aku akan memimpin tim pencari itu ke arah yang salah.”

Zega kembali menggendong Sasha, dan mereka mengikuti Pak Tio menyusuri jalur setapak yang tersembunyi di balik semak-semak. Pak Tio, meskipun usianya sudah lanjut, bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan.

Mereka sampai di dermaga kecil yang reyot, tempat sebuah perahu motor kecil namun kokoh tersembunyi di bawah terpal. Zega menurunkan Sasha ke dalam perahu. Saat itu, mereka mendengar suara keras dari bukit. Tim pengejar Express Teknologi pasti telah menemukan jejak mereka.

“Cepat! Pergi ke utara, hindari lalu lintas kapal. Sampai ketemu lagi, Anak Muda,” Pak Tio memberi isyarat perpisahan dengan parangnya, lalu berbalik dan menghilang ke dalam hutan, kemungkinan besar untuk membuat jebakan atau mengalihkan perhatian.

Zega menyalakan mesin. Perahu itu melaju kencang meninggalkan dermaga. Mereka kini berada di lautan terbuka lagi, tetapi kali ini, mereka bergerak di bawah perlindungan fajar yang mulai menyinari.

Saat mereka menjauh, Zega menoleh ke Sasha. “Kita punya beberapa jam sebelum mereka tahu rute kita. Sekarang, kita harus mengambil risiko yang lebih besar.”

“Apa?” tanya Sasha, mencengkeram sisi perahu.

“Kita tidak bisa pergi ke Bali tanpa amunisi. Kita harus mengambil kembali laptop Bara, sekarang juga.”

Sasha terkejut. “Kembali ke sana? Mereka masih ada di sana!”

“Ya, tapi mereka sedang sibuk mengejar Pak Tio ke arah yang salah. Ini adalah momen yang paling tidak terduga. Kita hanya butuh sepuluh menit. Kita harus tahu apa itu ‘Final Code’ sebelum kita tiba di Bali dan menghadapi Paman Hadi di panggung internasional.”

Sasha memandangi hutan bakau yang kini semakin jauh, tetapi ia melihatnya—bayangan helikopter hitam masih berputar di atas area teluk. Mengambil laptop kembali adalah bunuh diri. Namun, melanjutkan tanpa senjata adalah kekalahan yang pasti.

Zega tiba-tiba memutar perahu. Bukannya menuju ke utara seperti yang diperintahkan Pak Tio, ia memutar kembali ke arah teluk yang baru saja mereka tinggalkan.

“Pegang erat-erat,” kata Zega, menyeringai dengan tatapan penuh tantangan yang hanya muncul ketika ia berada di ambang bencana. “Waktunya bermain *reverse psychology*.”

Sasha merasakan lonjakan adrenalin yang pahit saat perahu mereka memotong ombak, kembali menuju jantung bahaya. Teluk itu kini tampak lebih gelap dan lebih mengancam dari sebelumnya. Dan di atas sana, helikopter itu seolah-olah menunggu mereka kembali.

“Jika mereka melihat kita kembali, kita akan ditembak jatuh,” bisik Sasha.

“Maka kita harus cepat. Aku akan masuk. Kau tunggu di perahu dan jaga mesin tetap menyala,” balas Zega. “Jika aku tidak kembali dalam lima menit, kau kabur dan pergi ke Bali. Kau harus bawa cerita ini keluar.”

Sasha menatapnya. Dia tahu dia tidak bisa membiarkan Zega mati sendirian demi laptop itu. Mereka adalah tim. Ia mengangguk, namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ia tidak akan pergi.

Zega melompat dari perahu ke air dangkal saat mereka mendekati tepi hutan bakau. Dia berlari menuju tempat persembunyian laptop, sementara Sasha menahan napas, matanya tertuju pada helikopter yang kini tampak melambat, seolah-olah sensor mereka mulai mendeteksi anomali.

Sasha melihat Zega mencapai akar bakau, membungkuk, dan mengambil kantong kedap air berisi laptop Bara. Misi berhasil. Ia kembali berlari menuju perahu.

Namun, saat Zega melangkah keluar dari bayangan bakau, sebuah suara keras terdengar. Bukan tembakan. Itu adalah bunyi yang lebih dalam, seperti benturan logam ke batu. Zega tersentak, menjatuhkan kantong itu ke air, dan seketika itu juga, ia ambruk.

Sasha berteriak. Dari belakang pohon bakau, muncul sesosok prajurit berwajah tertutup yang memegang senapan. Prajurit itu tidak menembak. Ia menggunakan popor senapan itu untuk menyerang Zega, yang kini terbaring tak bergerak di air dangkal.

Prajurit itu melangkah maju, mengambil laptop Bara, dan menoleh ke arah perahu. Sasha, sendirian, dengan mesin yang masih menderu dan air mata ketakutan membasahi wajahnya, tahu bahwa dia harus memilih: menyelamatkan Zega, atau melarikan diri dengan nyawanya.

Prajurit itu mulai berjalan perlahan menuju perahu Sasha....

"Hoh... tidak! Tamatlah kami berdua!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!