Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketetapan Sayyidah Yasmeen
Mendengar janji balas dendam dari bibir Zain itu, Yasmeen merasa sesuatu yang lebih dalam tercabik. Seperti benih racun yang telah ditanam lama tiba-tiba mekar menjadi pohon besar, tanpa ia biarkan.
Ini bukan ramalan lagi. Ini cetak biru masa depan yang harus ia patahkan sekarang juga.
Yasmeen berbisik, suaranya serak tapi tegas. “Bocah itu melihat penderitaan keluarganya, lalu memilih mempercayai bahwa ada satu orang yang membiarkan dirinya dan keluarganya menderita.”
Ia mundur, langkah kecil yang penuh perhitungan, dan kembali duduk di kursi kakeknya. Di mata Khalī Tariq, beban yang dipikul gadis itu tampak terlalu berat untuk ukuran tubuh mungilnya, seolah ribuan tahun sejarah diletakkan di pundaknya.
“Khalī,” katanya kali ini dengan otoritas tanpa tanya. “Kirim pesan ke Syekh Sulayman sekarang. Mata-mata yang tak pernah terpejam itu penting, lebih penting daripada sebelumnya. Jangan biarkan Zain punya mentor. Jangan biarkan dia mendengarkan sejarah yang menyelimuti kebencian.”
Tariq mengernyit, mencoba menangkap paranoia yang jelas di wajah Yasmeen. “Maksud Anda… pengasingan bukan hanya fisik, Sayyidah, tapi juga pendidikan?”
Yasmeen mengangguk pelan. Matanya redup, membayangkan sosok pemuda yang darahnya memanggil-manggil penuh dengan balas dendam. “Iya. Segala yang mendekati Zain harus disaring. Guru, pelayan, bahkan Mehra, semua harus diketahui risikonya. Dia harus tumbuh dalam kabut. Tak ada panggung untuk sumpah-sumpah bodohnya. Pastikan dia tak belajar bertarung, tak belajar intrik, tak belajar memegang kekuasaan.”
Tariq menghela napas panjang. Tugas itu kasar, menekan masa depan seorang anak, tapi ia sudah melihat kegilaan Sayyid Zahir. Ini pertahanan, bukan kebencian kosong.
“Aku akan pilih pengawal paling loyal dan bungkam dari Kabilah Al-Jarrah,” jawabnya. “Mereka setia pada Darah, bukan pada gosip dan intrik.”
“Baik.” Yasmeen memegang napas sejenak, lalu berdiri. Di meja telah menunggu perkamen dan tinta, siap untuk keputusan berikutnya. “Panggil Wazir Khalid. Tentukan tanggal persidangan.”
***
Pagi menyusup ke istana dengan cahaya emas pucat, indah, tapi menipu. Di balik dinding, kegelisahan berbisik lebih keras daripada fajar.
Khalī Tariq dan Wazir Khalid kembali. Khalid menaruh setumpuk dokumen tebal di hadapan Yasmeen; bukti-bukti yang mereka kumpulkan: perjanjian Oasis Azhar yang curang, catatan penggelapan dari tambang perak di selatan, dan semua urat-urat kotor yang menghubungkan Zahir pada kehilangan Emirat.
“Kami bekerja sepanjang malam, Sayyidah,” lapor Khalid. “Arsip lama, kesaksian Mehra, semuanya cukup untuk menjerat Zahir dengan tuduhan al-khianat: pengkhianatan pada kedaulatan Nayyirah.”
Yasmeen meraih kertas-kertas itu, mata hijau menelusuri huruf demi huruf. “Bagaimana soal insiden racun?”
Khalid menunduk sedikit, ragu. “Sulit dibuktikan. Zahir bisa bilang itu obat, atau kecelakaan. Tuduhan percobaan pembunuhan, apalagi menyangkut putrinya, ini malah bisa memancing badai. Kota Agung akan bilang kita emosional.”
Yasmeen menutup mata sesaat, perkataan Khalid membuatnya harus menimbang antara keadilan dan citra. Saat ini mereka tak butuh drama yang memberi alasan pada musuh.
“Baik. Fokus kita: kerugian ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan,” putus Yasmeen. “Kita tak perlu menonjolkan racun Ruqayyah ke publik.
Tujuan kita bukan menumpahkan darah, melainkan membuatnya kehilangan segalanya yang berarti.”
Tariq menyela, pelan, “Hukuman mati akan jadi pesan kuat ke Kota Agung, Sayyidah.”
Yasmeen menatapnya dingin. “Dan akan jadi pesan buruk bagi Nayyirah. Anak yang mengeksekusi ayahnya sendiri? Itu menjadikan kita pemerintahan yang gila. Aku ingin pengasingan yang meruntuhkan, bukan pembantaian yang membuatnya menjadi martir.”
Tariq terdiam, lalu mengerti. “Pengasingan kehormatan?”
Yasmeen mengangguk. “Pengasingan total di istana terpencil di perbatasan timur jauh. Aset disita. Kontak dunia luar diputus. Dia hidup, tapi secara politik mati. Lebih pedih dari eksekusi, karena setiap hari ia akan melihat apa yang hilang darinya kini dikendalikan oleh orang yang pernah ia rendahkan.”
Khalid menyunggingkan senyum tipis. “Keputusan cerdas, Emirah. Mati sebagai buangan, bukan pahlawan.”
“Kapan sidangnya?” tanya Yasmeen.
“Dua hari. Cukup untuk mengatur pertemuan Wazir senior dan perwakilan kabilah. Harus tampak sah, transparan, tanpa perlu Sultan turun tangan.” Khalid menyusun rencana seperti mengatur bidak catur.
Yasmeen mengangguk. “Bagus. Sekarang variabel terakhir: Mehra.”
Ada pertukaran pandang tegang. Mehra, saksi yang emosional, mudah goyah. Tanpa dia, rencana mereka lemah. Dengan dia, ada risiko drama di depan publik.
“Dia memberikan pernyataan tentang rencana penjualan Oasis Azhar,” kata Khalid. “Tapi di persidangan, ia bisa runtuh.”
Yasmeen memicingkan mata. “Kelemahannya juga kekuatannya. Dia tak akan jadi saksi yang tenang untuk suaminya; dia akan menjadi korban yang memohon keadilan demi anak-anaknya. Kita perlu membuat dunia melihat bahwa Zahir tidak hanya mengkhianati Emirat, dia mengkhianati keluarganya sendiri.”
“Tapi dia tak dapat diprediksi,” peringat Tariq.
“Oleh karena itu, kita atur cara ia bersaksi: di balik tirai, atau melalui surat pernyataan yang disahkan. Namun, yang lebih penting, kontrol setelah sidang.”
Yasmeen menelan ludah, memikirkan wajah Zain yang dipenuhi kebencian. “Setelah dinyatakan bersalah dan diasingkan, Mehra harus tetap dalam pengawasan kita.”
“Tentu Mehra akan ikut dalam pengasingan?” Tariq bertanya.
“Ya. Zahir akan dibuang bersama istri dan anaknya. Mehra akan menjadi saksi penderita, memastikan Zahir menderita setiap hari karena kehancurannya. Tetapi kita tak boleh memberi ruang bagi Mehra untuk memancing simpati para loyalis. Kita akan mematahkan narasi itu.”
Khalid mencatat cepat. “Jadi hak anak-anak akan diatur, Zain dan Ruqayyah tinggal bersama ibunya di pengasingan, tapi diawasi ketat.”
“Benar.” Yasmeen menekankan kata-katanya satu per satu. “Dan soal status Mehra, dia mengkhianati Zahir demi aset untuk anaknya. Kita perlu mengembalikan dia ke posisi yang kehilangan kehormatan: bukan sebagai ibu negara, melainkan posisi yang menegaskan bahwa pengkhianatan membawa harga sosial.”
“Tamparan keras pada reputasinya, tapi sah secara hukum,” kata Khalid.
“Pengasingan harus terasa final, tanpa celah, tanpa harapan. Di depan publik, ini harus tampak sebagai tindakan darah murni Emirat yang membersihkan dirinya sendiri,” Yasmeen berbicara dengan suara yang membuat ruangan terasa dingin.
Untuk pertama kali sejak pagi, sedikit kelegaan menyelinap. Militer, administrasi, dan ancaman utama kini berada di jalur. Ia siap mengumumkan penghakiman bagi pria yang menghancurkan hidupnya. Bukan balas dendam, ini lebih seperti rekonstruksi yang kejam tapi terukur.
Ia menatap Khalid dan Tariq. Wajahnya serius, tak ada ruang untuk keraguan. “Untuk sidang lusa, Wazir Khalid, sajikan bukti tanpa cela. Fokus pada kerugian finansial Nayyirah. Khalī, pastikan pasukan Kabilah Al-Jarrah berada di luar istana, terlihat, tapi tak menyerang. Kita tunjukkan kekuatan tanpa perlu provokasi.”
“Misi akan dilaksanakan, Sayyidah,” jawab mereka serentak.
“Bagus. Persiapan hukum beres. Aku akan utus Umm Shalimah untuk menyiapkan pengumuman hari ini.” Yasmeen mengatur suara seperti pemimpin yang mengemas badai.
Mereka sedang hendak pergi ketika Yasmeen menahan mereka sebentar lagi. Ia tak ingin mengadili Zahir sendirian, citra publik akan terlalu berat jika semua tampak seperti dendam pribadi.
Khalid mengangkat penanya, siap menulis nama-nama hakim.
“Siapa yang akan memimpin majelis, Emirah? Wazir Agung paling aman, tapi dia takut pada Kota Agung,” Khalid menawarkan.
Yasmeen menggeleng. “Tidak. Terlalu lambat. Pilih tiga hakim dari kabilah sekitar Oasis Azhar, mereka yang merasakan paling dalam akibat pengkhianatan Zahir. Mereka akan mengadili. Dan di hadapan mereka… aku sendiri yang akan memberikan—”
Matanya menyala. Suaranya menipis menjadi bisikan yang hampir membuat ruangan menahan napas.
“—keputusan yang akan memastikan nama Zahir tak pernah lagi bergema di Nayyirah.”