Kevin terbangun dari komanya ketika seorang iblis merasuki tubuhnya dan melenyapkan jiwanya.
bersikap layaknya iblis yang hendak menghancurkan dunia, namun tidak bisa membunuh satu manusia pun.
Ria masih belum sanggup kehilangan satu-satunya orang yang menjadi alasan untuknya bertahan sampai detik ini juga. Tidak, Ria tidak bisa, setelah orang tuanya meninggal 5 tahun yang lalu, Kevin lah satu-satunya orang yang terus mendampingi dan menyemangatinya untuk terus bertahan. dan kehilangannya adalah sebuah mimpi buruk paling mengerikan yang pernah Ria alami.
Sanggupkah Ria bertahan dengan kepingan dihatinya? lalu apa sebenarnya motif sang iblis? akankah Kevin bisa hidup kembali dalam raganya yang perlahan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sofiatun anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sebuah taman di pagi hari yang dipenuhi oleh penghuni bumi, jelas itulah yang pertama kali Aron pikirkan ketika melihat pemandangan di depannya. Bahkan ia tidak terlalu peduli dengan para manusia itu yang baginya tidak akan punya hari esok lagi.
"Cih! bisa-bisanya aku bermimpi tentang kebahagiaan manusia yang akan hancur" gumamnya sendiri memilih berjalan mengelilingi taman saat tidak sengaja seorang anak kecil tiba-tiba lewat di depannya, tubuh kecil dengan rambut hitam panjang yang digerai dan bandana kecil berwarna pink menghiasinya, dari sudut pandang Aron ia sama sekali tidak bisa melihat wajah anak kecil itu kecuali mulut kecilnya yang tersenyum lebar yang tiba-tiba membuatnya teringat dengan seseorang yang juga punya senyuman lebar seperti itu.
"Jangan lari!!"
Hingga anak kecil itu melewatinya dan disusul oleh anak laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya mengejar anak perempuan itu. Terlalu acuh untuk memikirkan hal yang baginya tidak berguna Aron pun kembali berjalan dan berakhir di salah satu kursi taman yang ada di sana.
Bisa dibilang taman itu cukup luas untuk menampung orang-orang yang terus berdatangan entah dari mana, dengan bentuk bulat dan bangku taman yang berjajar mengelilingi setiap sudut, di tambah dengan pepohonan dan tanaman-tanaman hias ikut berjajar bak tembok pembatas, dan jangan lupakan dengan lampu-lampu jalan yang sengaja dihias mengikuti bentuk taman, menambah suasana romantis.
"Ck! kenapa aku bermimpi seperti ini? menyebalkan"
Muak dengan semua yang ia lihat Aron pun hendak beranjak pergi saat seorang anak perempuan yang sebelumnya lewat menghampirinya sambil memasang wajah takjub.
"Wuaaaahh…!"
Melihat reaksi anak itu justru membuatnya semakin bingung dengannya, "padahal ini hanya mimpi tapi kenapa aku seperti menjadi bagian dari para manusia ini?"
"Kakak! kakak tinggi banget…!" seru anak perempuan itu sambil terus tersenyum mengagumi betapa tingginya tubuh Aron dibanding dengan tubuh kecil anak perempuan itu.
"Kau sadar juga kalau kau itu pendek ya manusia kecil" ucap Aron sambil tersenyum miring puas melihat bagaimana anak perempuan itu melihatnya dengan susah payah mendongakkan kepalanya supaya bisa melihat wajahnya.
"Ria! udah aku bilang jangan main jauh-jauh!" tiba-tiba seorang anak laki-laki yang tadi bermain bersama anak perempuan itu memanggil sambil menghampirinya.
Aron yang mendengar nama yang anak laki-laki itu sebutkan membuatnya semakin menyeringai senang, ternyata yang ia pikirkan memang benar bahwa anak perempuan itu adalah Ria saat masih anak-anak dan tentu saja anak laki-laki yang bersamanya tidak lain adalah Kevin.
"Maaf ya paman" ucapnya sopan lalu memegang tangan temannya untuk pergi
"Ayo mama udah nunggu tuh"
sementara tangan kecilnya di tarik, Ria kecil terus memandang Aron tanpa sempat mengatakan apapun karena Kevin yang sudah menyuruhnya untuk memperhatikan jalan.
"Hah… sepertinya ini bukan mimpiku, benar kan… Kevin"
Aron menatap ke tengah-tengah taman di mana orang yang ia maksud ada di sana. Remaja laki-laki dengan rantai terpasang di tiap kaki dan tangannya tetap diam dengan mata yang tertutup rapat, terlihat sangat menyedihkan melihat bagaimana ia terperangkap tanpa jalan keluar, padahal seharusnya jiwanya hancur bersamaan dengan tubuhnya diambil alih, tapi entah kenapa Aron sendiri bahkan tidak bisa menyentuh jiwa itu dan hanya bisa menguncinya seperti sekarang.
"Jadi kau sering memimpikan hal seperti ini ya, padahal kau bisa saja menemui ajalmu bersama para manusia ini yang juga akan menyusul mu"
Aron pun mulai berjalan mendekati laki-laki itu yang ternyata adalah jiwa Kevin yang sengaja Aron kunci dalam alam bawah sadarnya sendiri.
"Baiklah… kalau begitu akan kubantu kau walau harus dengan paksa tidak masalah bagiku" seiring dengan langkahnya sekelilingnya pun semakin berubah menjadi buram dan gelap. hingga ia lebih dekat Aron pun mengeluarkan pedang dari tangannya dengan sambil menatap tajam dan penuh aura membunuh.
***
Sementara itu di dapur Ria mulai menyibukkan diri dengan semua pekerjaan rumahnya, lagi pula ia juga libur kerja hari ini, tidak ada yang bisa ia la lakukan selain di rumah dan menjaga Aron yang entah kapan akan keluar. hari semakin siang dan Ria bahkan sudah menyiapkan makan siang yang belum juga ia makan walaupun perutnya sudah minta diisi.
Ding!
"Heh? ada tamu? siapa?"
Ding! Ding!
"Bentar!"
Ria pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan pergi membukakan pintu yang kemudian menampakkan seseorang yang bertamu ke rumahnya.
"Heh… Bibi!"
"Yooo… bibi Rosi disini!" ujarnya sambil bergaya bak model anak muda.
Rosina. perempuan sekitar umur empat puluhan dengan balutan pakaian modis dan riasan tebal bak anak muda. Rosina, adik dari ibunya sekaligus bibinya.
Setelah mendengar kematian kakaknya Rosina lah satu-satunya keluarga yang mau mengurusi Ria dan bahkan membantunya untuk belajar hidup mandiri, dan lagi pula hanya dia satu- satu-satunya keluarga yang tersisa dari ibu Ria, sementara keluarga dari ayahnya tidak pernah peduli karena pernikahan yang tak direstui, bahkan saat pemakaman anak mereka tidak ada satupun yang datang.
"Bibi kenapa nggak ngabarin dulu kalo mau dateng, kan Ria bisa nyiapin dulu" ujar Ria sambil mengambil barang bawaan bibinya dan mempersilahkannya masuk.
"Cuman mau njenguk keponakan sendiri aja segala ngabarin"
"tapi kan seenggaknya bibi kasih tahu kalo mau dateng"
"Ria bikinin minum ya bibi pasti capek kan duduk aja dulu"
Rosina memang tidak tinggal bersama Ria dan memilih untuk fokus dengan pekerjaannya di luar negeri, selain agar bisa lari dari kenyataan ia juga tahu kalau Ria sudah harus bisa hidup mandiri dan tidak terlalu mengandalkan orang lain.
"Silahkan, teh dengan aroma melati kesukaan bibi"
"Waah… tahu aja nih bibi suka teh melati, makasih ya sayang..."
Rosina pun menyeruput teh nya sambil menikmati setiap rasa yang bercampur menyentuh lidahnya, mengalir ke setiap aliran tubuh yang membuatnya terasa seperti lelahnya ikut mengalir.
"Hah… sama enaknya kayak bikinan kakak" ucap Rosina dan menatap wajah keponakannya yang merespon saat mendengar siapa yang bibinya maksud.
Jelas raut wajahnya tidak menunjukkan senang sama sekali, dan Rosina juga sudah mengerti tidak semudah itu bagi seorang anak yang hampir trauma dengan kematian orang tuanya.
"Makasih banyak" saat tak terduga Ria justru langsung mengubah responnya dan tersenyum lebar dengan tulus.
"Ria juga sering dibikinin teh melati sama mama jadi Ria bisa sering bikin, tapi Ria agak nggak suka sama bau melatinya gara-gara Kevin dulu sering nyeritain hal-hal yang serem tentang melati, jadi sampe sekarang Ria belum terbiasa sama teh melati" ujar Ria tanpa membalas tatapan bibinya, dan lebih menatap ke arah yang lain
Tanpa sadar Bibinya mulai tertawa mendengar keluhan Ria itu.
***