Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Arkan tidak ke kantor, dia menyerahkan semua kerjaannya pada Andre. Dia harus pergi ke rumah orangtuanya dan menyelesaikan masalah ini. Arkan tidak mau mamanya ikut campur dalam urusan rumah tangganya.
Arkan tiba di rumah besar itu dengan langkah berat. Pagar otomatis terbuka, namun untuk pertama kalinya, rumah yang ia tinggali sejak kecil itu terasa begitu asing.
“Ma.”
Mamanya menoleh. “Arkan? Tumben sekali mampir jam segini. Bukannya kamu kerja?”
Arkan menahan napas. Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan balik.
Ia hanya berjalan mendekat, berhenti di depan sang mama, suara rendah namun begitu tajam hingga udara terasa menegang.
“Ma, aku cuma mau tanya satu hal.”
Napasnya bergetar sedikit. “Apa masih kurang yang sudah Ma lakukan selama ini sama aku?”
Mamanya mengerutkan kening. “Arkan, apa maksudmu bicara seperti itu?”
Arkan tertawa hambar. Tawa yang lebih mirip luka daripada humor.
“Ma masih pura-pura nggak tahu?”
“Arkan, bicara yang jelas—”
"Mama tahu Nadine datang ke apartemenku?" tanya Arkan, suaranya rendah dan terkontrol, tetapi ada nada bahaya yang jelas terselip di sana.
Ratna sedikit tersentak, tetapi ia berusaha bersikap tenang. "Nadine? Oh, dia bilang dia mau berkunjung. Ada apa? Kalian bertemu? Bagus, dong. Kalian perlu—"
"Mama yang menyuruhnya, kan?" potong Arkan, suaranya semakin mengeras. "Mama yang menyuruh wanita itu datang dan mengganggu istriku, padahal Mama tahu Dara sedang sakit!"
Ratna mengangkat dagunya, menunjukkan sikap defensif yang familier. "Tentu saja Mama yang menyuruh. Mama hanya ingin dia tahu batasannya, Arkan! Kamu itu pewaris utama. Mama sudah menjodohkanmu dengan Nadine karena dia punya latar belakang yang pantas! Mama tidak mau kamu kembali jatuh ke lubang yang sama dengan wanita rendahan itu!"
Ratna menyebut Dara dengan sebutan 'wanita rendahan' dengan nada jijik, yang membuat Arkan merasakan sakit luar biasa bercampur amarah.
"Wanita rendahan?" Arkan mengulangi kata-kata itu dengan suara bergetar. Ia menunduk, mencoba mengendalikan emosinya yang siap meledak. Ketika ia mendongak lagi, air mata sudah menggenang di matanya—air mata yang jarang sekali ia tunjukkan.
"Mama..." Arkan memulai, suaranya kini pecah, penuh kepedihan yang mendalam. "Apa Mama masih belum puas. Aku pikir mama sudah menerima dara karena sikap mama yang baik padanya?"
"Apa Mama masih belum puas dengan semua yang sudah terjadi? Mama sudah mengambil istri pertamaku, Mama sudah membuatku kehilangan orang yang aku cintai karena obsesi Mama dengan status dan perjodohan!" Arkan menunjuk ke arahnya sendiri, napasnya tersengal. "Apa Mama ingin mengambil Dara juga?! Apa Mama ingin mengambil calon anakku yang kedua juga?!"
Air mata Arkan akhirnya tumpah, mengalir membasahi wajahnya yang lelah. Pemandangan seorang Arkan yang biasanya kuat dan berwibawa kini terlihat hancur di depan mata Ratna.
"Aku sudah menikah, Ma! Aku sudah punya istri dan calon anak! Apa Mama masih belum mengerti kalau aku tidak mau dijodohkan?! Aku tidak mau menikah dengan wanita pilihan Mama! Aku mencintai Dara!" Arkan menjerit tertahan, suaranya serak.
Ia mengusap air matanya dengan kasar, berusaha meredakan emosinya. "Apa masih kurang, Ma? Apa yang harus aku lakukan agar Mama berhenti ikut campur dalam kehidupanku? Kenapa Mama masih ingin menjodohkanku, padahal Mama tahu aku sudah punya istri?!"
Arkan berlutut di lantai, memegang lutut ibunya, menatap Ratna dengan mata yang penuh rasa sakit dan permohonan.
"Dara itu istriku, Ma. Dia sekarang lagi hamil, dia menderita mual hebat. Dan Mama mengirim wanita itu ke sana, memberinya tekanan, membuatnya takut, sampai dia meminta kami untuk bercerai! Apa Mama tahu? Istriku meminta kami bercerai!"
"Aku memohon, Ma," kata Arkan dengan suara yang sangat rendah, hampir berbisik, memohon. "Tolong jangan hancurkan rumah tanggaku lagi. Aku mencintai Dara. Tolong terima dia."
Ratna terdiam, wajahnya yang tadi keras kini dipenuhi rasa terkejut dan sedikit ketidaknyamanan melihat putranya yang berlutut dan menangis di hadapannya—sebuah pemandangan yang belum pernah ia lihat sejak Arkan masih kecil. Kepedihan Arkan yang begitu nyata tentang kehilangan istri pertamanya, kini tergambar lagi dalam keputusasaan yang sama.
"Aku tidak ingin kehilangan Dara, Ma," bisik Arkan lagi. "Tolong, Ma. Bilang sama Nadine untuk menjauh, aku minta tolong ma"
Ratna masih terdiam, tatapannya kosong menatap putranya yang berlutut di kakinya. Air mata Arkan, pengakuan kepedihan yang begitu dalam, berhasil mengoyahkan tembok keras di hatinya—setidaknya untuk sesaat. Namun, Ratna tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menarik tangannya perlahan dari genggaman Arkan.
Arkan merasakan penolakan itu. Ia berdiri perlahan, kelelahan mentalnya jauh lebih berat daripada kelelahan fisik. Ia tahu, permohonannya mungkin hanya akan membuat ibunya terdiam sesaat, bukan benar-benar berubah pikiran.
Ia menatap ibunya dengan tatapan terakhir yang penuh kekecewaan. "Aku harus pergi, Ma. Sudah waktunya menjemput Rafa."
Ia melajukan mobilnya menuju sekolah Rafa. Sepanjang perjalanan, ia berusaha mengendalikan dirinya, menghapus sisa air mata dan meredakan amarah yang membara. Ia harus terlihat normal di depan putranya.
Saat Arkan tiba di gerbang sekolah dasar Rafa, anak-anak mulai berhamburan keluar. Arkan memarkirkan mobilnya di tempat biasa dan keluar untuk menunggu.
Tak lama, ia melihat Rafa muncul dari kerumunan, membawa tas ransel bergambar dinosaurus yang tampak kebesaran untuk tubuh mungilnya. Wajah Rafa ceria, tetapi begitu melihat Arkan, ekspresinya berubah menjadi sedikit hati-hati.
"Papa!" seru Rafa, bergegas berlari ke arah ayahnya.
Arkan berjongkok, menyambut pelukan erat putranya. Ia mencium puncak kepala Rafa. "Hai, Jagoan. Gimana sekolahnya hari ini?"
Rafa mendongak. Ia melihat mata ayahnya sedikit merah, meskipun Arkan sudah berusaha keras menyembunyikannya.
"Papa nangis, ya?" tanya Rafa polos, tangannya menyentuh pipi Arkan.
Pertanyaan polos itu menusuk Arkan. Ia memaksakan senyum, berusaha meyakinkan.
"Nggak, Sayang. Mata Papa cuma kena debu di jalan tadi," jawab Arkan, langsung mengangkat Rafa dan menggendongnya ke mobil. "Ayo masuk. Kita beli gelato yang Papa janjiin kemarin, ya?"
Mendengar kata "gelato," wajah Rafa langsung berbinar. "Beneran, Pa? Gelato rasa mint choco?"
"Apapun yang Rafa mau," kata Arkan. "Tapi janji, Rafa harus cerita ke Papa, apa Rafa masih kepikiran soal Bunda yang diam aja tadi pagi?"
Sambil memasangkan sabuk pengaman Rafa di kursi depan, Arkan menatap putranya dengan lembut.
"Rafa harus percaya sama Papa, ya. Bunda sama Papa sayang banget sama Rafa. Bunda nggak marah, dia cuma sakit karena ada adik bayi. Nggak ada yang berubah," jelas Arkan, berusaha menanamkan keyakinan pada Rafa.
Rafa mengangguk pelan, tampaknya terhibur dengan janji gelato dan penjelasan ayahnya.
"Iya, Pa. Rafa nggak marah sama Bunda. Tapi Rafa mau cepat-cepat ketemu Bunda. Rafa mau kasih tau Bunda kalau tadi Rafa dapat bintang dari Bu Guru," kata Rafa penuh semangat.
Arkan tersenyum lega. "Pintar. Nanti kita pulang, Rafa tunjukkin ke Bunda, ya. Tapi ingat, Bunda harus istirahat, jadi Rafa nggak boleh terlalu berisik di dekat Bunda."
"Siap, Kapten!" seru Rafa, membuat Arkan tertawa kecil.