Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak menyangka
Setelah di rasa agak mendingan, Bowo lantas membaringkan tubuhnya di karpet. Sementara aku dan Galuh masih duduk.
"mas Rama apa sudah tidur?" ucap Galuh, seketika aku terdiam dan langsung beranjak. Ternyata mas Rama masih diam dengan tatapan kosongnya menghadap ke jendela.
"mas belum tidur." ucapku.
"mas mau pulang."
" di sini kan rumahnya mas, mau pulang kemana?" ucap Galuh, aku dan Bima saling tatap. Jangan-jangan mas Rama di pengaruhi lagi dari jarak jauh.
"sebaiknya ada satu orang yang menjaga mas Rama di dalam kamar, aku takut mereka mengirimkan sesuatu dari jarak jauh." ucap Bima.
" bagaimana jika kau saja, aku dan Galuh akan menunggu di luar."
" baiklah,"
Aku dan Galuh segera keluar, kembali duduk di karpet. Pintu depan juga sudah ditutup tampak Bowo juga sudah tertidur, aura damai terlihat di wajahnya.
"rumah kiyai Mustofa di mana Ras?" ucap Galuh di sela-sela kami istirahat.
"aku juga tidak tau, ibu yang tau."
Hmmm, aku sering mendengar nama kiyai Mustofa tapi aku sendiri juga tidak tau di mana rumah beliau.
"semoga besok perjalanan kita lancar ya, aku takut mas Rama kenapa-kenapa."
" Amin, beruntungnya mas Rama di cintai oleh orang seperti mu. Semoga semuanya sesuai dengan harapan kita."
" apapun akan ku korbankan demi kita semua Laras."
Aku mengangguk seraya tersenyum, ku lihat Bowo sudah terlelap bahkan saat nyamuk menempel di tubuhnya dia diam saja.
Kami yang duduk dekat pintu kamar mas Rama, agak berjarak dengan Bowo, mungkin inilah saatnya aku katakan pada Galuh kalau akulah korban terakhir.
" Bisa aku bicara padamu Galuh, ini sangat penting." ucapku dengan suara pelan. Semoga saja Bowo tak mendengar nya.
"bicaralah,"
"aku adalah korban terakhir setelah mas Rama, Galuh."
Dia yang awalnya bersandar tiba-tiba langsung menegakkan badannya.
"maksudnya?"
Ku ceritakan dari awal mula aku bisa tau bahwa aku adalah korban penyempurna, dan apa kalian tau bagaimana reaksi Galuh? terkejut.
"kau yakin Laras?"
"sangat yakin, bahkan aku sudah menggunakan kaca yang di maksudkan oleh Bowo."
" tapi mengapa bisa?" ucapnya seraya menutup mulut
" aku juga tidak tau, apa kau penasaran bagaimana wajahku di cermin itu? "
" kau masih menyimpan cermin itu?" ucap Galuh padaku, ada nada penasaran di sana.
Aku mengangguk, kemudian memindai setiap sudut ruangan rumah ku, kemudian menggenggam tangannya lalu mengajaknya masuk ke dalam kamarku.
"Duduklah, aku akan mengambilnya." ucapku seraya mendekat pada meja rias.
Segara ku buka laci meja, hmmm ternyata kaca itu masih ada.
"lihatlah," ucapku. Galuh segera mendekat, dan matanya seketika membola saat melihat wajahku di dalam kaca tersebut, berulang kali dia memindai wajahku yang dikaca dan yang aslinya.
"kau...kau! Seorang putri Laras?" ucapnya dengan nafas tercekat.
"aku juga tidak tau, kemungkinan iya." sahutku, ku letakkan kaca itu di atas meja. Namun, dengan sigap Galuh mengambilnya, dan saat dia bercermin hanya pantulan biasa saja.
"tidak ada yang berubah dari ku." ucap nya, ku dekatkan wajah ini, lagi dan lagi wajah dengan riasan mahkota lah yang terlihat di sana.
"siapa yang tau kalau kau adalah seorang putri?" ucap Galuh padaku.
" tidak ada, hanya kau yang tau."
Dia lantas, menganggukkan kepala kemudian meletakkan kaca itu kembali ke dalam laci lantas menggenggam kedua bahuku.
"apapun yang akan terjadi kedepannya nanti, aku akan menjadi garda terdepan untukmu Laras. Terlepas dari aku mencintai mas Rama, tapi percayalah ini kasih sayangku padamu sebagai seorang sahabat."
Aku terenyuh, ku peluk erat wanita yang seumuran dengan ku ini. Entah apa yang akan terjadi nanti, akan kami hadapi bersama.
Kami kembali lagi ke ruang tengah, tak lupa mengecek mas Rama dan juga Bima, ternyata mas Rama masih duduk di posisi yang sama dengan tatapan mata kosong, sementara Bima tertidur di sebelah nya.
"aku takut jiwa mas Rama tertinggal di rumah iblis itu Laras."
" entahlah, yang terpenting besok kita akan membawa dia ke tempat kyai Mustofa."
Jam terus berputar, tak terasa pagi menjelang. Ibu yang bangun terkaget-kaget melihat ada Bima dan Galuh di sini.
"kapan kalian datang?" ucap ibu seraya mengerutkan dahinya.
"tadi Wak setelah subuh, iseng mampir ke sini."
Ibu mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mas Rama mungkin dia ingin memastikan anak lelakinya baik-baik saja.
"Rama gak tidur, Laras?" ucap ibu panik.
" enggak buk, sejak malam mas Rama terus begitu sampai saat ini." ucapku.
Ibu lantas mengelus rambut mas Rama yang sudah mulai gondrong, kemudian melihat kami berempat.
"cepat kalian bawa dia ke rumah kiyai Mustofa, kalau keadaannya seperti ini ibu tidak bisa menjamin dia bakal bertahan."
Jantungku berpacu cepat, " alamat kyai Mustofa di mana buk?"
"lumayan jauh dari sini, sebaiknya setelah sarapan kalian pergi karena jalan menuju ke sana tidaklah mudah."
Maksudnya ibu, rumahnya di hutan gitu. Apa di daerah terpencil, pikirku dia tinggal di daerah pondok pesantren gitu. Astaga, kalau begitu artinya harus jalan kaki. Hadeeeh.
"memangnya di mana Wak?"
"di sebuah desa, nanti kalian jalan dari jalan setapak yang ada di belakang rumah. Lurus saja, tidak usah belok-belok, nanti dapat simpang dua belok. Nah, di ujung sana rumah kyai Mustofa."
" dia tinggal di hutan buk?"
" bukan, tapi di kebun. Banyak yang tidak tau kalau dia seorang kyai karena penampilannya seperti orang biasa, dia tinggal seorang diri di sana. Cepatlah kalian pergi, karena perjalan kalian hingga tiba ke sana hampir satu harian."
Kami mengangguk serempak, setelah menunaikan yang wajib aku dan Galuh membantu ibu membuat sarapan dan tak lupa bekal untuk di perjalanan nanti.
Setelah menyelesaikan semuanya, sarapan juga sudah akhirnya kami berpamitan pada ibu.
"Hati-hati nak, jalan menuju kesana tidak mudah. Tetaplah kalian bersama, jangan sampai ada yang terpisah."
Kami mengangguk, setelah menyalami ibu akhirnya kami mulai berangkat menyusuri jalan setapak yang ada di belakang rumah.
"aku baru tau ada jalan seperti ini di belakang rumahmu Ras,"
" aku sebenarnya tau, tapi tak pernah menyusuri nya."
Terus dan terus akhirnya sudah setengah hari kami berjalan, istirahat sejenak karena jujur saja kaki sudah sangat pegal.
"masih jauh kak?" ucap Bowo.
"setengah hari perjalanan lagi, kemungkinan kita malam tiba di sana."
" benar, kita belum menemukan simpang dua kan, itu artinya masih jauh."
Semua membuang nafas, tampak mas Rama hanya diam, sembari memakan bekal dari ibu. Setelah di rasa capeknya berkurang akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi.
"aku merasa seperti ada yang mengikuti kita," ucap Bima,. Karena posisi dia berjalan paling belakang.
"siapa?" ucapku.
"entahlah, tapi sejak kita istirahat tadi hawanya mulai tak enak."
Kami semua terdiam, sambil terus melanjutkan perjalanan, namun aku yang penasaran seketika menatap sekeliling arena tempat kami berjalan.
Dan apa itu, di ujung sana seperti seorang lelaki mengikuti perjalanan kami. Tapi dia tidak menapakkan kakinya di tanah, alias melayang. Dan saat menoleh, seketika jantungku di buat berdetak kencang.
"pak Karto." ucapku spontan.
"mana bapak kak?" ucap Bowo yang berjalan tepat di depanku.
"itu dia di sana, itu pak Karto kan?" ucapku menunjuk arah samping. Jarak kami dengan pak Karto tidak terlalu jauh, jadi sangat jelas terlihat wajahnya.
Kami semua serentak berhenti, lalu menatap pak Karto dan apa kalian tau dia juga menatap balik kami. Dengan tatapan dingin nan datarnya.
"jangan bilang dia menguntit?" ucap Galuh.
" bisa jadi, ayo percepat jalan kita. Jangan sampai, sebelum magrib kita masih di hutan ini." ucap Bima.