Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 - Permainan dimulai
Matahari baru saja terbit ketika Senja sudah bangun dan memulai aktivitasnya. Seperti biasa, dia menyiapkan sarapan di dapur. Tapi ada yang berbeda dari Senja pagi ini. Gerakannya lebih percaya diri, postur tubuhnya lebih tegak, dan di matanya berkilat sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya, tekad dan perhitungan.
Semalam, setelah pulang dari pemakaman ayahnya, Senja tidak tidur dengan nyenyak. Dia terjaga sampai larut malam, merencanakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengungkap kebohongan Luna. Dia tidak akan lagi menjadi gadis lemah yang mudah diintimidasi. Permainan sudah berubah, dan kali ini, Senja yang akan mengontrol papan catur.
"Pagi, Senja."
Suara Samudra membuat Senja menoleh. Pria itu baru turun dari lantai dua. Tapi matanya memancarkan kekhawatiran ketika menatap Senja.
"Pagi, Mas," jawab Senja sambil tersenyum, senyuman yang tidak lagi polos seperti dulu.
Samudra menghampiri dan berdiri di samping Senja, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh orang lain. "Kamu yakin dengan rencana ini?"
"Sangat yakin," jawab Senja sambil menuang kopi untuk Samudra. "Sudah waktunya aku berhenti jadi korban."
Samudra menatap mata Senja yang berkilat dengan determinasi. Gadis yang kemarin menangis sejadi-jadinya di atas makam ayahnya kini terlihat seperti wanita yang berbeda.
"Hati-hati," bisiknya sambil menyentuh tangan Senja sekilas. "Luna itu licik. Dia bisa tahu kalau ada yang tidak beres."
"Aku tahu," jawab Senja dengan senyum tipis. "Makanya aku harus lebih licik darinya."
Langkah kaki yang berat di tangga membuat mereka berdua menjauh satu sama lain. Luna turun dengan wajah yang masam, rambut berantakan, dan mata yang sembab, tanda dia baru pulang pagi ini setelah menginap entah di mana.
"Pagi," gumamnya tanpa semangat sambil langsung duduk di kursi makan.
"Pagi, Kak Luna," sapa Senja dengan nada yang lebih ceria dari biasanya, membuat Luna meliriknya dengan curiga.
Biasanya Senja akan diam saja atau menjawab dengan suara yang sangat pelan ketika Luna lewat. Tapi pagi ini gadis itu terlihat... berbeda. Ada sesuatu yang berubah dari caranya berdiri, cara dia bergerak, bahkan cara dia menatap.
"Kenapa kamu terlihat senang sekali pagi ini?" tanya Luna dengan nada sarkastik.
"Oh, tidak apa-apa kok, Kak," jawab Senja sambil meletakkan piring sarapan di depan Luna. "Cuma... aku kangen aja sama Ayah."
Luna yang sedang scrolling Instagram langsung membeku. Matanya terangkat menatap Senja dengan tajam. "Ayah? ayah siapa?"
"Ya Ayah aku, dong," jawab Senja dengan nada polos yang sangat dibuat-buat. "Sudah lama sekali aku tidak ketemu Ayah. Kak Luna bilang Ayah sedang dirawat di rumah sakit, kan? Aku jadi pengen jenguk."
Luna meletakkan ponselnya dengan gerakan yang lambat, menatap Senja dengan mata yang menyipit curiga. "Kenapa tiba-tiba kamu mau jenguk Ayah?"
"Bukan tiba-tiba, Kak," jawab Senja sambil terus menata meja dengan gerakan yang tenang. "Aku sudah lama mau jenguk, tapi Kak Luna selalu bilang Ayah tidak boleh dikunjungi karena kondisinya lemah. Sekarang sudah beberapa bulan, pasti Ayah sudah lebih baik kan?"
Wajah Luna mulai pucat. Tangannya yang memegang garpu sedikit gemetar. Dia tidak pernah menyangka Senja akan bertanya tentang ayahnya, topik yang sudah dihindari dengan sukses selama ini.
"Ayah masih... masih tidak boleh dikunjungi," jawab Luna dengan nada yang berusaha tetap tenang tapi terdengar tidak yakin.
"Kenapa?" desak Senja sambil duduk di kursi yang berseberangan dengan Luna. Untuk pertama kalinya, dia menatap mata kakak tirinya dengan tatapan yang tidak menunduk, tidak takut. "Sudah berbulan-bulan, Kak. Masa kondisinya belum membaik juga?"
"Kondisi Ayah memang serius," jawab Luna sambil mulai makan dengan gerakan yang tergesa-gesa. "Dokter bilang pengunjung bisa memperburuk kesehatannya."
"Rumah sakit mana, Kak?" tanya Senja dengan nada yang sangat polos. "Aku mau jenguk dari jauh aja. Lihat Ayah dari kaca gitu. Pasti boleh kan?"
Luna merasakan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Pertanyaan Senja yang terus mendesak membuat dia semakin tidak nyaman. Mata gadis itu menatapnya dengan tatapan yang aneh, seolah tahu sesuatu tapi pura-pura tidak tahu.
"Kamu tidak perlu tahu rumah sakit mana," bentak Luna dengan nada yang mulai keras. "Yang penting Ayah masih hidup dan dirawat dengan baik."
"Tapi aku kan anaknya," kata Senja dengan nada yang mulai meninggi. "Aku punya hak untuk tahu di mana Ayah dirawat. Aku punya hak untuk menjenguk Ayah."
"TIDAK BOLEH!" teriak Luna sambil membanting garpu ke atas piring, membuat suara yang keras dan mengejutkan. "Aku bilang tidak boleh ya tidak boleh! Kamu ini cuma asisten rumah tangga di sini, jangan sok-sokan ngatur!"
Samudra yang sejak tadi diam mulai angkat bicara. "Luna, kenapa kamu marah-marah? Senja cuma mau jenguk ayah. Itu wajar."
"Kamu tidak usah ikut campur!" bentak Luna sambil menatap Samudra dengan mata berapi-api. "Ini urusan keluarga aku!"
"Senja juga keluarga kamu," kata Samudra dengan nada yang tenang tapi tegas. "Dan sebagai kepala keluarga di rumah ini, aku punya hak untuk tahu kenapa kamu melarang Senja menjenguk ayahnya."
Luna berdiri dari kursinya dengan gerakan yang tiba-tiba, wajahnya memerah karena amarah dan panik. "Pokoknya tidak boleh! Titik! Senja, kalau kamu masih mau kerja di sini, jangan pernah bahas soal Ayah lagi!"
"Kenapa, Kak?" desak Senja sambil juga berdiri, kali ini menatap Luna dengan mata yang berkilat tajam. "Kenapa Kak Luna begitu panik kalau aku nanya soal Ayah? Jangan-jangan ada yang Kak Luna sembunyiin?"
"APA MAKSUD KAMU?" teriak Luna dengan suara yang hampir histeris.
"Aku cuma bertanya, Kak," jawab Senja dengan nada yang sangat tenang, sangat kontras dengan Luna yang mulai kehilangan kontrol. "Kenapa pertanyaan sederhana bikin Kak Luna panik begini?"
Luna menatap Senja dengan mata yang membelalak. Untuk pertama kalinya, gadis yang biasanya penurut dan penakut itu berani melawan. Ada sesuatu yang berubah dari Senja, dan perubahan itu membuat Luna tidak nyaman.
"Kamu... berani sama aku?" bisik Luna dengan suara yang bergetar antara tidak percaya dan marah.
"Aku tidak berani sama Kak Luna," jawab Senja dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata. "Aku cuma mau tahu tentang Ayah. Apa salahnya?"
Luna mundur beberapa langkah, tatapannya berubah menjadi curiga dan waspada. Dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Senja yang biasanya takut dan penurut tiba-tiba jadi berani dan mendesak. Pasti ada yang terjadi.
"Samudra," panggil Luna sambil meraih tas tangannya dari sofa. "Aku keluar dulu. Ada urusan penting."
"Kemana? Sekarang masih pagi," tanya Samudra sambil melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul tujuh.
"Urusan penting!" bentak Luna sambil berjalan cepat menuju pintu. "Aku tidak tahu kapan pulang!"
"Kak Luna," panggil Senja dengan suara yang cukup keras, membuat Luna berhenti di ambang pintu. "Tolong sampaikan salam aku ke Ayah ya. Bilang Senja kangen dan mau ketemu."
Luna menoleh dengan wajah yang pucat. Matanya menatap Senja dengan campuran takut dan marah. "Diam kamu!"
"Kenapa harus diam, Kak?" tanya Senja dengan nada yang sangat polos. "Aku kan cuma titip salam."
Luna tidak menjawab. Dia langsung keluar dan membanting pintu dengan keras, meninggalkan suara yang bergema di seluruh rumah. Suara mesin mobil terdengar menyala dengan kasar, kemudian melaju dengan cepat keluar dari halaman.
Setelah suara mobil Luna menghilang, Senja kembali duduk di kursi makan dengan ekspresi yang sangat tenang. Dia mengambil secangkir teh dan meminumnya dengan gerakan yang santai, seolah tidak baru saja bertengkar dengan Luna.
Samudra menatap Senja dengan mata yang penuh kekaguman bercampur kekhawatiran. "Kamu... benar-benar berbeda sekarang."
"Apa maksud Mas?" tanya Senja sambil menatap Samudra dengan mata yang innocent.
"Kamu tahu apa maksudku," jawab Samudra sambil bangkit dan menghampiri Senja. "Gadis yang aku kenal dua hari lalu pasti akan langsung menangis kalau Luna bentak seperti tadi."
Senja tersenyum. "Gadis itu sudah mati, Mas. Yang sekarang adalah orang yang tidak akan diam lagi kalau diperlakukan tidak adil."
Samudra duduk di kursi di samping Senja, meraih tangan gadis itu dengan lembut. "Aku bangga dengan keberanianmu.