Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjual Sate Ayam
Senja mulai merayap di Pasar Malam Kertajaya, yang terletak di sudut sisi barat kota Metropolitan Jakarta. Hiruk-pikuk pejalan kaki dan kendaraan bermotor lalu lalang tanpa henti, meninggalkan jejak daun-daun sayur berserakan dan genangan air kotor di jalanan. Toko-toko tua berjajar dengan papan nama yang sudah pudar, dihiasi kerlip lampu neon seadanya. Para pekerja pulang dari kantor, anak-anak sekolah bergegas pulang, ibu-ibu berbelanja kebutuhan sehari-hari dan para musafir yang tampak letih. Semua berbaur dalam kesibukan kota yang tidak pernah benar-benar berhenti, membuat langit senja yang berdebu terasa semakin muram. Di tengah gemerlap kota metropolitan seperti Jakarta, area semacam ini merupakan aib yang sangat memalukan dan ingin sekali dihilangkan dari peta.
Di samping tembok dekat persimpangan jalan, seorang pemuda sedang sibuk dengan pekerjaannya. Pekerjaan yang mungkin akan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Namanya Revan Anggara, seorang pemuda yang seluruh tubuhnya berlumuran jelaga dan minyak sedang menjajakan sate ayam. Ia mengenakan kaus oblong putih, celana kain berwarna coklat dan sepasang sandal jepit biru yang telah kaku.
Rambut Revan tampak acak-acakan, namun wajahnya menampilkan paras yang rupawan dan terkesan dewasa. Jika diamati lebih dekat, akan terlihat keteguhan di balik sorot matanya. Meskipun dengan wajah tampan, wanita-wanita yang lewat di jalanan tidak pernah meliriknya. Barangkali karena ia hanya seorang penjual sate ayam, yang tidak layak untuk diperhatikan.
Revan meletakkan sate ayam yang baru saja selesai dipanggang. Cuaca yang panas seperti ini membakar sate memang mudah, tapi menjualnya yang sulit. Tiga tusuk sate seharga lima ribu rupiah, sudah terbilang murah. Namun hampir seharian penuh, ia hanya mendapat kurang dari seratus ribu dan itu hampir tidak cukup untuk makan dua kali.
Tapi Revan tidak pernah merasa sedih, justru wajahnya memancarkan ekspresi santai dan puas. Ia duduk di bangku kecil sambil memandang ke arah jalan yang ramai, seolah pemandangan itu adalah panorama terindah di dunia.
Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan di sekitar.
"Pak Rahmat! Waktunya menepati janji dua hari yang lalu!"
Tiga pemuda berusia belasan tahun, dengan tampang sangar datang menghampiri. Gaya mereka ala preman pasar dengan rambut berdiri, kalung mengilap, celana robek dan rokok yang menyala di bibir. Mereka mengelilingi seorang pria tua yang duduk lesu di samping Revan.
Pak Rahmat adalah seorang pedagang gorengan yang mangkal persis di samping Revan. Sama seperti Revan, akibat cuaca panas dagangannya sepi dan duduk di bangku dengan wajah cemas.
"I-ini…," Pak Rahmat menunjukkan wajah masam. "Nak, mohon bersabar sedikit. Cuaca panas begini dagangan belum banyak laku, bagaimana bapak bisa membayarnya."
“Dengar ya Pak, jangan coba-coba kabur dari tanggung jawab. Kalau bukan karena bos Bimo yang melindungi Bapak, lapak ini sudah lama hancur,” gertak salah satu dari mereka dengan nada mengancam namun menjilat.
Preman yang dipanggil Bimo itu, tampak sangat senang. Ia menepuk punggung anak buahnya dengan berkata, "Uang keamanan hari ini, aku harus dapat bagaimanapun caranya. Bapak bisa pilih, mau bayar atau tidak. Kalau tidak, lapak ini akan aku hancurkan sekarang juga!" Setelah berkata demikian, ia mengambil sebatang sosis goreng. Melahapnya dengan dua gigitan besar, lalu membuang sisanya ke tanah.
Pak Rahmat terjebak dalam situasi yang sulit, tanpa jalan keluar. Ia menggenggam erat tumpukan uang kertas di sakunya, menimbang-nimbang apakah akan memberikan begitu saja. Uang itu rencana untuk biaya berobat istrinya, bagaimana mungkin ia tega memberikannya untuk para berandal ini?!
"Aku yang akan bayar." Revan si penjual sate ayam, tiba-tiba datang menghampiri. Ia merogoh beberapa lembar uang dari saku, yang tidak sampai seratus ribu. Diserahkannya uang itu sambil berkata santai, "Ini saja yang aku punya. Pak Rahmat sudah tua dan sangat membutuhkan uang, kalian sebaiknya jangan keterlaluan."
Preman itu menyipitkan matanya dan tertawa, lalu mengambil uangnya dan memberikan kepada anak buah yang ada di belakang. "Hahaha... Revan, kamu mau sok jadi orang baik, tapi kamu sendiri belum bayar uang keamanan!"
Revan mengernyitkan alis, dalam hati menyayangkan mengapa anak-anak seusia mereka tidak belajar dengan benar. Kenapa harus menjadi preman? Tapi ia bukanlah ayah mereka, jadi tidak pantas baginya untuk menasehati. Ia juga tidak ingin mencari masalah, jadi hanya berkata dengan datar, "Besok, aku akan membayarnya besok."
"Bagus, aku bukan orang yang tidak punya perasaan. Kita semua harus bekerja sama, dan saling menguntungkan. Aku melindungi usaha kalian, sementara kalian membayar uang keamanan sebagai balasannya. Besok aku akan datang lagi ke sini untuk menagih uangnya." Setelah berkata demikian, Bimo dan kedua anak buahnya melenggang angkuh menuju lapak-lapak lain untuk membawa kesusahan bagi para pedagang.
Mata Pak Rahmat sudah memerah, menatap Revan dengan getir, "Nak Revan, kenapa harus repot-repot membayarnya? Kamu selalu membantu membayar para berandal itu, bagaimana bisa bapak membiarkan ini terus-menerus."
"Pak, jangan bicara begitu. Waktu aku baru datang dan belum terbiasa hidup di sini, aku tidak punya teman untuk diajak bicara kecuali dengan bapak. Bapak adalah dermawanku, dan ini caraku untuk membalas budi."
"Kamu ini, apa lagi yang harus bapak katakan padamu." Pak Rahmat tampaknya mengerti, bahwa ia tidak bisa meyakinkan Revan dan hanya bisa menghela napas dalam.
Revan tidak keberatan dan tertawa, tawa yang sederhana namun tulus. Seolah pemerasan tadi tidak memengaruhi suasana hatinya. "Hehehe... Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kondisi istri bapak?"
Wajah pak Rahmat dipenuhi dengan rasa syukur. "Semua berkat uang yang kamu berikan untuk operasi istriku, sekarang dia hanya perlu beberapa kali kontrol, minum obat dan kemudian akan sembuh total."
"Oh, syukurlah! Semoga lekas sembuh." Revan mengangguk puas.
Pak Rahmat tersenyum getir, "Nak Revan, uang yang dipinjamkan pasti akan dikembalikan. Kalau bapak tidak sanggup mengembalikan semuanya sampai akhir hayat, anak perempuanku yang akan melanjutkan membayarnya. Ah, kalau bukan karena bapak, uang seratus juta rupiah milikmu itu pasti bisa dipakai untuk membuka toko yang bagus. Kamu tidak perlu datang ke sini untuk jualan sate ayam, serta tidak perlu menahan siksaan para berandal itu."
Revan melengkungkan bibirnya, "Aku sedikit menikmati gaya hidup seperti ini, jualan sate ayam tidaklah buruk, sederhana tapi cukup untuk makan."
"Kamu ini terlalu…." Pak Rahmat sedikit murung saat berkata, "Nak Revan, kamu baru berusia 25 tahun. Pria lain seusiamu banyak yang sedang kuliah, atau bahkan gigih membangun sebuah karier. Sementara kamu, pacar saja tidak punya. Apakah kamu berencana jualan sate ayam selamanya? Nak Revan mungkin tidak khawatir, tapi bapak yang merasa khawatir melihatmu."
Melihat pak Rahmat benar-benar menunjukkan kekhawatiran padanya, Revan tanpa sadar menunjukkan ekspresi sedikit getir. Bukan berarti ia tidak khawatir, hanya saja tidak pernah memikirkannya sama sekali.
Setelah malam tiba, Revan membereskan lapaknya dan mendorong gerobak kembali ke kontrakannya. Ini adalah sebuah kontrakan kecil yang entah sudah berapa tahun dibangun, sewa per bulan hanya seratus ribu rupiah. Karena tidak ada yang mau tinggal di sini, makanya murah sekali. Berbeda dengan orang lain yang khawatir kontrakannya roboh, Revan justru memutuskan untuk pindah begitu melihat betapa murahnya tempat itu.
Kontrakan Revan hanya memiliki perabotan yang sangat sederhana, kebanyakan barang bekas yang dibuang orang lain. Ada ranjang, lemari, kursi, dan TV yang hanya bisa menonton beberapa saluran lokal.
Setelah mendorong gerobak kecilnya masuk ke dalam kontrakan, Revan menatap kalender yang tergantung di dinding. Ia mengecek tanggalnya, tiba-tiba teringat sesuatu dan segera berlari ke kamar mandi.
Dalam waktu kurang dari lima menit Revan mandi dengan air dingin, lalu keluar dari kamar mandi bertelanjang dada. Kulitnya berwarna kuning langsat dengan tubuh yang proporsional, tidak terlalu mencolok. Tetapi jika diamati dengan cermat, seseorang dapat merasakan kesan maskulinitas yang tersembunyi.
Berjalan menuju lemari di samping tempat tidur, Revan menggaruk-garuk kepalanya dengan cemas sambil melihat tumpukan pakaian yang tidak beraturan. Ia memilih beberapa dan akhirnya mengenakan kemeja kuning, celana kain linen ringan dan memakai sandal jepit plastik yang sama.
Setelah meninggalkan kontrakan, Revan bergegas menuju jalan paling ramai di wilayah barat. Bernama Jalan Disco, yang merupakan satu-satunya jalan terhormat di wilayah barat yang kumuh.
Kehidupan malam yang penuh pesta dan kesenangan tersebar di mana-mana, ada rok-rok berwarna-warni dan segala macam parfum yang berbeda. Begitu seseorang memasuki Jalan Disco, suasana kota langsung terasa.
Revan tidak menatap terang-terangan seperti beberapa pemuda yang tak tahu malu dan tak berprinsip, dan juga tidak mengintip secara diam-diam paha wanita-wanita cantik di jalanan yang membuat orang lain meneteskan air liur.
Papan nama neon kafe itu tidak terlalu mencolok, dengan bangunan berukuran sedang itu memiliki aura misterius. Lampu-lampunya berbentuk mawar berwarna-warni menghiasi papan nama.
Setelah memasuki kafe, Revan berjalan ke sisi konter seperti biasa dan duduk di sudut ruangan.
"Bang Revan, akhirnya datang juga." Barista muda berkaus rompi memperhatikan Revan, dan menunjukkan senyum ramah. Pada saat yang sama, ia membawakan segelas air. "Kak Risa sudah menunggu abang sejak tadi."
Revan tersenyum padanya, lalu menyesap air dari gelas. "Kak Risa tidak marah, kan? Aku pulang agak telat tadi, jadi datang ke sini terlambat."
"Tidak marah kok bang." Riko tersenyum, seolah beberapa jerawat di wajahnya yang bulat ikut tersenyum padanya juga. Dengan nada memohon ia berkata: "Bang Revan, kalau ada waktu tolong ajari aku. Metode apa yang abang pakai sampai bisa menggaet Kak Risa? Abang tahu, kalau orang-orang di Jakarta yang tertarik pada bos kita antrean, bisa antre dari wilayah barat sampai ke laut. Selama bertahun-tahun, aku belum pernah melihat bos begitu jatuh cinta pada pria lain. Namun hari ini, pertanyaan apakah abang sudah di sini saja, sudah ditanyakan tidak kurang dari lima kali."
"Jangan bicara omong kosong, tidak ada apa-apa antara aku dan Kak Risa." Revan menjawab dengan putus asa dan tidak terlalu antusias.
Riko memasang ekspresi, 'aku tidak percaya itu, meskipun abang membunuhku', lalu menghela napas, "Duhai bang Revan. Jujur saja, sikap dingin abang ini terlalu berlebihan, bisa menggaet wanita cantik luar biasa seperti bos kita. Pria mana yang tidak akan menempel padanya setiap hari? Hanya abang yang datang sesekali dan bahkan membiarkan seorang wanita cantik menunggu. Kalau tidak, mengapa orang-orang mengatakan bahwa hal-hal yang tidak bisa didapatkan adalah yang terbaik? Kalimat ini cocok digunakan untuk wanita."
Saat Riko memasang ekspresi seperti seorang pakar percintaan berlebihan, suara yang menawan namun bermartabat dan cerdas muncul di belakangnya. "Riko, menurutmu berapa kali lagi gajimu bisa dipotong?"
Seolah tersengat listrik, Riko tercengang. Setelah kembali sadar, ia segera menyingkir dan pura-pura sedang meracik minuman. Seolah tidak terjadi apa-apa, namun keringat dingin di dahinya menunjukkan ketakutan di hatinya.
Dengan kebaya modern yang elegan, pahanya samar-samar terlihat melalui belahan di sisi kakinya yang memancarkan daya tarik seksual yang menggoda. Ditambah lagi gunung kembarnya yang montok dan pinggang yang ramping serasi dengan wajah halus yang tampak seperti karya seni yang teliti. Di bahunya ada untaian rambut ungu muda dengan penampilan seperti keluar dari lukisan, berjalan menuju Revan dengan santai.
Revan tersenyum dengan wajah dan matanya, menatap lurus ke arah wanita itu tanpa sedikit pun kecanggungan. Ia kemudian dengan tulus berkata, "Kak Risa, kamu benar-benar cantik. Selamat ulang tahun."