Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cobaan Itu Dimulai
Suasana kelas 11 IPA 2 siang itu cukup ramai. Meja dan kursi bergeser, derap langkah tergesa-gesa terdengar dari luar. Bel istirahat baru saja berbunyi lima menit yang lalu, tapi sebagian besar siswa sudah siap menyantap bekal atau jajan di kantin. Namun, Novia Anwar, guru Bahasa Inggris mereka, masih sibuk di depan kelas, membereskan tumpukan LKS dan buku paket.
Novia menghela napas panjang. Usianya sudah 30 tahun, dan enam tahun terakhir ini ia mengabdi sebagai guru honorer di SMA Negeri di kota kecil ini. Gaji? Jangan ditanya. Selalu dirapel tiga bulan sekali, kadang lebih. Nominalnya pun tak seberapa, jauh dari kata cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi toh, setiap kali ia melangkah masuk ke kelas, semangatnya selalu penuh. Senyum tulus tak pernah lepas dari bibirnya. Ia percaya, mendidik adalah panggilan hati.
"Bu Novia, tidak ke kantin?" tanya seorang siswa bernama Rio, yang masih bertahan di bangkunya, asyik bermain gim di ponsel.
Novia menoleh, senyum tipis mengembang. "Nanti, Rio. Ibu mau rapikan ini dulu. Kamu tidak jajan?"
Rio menggeleng. "Sudah bawa bekal, Bu. Ibu terlihat lelah."
"Tidak juga. Hanya sedikit pegal," jawab Novia, meraih botol minumnya. "Mungkin karena tadi pagi jogging." Ia berbohong, tentu saja. Kelelahan yang ia rasakan lebih disebabkan oleh tekanan ekonomi dan ketidakpastian statusnya. Tapi ia tak mau itu terlihat di hadapan murid-muridnya.
Tiba-tiba, Arini, siswi yang dikenal paling cerdas di kelas, mendekati meja guru. "Bu Novia, tadi penjelasan tentang conditional sentence sudah sangat jelas, terima kasih. Saya jadi lebih paham."
Mendengar itu, mata Novia berbinar. "Syukurlah, Arini. Ada bagian yang masih belum kamu mengerti?"
"Sepertinya tidak ada, Bu. Hanya saja, terkadang saya masih tertukar antara tipe 2 dan tipe 3," jawab Arini sambil tersenyum malu.
Novia tersenyum lebar. "Itu wajar. Kuncinya ada di pola tenses-nya. Nanti kita ulang lagi di pertemuan berikutnya, ya."
"Baik, Bu," kata Arini.
Sejenak, Novia menatap keluar jendela. Langit biru dihiasi awan putih berarak. Ia membayangkan bagaimana jika statusnya sudah diangkat menjadi PNS. Pasti gajinya lebih teratur, dan ia bisa menabung untuk masa depan. Tapi lamunan itu cepat ditepisnya. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya.
****
Pukul empat sore, Novia tiba di rumah kecilnya yang sederhana. Setelah seharian mengajar, rasa lelah mendera, namun ia berusaha menepisnya. Ia sudah menikah empat tahun dengan Januar Hadi, suaminya yang bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta. Sejak menikah, mereka tinggal bersama mertua Novia, Diana, yang sayangnya memiliki kebiasaan ‘julid’ terhadap dirinya.
Begitu pintu terbuka, aroma masakan langsung menyeruak. Di ruang tengah, Diana sedang menonton televisi, sesekali melirik sinetron di layar kaca.
"Baru pulang, Novia?" sapa Diana tanpa menoleh, suaranya terdengar dingin.
Novia mengangguk, meletakkan tas di sofa. "Iya, Bu. Tadi ada rapat sebentar."
"Rapat apalagi? Guru honorer itu kerjanya begitu-begitu saja, kan? Gajinya kapan cairnya? Tiga bulan sekali, kan? Kalau ibu jadi kamu, sudah lama cari kerjaan lain," cibir Diana, kini menoleh dengan tatapan merendahkan.
Hati Novia mencelos. Ini bukan kali pertama ia mendengar kata-kata pedas seperti itu. Ia mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Sudah pilihan Novia, Bu. Novia nyaman mengajar," jawabnya pelan, berusaha mengabaikan sindiran mertuanya.
"Nyaman? Dengan gaji pas-pasan begitu? Kapan kalian bisa punya rumah sendiri kalau begini terus? Kapan Ibu bisa punya cucu?" Nada suara Diana semakin menusuk. "Jangan-jangan memang kamu yang mandul, ya? Sudah empat tahun menikah, belum juga ada tanda-tanda kehamilan."
Kata ‘mandul’ itu seperti belati yang menancap tepat di ulu hati Novia. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha keras menahannya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Insya Allah, Bu. Doakan saja," jawab Novia, berusaha sekuat tenaga agar suaranya tidak bergetar.
Tak lama kemudian, terdengar suara motor Januar memasuki halaman rumah. Novia langsung bergegas menyambut suaminya. Januar Hadi, dengan seragam kerjanya yang rapi, tersenyum hangat melihat Novia.
"Assalamualaikum," ucap Januar seraya mencium kening Novia. "Sudah pulang, Sayang?"
"Waalaikumussalam, Mas. Iya, baru saja," jawab Novia, sedikit lega dengan kehadiran Januar.
Ketika mereka masuk ke dalam, Diana langsung memulai lagi. "Itu istrimu, Jan. Kerjanya santai, gajinya kecil, cucu juga belum ada. Apa tidak dicari solusi?"
Januar menatap ibunya dengan tatapan peringatan. "Ibu, jangan begitu, Bu. Novia sudah bekerja keras. Masalah anak, kan, Allah yang menentukan."
"Alah, alasan saja! Ini pasti karena Novia yang tidak subur," timpal Diana tanpa rasa bersalah.
Mendengar itu, air mata Novia akhirnya tumpah. Ia tak sanggup lagi menahannya. Januar segera merangkul Novia, menenangkan istrinya.
"Ibu! Cukup!" bentak Januar, suaranya meninggi. "Novia istriku. Aku tidak peduli dengan semua kata-kata Ibu. Yang penting, Novia selalu ada untukku dan Novia guru yang baik."
Diana terdiam, terkejut mendengar bentakan putranya. Januar kemudian membawa Novia masuk ke kamar, meninggalkan Diana sendirian di ruang tamu. Di dalam kamar, Januar memeluk Novia erat.
"Jangan dengarkan perkataan Ibu, Sayang," bisik Januar lembut. "Kita akan terus berusaha, dan kita akan melewatinya bersama."
Novia terisak di pelukan suaminya. Meskipun lelah fisik dan batin, ia tahu ia tidak sendiri. Ada Januar yang selalu mendukungnya. Dan dukungan itu, bagi Novia, adalah kekuatan terbesar untuk menghadapi segala badai dalam hidupnya.
****
Sabtu pagi itu, mentari sudah merangkak tinggi, memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru kota. Namun, ada yang berbeda pagi ini di kediaman Novia. Januar, suaminya, harus masuk kerja. "Ada beberapa hal yang perlu aku selesaikan di kantor, Sayang. Tidak bisa ditunda," ujarnya semalam, saat Novia menanyakan alasannya. Novia sedikit heran, tak biasanya Januar masuk di hari libur. Namun, ia hanya mengangguk mengerti, mencoba memahami tuntutan pekerjaan sang suami.
Setelah Januar berangkat, rumah kembali sunyi, hanya ada Novia dan mertuanya, Diana. Novia memutuskan untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Saat sedang menjemur, suara Diana menggelegar dari dapur.
"Novia! Ke sini sebentar!" panggil Diana dengan nada tinggi.
Novia segera menghampiri. Diana sedang duduk di meja makan, menatapnya tajam. "Kamu ini, sudah hampir empat tahun menikah, bukannya mikir bagaimana caranya punya anak, malah sibuk dengan pekerjaanmu yang tidak seberapa itu," sindirnya, lagi-lagi mengungkit soal keturunannya. "Lihat tetangga sebelah, baru setahun menikah sudah hamil. Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Jangan-jangan memang benar kamu mandul!"
Hati Novia mencelos mendengar kata itu terucap lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. "Bu, kan sudah Novia bilang, masalah anak itu kehendak Allah. Kami juga sudah berusaha dan berdoa," jawab Novia, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.
"Usaha apa? Doa apa? Jangan cuma omong kosong! Sudah jelas-jelas tidak ada hasilnya, berarti memang ada yang salah denganmu!" Diana tak henti-hentinya menekan. "Ibu ini kasihan sama Januar. Punya istri kok begini."
****
Siang harinya, Novia pergi ke tukang sayur keliling yang biasa mangkal di ujung gang. Ia ingin membeli beberapa bahan untuk makan malam. Sesampainya di sana, Novia melihat Diana sedang bercengkerama dengan beberapa ibu-ibu kompleks lainnya. Begitu melihat Novia, Diana langsung menghentikan obrolannya, dan ibu-ibu lainnya pun menatap Novia dengan pandangan aneh.
"Itu lho, Bu, menantu saya," kata Diana kepada ibu-ibu, dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Novia bisa mendengar. "Sudah empat tahun menikah, belum juga hamil. Kasihan anak saya, Januar, belum punya keturunan juga sampai sekarang."
Salah satu ibu, Bu Siti, menimpali, "Oh, iya, Bu Diana. Saya juga dengar-dengar begitu. Padahal Bu Novia ini cantik, ya, tapi kok...?" Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, melirik Novia dengan tatapan penuh tanda tanya.
Wajah Novia memerah padam. Ia merasakan tatapan prihatin, atau mungkin penasaran, dari ibu-ibu lain. Ini sungguh memalukan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak di depan umum. Novia buru-buru mengambil beberapa sayuran, membayarnya dengan cepat, dan bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sepanjang perjalanan pulang, air mata Novia tak bisa lagi dibendung. Hati Novia sakit sekali. Ia merasa dunianya runtuh. Ia tidak hanya menghadapi tekanan di rumah, tapi kini juga harus menanggung malu di depan tetangga. Pikirannya kalut. Mengapa ia harus melalui semua ini?