Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menolak mati
Langit di atas taman kota mendadak mendung. Angin berembus dingin, menusuk kulit seperti kabar duka yang tertunda. Di bawah rerimbunan pohon beringin tua yang dulu adalah halaman belakang rumah keluarga Suryati. Suasana menjadi ganjil. Burung-burung tak berkicau. Anak-anak yang tadinya bermain perlahan menjauh, mengeluh merasa pusing, takut, dan mual.
Di tengah taman itu, berdiri Suryati. Wajahnya pucat namun penuh semangat. Ia mengenakan kebaya hitam, rambutnya digelung ketat, dan di tangannya tergenggam seikat bunga kantil dan secarik kain kafan yang telah menguning.
Wanita itu segera menuju pohon besar di sudut taman. Ia mengeluarkan sebuah belati kecil dan mulai menggali
Di bawah pohon itu, tanah telah digali. Bukan dalam, hanya cukup untuk menanamkan sesuatu. Ia mengeluarkan buntelan kain berisi potongan rambut, darah kucing hitam, dan abu dupa dari sisa-sisa pembakaran foto ibunya. Benda-benda tersebut kemudian dimasukan dalam lubang yang sudah digali nya.
“Bangkitlah Bu, Aku membawakan pengganti. Mereka sudah datang, tubuh-tubuh baru...” ucapnya lirih
Mantra-mantra kuno meluncur dari mulutnya. Udara mengalir semakin dingin. Pepohonan bergemerisik tanpa angin. Di tengah-tengah itu, terdengar suara langkah kaki, pelan, menyeret, seolah tulang dan sendi sudah lama tak digunakan.
Dari balik semak taman kota, seseorang gadis berjalan perlahan. Rika, gadis itu berjalan mendekati Suryati.
Wajahnya kusut, mata cekung, dan rambut panjangnya awut-awutan. Tapi kali ini, ia tidak berbicara sendiri. Ia terlihat normal meskipun dengan penampilan yang acak-acakan.
Tatapannya lurus menembus tubuh Suryati. Ia menatap dengan sadar, bukan seperti wanita yang hilang kewarasan.
Ingatannya akan wanita itu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya.
Wajahnya begitu familiar, walupun Suryati tampak keriput dan lebih kurus.
“Aku sudah melihatnya, wanita itu??" katanya pelan
“Kamu sedang menggali neraka dari akar pohon ini.” imbuhnya sinis
Suryati menoleh menatap sinis kearah gadis itu.
Suryati mendengus, “Kenapa kamu masih hidup, seharusnya kamu mati di sana bersama mereka.” tandas Suryati dengan tatapan penuh kebencian
“Seharusnya memang begitu. Tapi kamu lupa kalau Tuhan lebih berkuasa. Meskipun kamu bersikeras untuk menumbalkan aku, tapi jika aku belum ditakdirkan mati, maka aku akan tetap hidup. Kamu tahu Prayitno???"
"Darah kami sama. Dan darah itu menolak ikut tumbal.” jawabnya
Suryati tersenyum licik mendengar jawaban gadis itu.
"Jangan terlalu bangga dulu cah ayu, sebentar lagi aku akan mengantarmu kembali ke dunia kegelapan," Suryati menyeringai
Tiba-tiba, di belakang Rika, sesosok bayangan muncul. Samar, tembus pandang, namun jelas wajahnya, Prayitno.
Tubuhnya kurus, lusuh, tapi mata itu masih menyala dengan semangat yang dulu pernah menolak mati. Meskipun kini ia tidak bisa menyentuh dunia secara fisik, tapi keberadaannya cukup kuat untuk memengaruhi jiwa-jiwa yang belum hancur.
“Berhenti, Suryati,” kata suara parau Prayitno.
“Ibumu sudah cukup menelan banyak nyawa. Jangan tambahkan lagi.”
Suryati menatap sosok itu dengan ketakutan. “Kamu, kamu seharusnya sudah menjadi debu. Kenapa kamu kembali?”
“Karena aku tidak menolak menjadi tumbal. Sama sepertimu, Aku juga punya ikatan di tempat ini. Tapi bedanya, aku tak menuntut tumbal tapi aku akan membebaskan jiwa-jiwa yang sudah menjadi tumbal dan menyelamatkan mereka yang akan dijadikan sebagai tumbal,” jawab Prayitno
Rika mulai maju, menarik seutas benang merah dari kantong bajunya. Benda bekas warisan dari salah satu dukun tua yang dulu menolongnya. Benang itu katanya bisa menghentikan roh jahat jika diikatkan ke akar pohon yang pernah dipakai ritual. Ia mendekati pohon besar itu.
Gadis itu sengaja memanfaatkan kedatangan Prayitno untuk mengalihkan perhatian Suryati. Tangannya gemetar, tapi niatnya jelas.
Namun sebelum ia sempat mendekat, tanah di bawah pohon beringin membelah. Dari dalamnya keluar bau busuk dan asap hitam. Sesosok mayat, yang seharusnya sudah hancur, muncul perlahan. Kulitnya mengelupas, namun matanya terbuka. Mariani.
Rika melotot menatap sosok mengerikan di depannya.
“Ibu...” ucap Suryati dengan napas tercekat.
“Kau kembali... seperti dulu...” ia tersenyum menatap sang ibu.
Tapi Mariani tak menjawab. Mulutnya hanya membuka dan menutup, mengeluarkan bunyi seperti lolongan binatang. Tangan kirinya menunjuk ke arah Rika. Tangannya yang lain menengadah, seolah meminta korban baru.
Rika segera mundur.
Prayitno bergerak cepat, ia tahu makhluk itu menginginkan Rika. Ia berlari dan segera berdiri di antara Rika dan Mariani. Walau tubuhnya tak padat, kehadirannya membuat Mariani goyah. Sosok mayat hidup itu menggeram keras, namun mundur selangkah saat melihatnya.
“Kamu tak bisa menyentuhnya,” ujar Prayitno tegas.
“Darahnya bukan untukmu.” imbuhnya
Suryati histeris.
“Kau menghalangi ibu! Dia butuh tumbal agar kekuatannya tetap hidup!”
Ia berusaha menyingkirkan Prayitno. Namun sayangnya ia tak bisa menyentuhnya.
“Tumbal? Kekuatan?” balas Rika dengan suara gemetar.
Wajahnya seketika memucat. Ketakutan terlihat jelas di wajah gadis itu.
“Kamu menyebut nyawa manusia sebagai kekuatan?” imbuhnya
Ia lalu menjatuhkan benang merah ke akar pohon dan menancapkan paku keramat dari kantong lain.
Paku peninggalan dukun asli dari desa tua yang sudah dibinasakan keluarga Suryati.
Begitu paku tertancap, pohon beringin mengerang. Ya, mengerang seperti manusia. Ia kesakitan, merintih dengan suara yang memilukan.
Asap hitam dari lubang menggulung, lalu tersedot masuk kembali. Mariani yang sudah bangkit menggigil keras dan pecah seperti tanah liat. Tubuhnya runtuh jadi debu, dan angin langsung meniupnya hingga lenyap.
Suryati berteriak sekencang-kencangnya. Ia merangkak, berusaha mengambil kembali kain kafan, darah, apapun yang tersisa. Namun semuanya sudah hangus terbakar oleh api gaib yang muncul dari dalam tanah.
Ia menangis histeris. Usahanya sia-sia. Ia menatap Rika dengan tatapan penuh kebencian.
"Dasar anak durhaka!" teriaknya
Prayitno menatapnya lama, lalu mendekat ke arah Rika yang masih ketakutan.
“Terima kasih,” katanya lirih.
“Bukan untukku saja, tapi untuk semua yang mereka rampas jiwanya. Kamu telah membebaskan mereka semua,”
Rika hanya bisa menunduk, menahan air mata. Ia telah lama menanggung rasa bersalah, berpikir bahwa dirinya lemah karena memilih melarikan diri dari keluarga.
Tapi ternyata, ia adalah kunci terakhir yang bisa memutus kutukan turun-temurun itu.
Langit yang mendung perlahan cerah. Awan hitam menghilang berganti langit biru yang cerah.
Suara anak-anak kembali terdengar di kejauhan. Burung kembali terbang di langit. Taman itu kembali menjadi taman, bukan lagi sisa rumah kutukan.
Rika tersenyum sejenak, menatap anak-anak yang berlarian memasuki taman.
"Mereka bahagia," ucapnya dengan senyum sumringah
Dan Prayitno?
Ia tersenyum.
"Benar, kamu sudah membawa kebahagiaan untuk mereka," tandasnya
Lalu perlahan tubuh Prayitno menghilang, seolah ia akhirnya bisa pulang, bukan ke dunia, tapi ke kedamaian yang selama ini ia tunggu.
"Apakah dia mati??"
jd ngeri