"Nala katakan pada bibi siapa ayahnya?" bagai disambar petir bagi Nala saat suara wanita paruh baya itu terdengar "maksud bibi apa?" tanya Nala dengan menenangkan hatinya yg bergemuruh "katakan pada bibi Nala !! siapa ayah bayi itu?" lagi - lagi bibi Wati bertanya dengan nada sedikit meninggi. "ini milikmu kan?" imbuhnya sambil memperlihatkan sebuah tespeck bergaris 2 merah yang menandakan hasil positif, Nala yang melihat tespeck itu membulatkan matanya kemudian menghela nafas. "iya bi itu milik Nala" ucapnya sambil menahan air mata dan suara sedikit bergetar menahan tangis "jala**!! tidak bibi sangka dirimu serendah itu Nala" jawab bi Wati dengan mata berlinang air mata "katakan padaku siapa ayah dari bayi itu?" tanya bi Wati sekali lagi. nala menghembuskan nafas berat kemudian bibirnya mulai terbuka "ayahnya adalah" baca kelanjutan ceritanya langsung ya teman - teman happy reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukapena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran keras untuk Nala
Setelah dirasa hatinya mulai tenang dan moodnya sudah mulai kembali membaik, Nala merapikan wajahnya dan mandi setelah itu segera menuju dapur rumah utama untuk membantu bi Wati membuat sarapan.
"Apa yang belum bi ?" tanya Nala kepada bi Wati yang saat ini sedang membuat tumis daun pepaya kesukaan nyonya Vanya "apa tuan Gavin sudah kau buatkan Kopi ?" Nala lupa jika rutinitasnya setiap pagi pasti membuatkan tuan Gavin kopi "aku lupa membuatnya" jawab Nala tidak bersemangat.
"Buatkan dulu nanti setelah itu tata dengan rapi makanan yang ada di meja pantri ke meja makan ya" perintah bi Wati dengan lembut dan tersenyum agar suasana hati Nala semakin membaik, Nala tersenyum sambil mengangguk dan kakinya mulai berjalan mengambil cangkir kopi milik Gavin.
saat Nala sudah selesai membuat kopi dia menata dengan rapih masakan yang telah bi Wati masak untuk sarapan, sembari menuangkan air putih untuk nyonya Vanya dan tuan Rendra.
"Pagi Nala" sapa nyonya Vanya kemudian mengelus kepala Nala dengan sayang seperti seorang ibu terhadap anak gadisnya "pagi nyonya Vanya" sapa kembali Nala kepada nyinya Vanya "kapan kau akan pergi dari rumah anakku ?" pertanyaan itu keluar dari mulut oma Latisia.
"setelah aku wisuda nanti nyonya" jawab Nala dengan sedikit serak, moodnya belum seratus persen membaik membuatnya kembali ingin menangis, Nala kemudian diam dan kembali ke dapur.
"Devan bagaimana keputusanmu ? apa kau akan memimpin anak perusahaan papamu yang ada di Belgia ?" suara Opah Daniel terdengar dan Devan menghentikan suapannya mencernah tiap kalimat yang opah Daniel ucapkan.
"Aku belum berminat opah" jawaban Devan membuat papa Rendra menghentikan aktifitas sarapannya, dan memandang Devan dengan wajah dinginnya.
"Jadi kau lebih memilih menjadi pengangguran seperti saat ini daripada mengurus anak perusahaan papa yang ada di Belgia ?" tanya papa Rendra membuat Devan menghela nafasnya.
"anak papa bukan hanya aku, kenapa aku yang papa paksa untuk mengurus bisnis papa" Sanggah Devan dengan sedikit nada tak suka, pasalnya dia sangat malas jika harus membicarakan masalah penerus bisnis papanya.
setelah sarapan pagi yang tegang itu Devan pergi entah kemana, sedangkan Gavin terbangun dari tidurnya melihat jam yang berada diatas nakas tempat tidur menunjukkan pukul 9 pagi.
Gavin bergegas untuk membersihkan diri dan akan pergi ke rumah sakit untuk melakukan operasi, tetapi sebelum dia pergi ke rumah sakit dia sempatkan untuk sarapan pagi yang sudah sangat terlalu siang jika dikatakan untuk sebuah sarapan.
Gavin turun dari kamarnya yang berada di lantai dua menuju ruang makan, disana sudah ada bi Wati yang ingin membereskan sisa makanan yang masih ada untuk di simpan "Tuan ingin sarapan ?" tanya bi Wati kepada Gavin dan mendapat anggukkan dari Gavin.
"apa perlu bibi hangatkan kembali tuan untuk sayur dan kuahnya ?" tanya bi Wati kembali "tidak perlu bi, begini saja cukup" setelah bi Wati mendapat jawaba dari Gavin barulah bi Wati mulai menuangkan segelas air pada gelas kosong samping Gavin.
"dimana kopiku ?" seperti biasa Gavin menanyakan keberadaan kopi paginya, karena dirinya pasti akan meminum kopi itu sebelum pergi ke rumah sakit agar saat membedah pasien di ruang operasi nanti tidak membuat dirinya mengantuk.
Gavin tidak melihat keberadaan Nala setelah pembicaraan mereka tadi pagi, membuat Gavin merasa bersalah mengingat tatapan mata Nala yang mengisyaratkan bahwa hatinya sangat terluka oleh ucapanya.