Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Keheningan di antara mereka terasa begitu hangat dan tidak canggung sedikitpun. Suara napas yang terdengar samar di antara jeda percakapan seolah mengisi ruang kosong yang telah lama tertinggal.
"Ehem… Besok… apakah kau ada waktu luang?" tanya Daniel, suaranya sedikit ragu.
Mia mengerutkan alis, nada suaranya lembut dan penuh tanya.
"Hm? Ada apa?"
Ada jeda sebentar sebelum suara Daniel terdengar lagi, kali ini ia menjawab dengan lebih mantap.
"Aku mendapatkan dua tiket konser. Apakah kau ingin pergi bersamaku?"
Mia terdiam. Ia tidak langsung menjawabnya, lalu matanya menatap langit-langit kamar, membiarkan tawaran itu berputar di dalam pikirannya. Tanpa sadar, ia mengangguk kecil meskipun Daniel tidak bisa melihatnya.
"Baiklah. Aku akan pergi denganmu."
Hening. Tak ada respons dari seberang.
Tapi tiba-tiba..
BRAK!
Suara benda jatuh terdengar jelas dari ujung telepon.
"Daniel?" Mia panik. "Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"
Lalu terdengar suara Daniel yang penuh dengan semangat, hampir seperti teriakan diseberang sana.
"AH! Aku sungguh tidak menyangka kau akan menujuinya! padahal tadi aku sangat yakin kalau kau akan menolaknya tadi!"
Mia terkekeh pelan. Suaranya mengalir dengan lembut.
"Aku juga ingin bersenang-senang. Sudah lama sekali aku tidak pergi ke konser."
Daniel, masih terbawa suasana bahagia, lalu berbicara dengan cepat.
"Konsernya dimulai pukul empat sore. Bagaimana kalau kita bertemu pukul satu? Kita bisa makan siang terlebih dahulu nanti."
Mia mengangguk pelan.
"Baiklah. Sampai bertemu di lokasi pukul satu."
"Sampai jumpa, kelinci kecil." ujar Daniel lembut sebelum telepon diputus.
Layar ponsel kembali gelap, tapi Mia masih menatapnya, senyum tipis tak kunjung lepas dari wajahnya. Hatinya tiba-tiba menghangat, sebab panggilan singkat itu membuka jendela kenangan yang selama ini tertutup dengan rapat.
"Dulu… dia bahkan tidak bisa berbicara satu kalimat pun tanpa terbata-bata di hadapanku..." gumamnya, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Kilasan masa lalu melintas cepat di dalam benaknya, saat itu, seorang remaja laki-laki dengan rambut acak-acakan berdiri kikuk di depan kelasnya dan memegang setangkai bunga mawar merah muda, wajahnya memerah hingga ke telinganya.
"Aku… aku menyukaimu Mia!" ucap Daniel muda dengan lantang. "Aku ingin semua orang tahu!"
Mia tersenyum setelah mengingat masa itu. Ia membaringkan tubuhnya di kasur, lalu menarik selimut hingga ke dada. Matanya perlahan terpejam, namun bibirnya masih melengkung dengan lembut.
"Dan… sejujurnya, aku juga merindukanmu." bisiknya lirih, tepat sebelum ia tenggelam dalam mimpi-mimpi yang terasa sedikit lebih manis malam ini.
-⬤-
Cahaya matahari menyusup masuk melalui sela-sela jendela besar di ruang tamu, memantulkan kilau lembut di lantai marmer yang mengilat. Dari arah tangga terdengar langkah pelan dengan pasti. Mia Lee menuruni anak tangga satu per satu, ia mengenakan hoodie krem yang tampak nyaman dan celana jeans kasual. Penampilannya jauh berbeda dari kesehariannya yang selalu formal dan terlihat rapi.
Seorang wanita paruh baya yang tengah membersihkan vas bunga di sudut ruangan menoleh kearahnya dan terperangah.
“Nona muda Mia?” suara Bibi Im terdengar cemas dan penuh tanya. “Anda… tidak memakai jas hari ini? Apakah Anda hendak pergi ke suatu tempat?”
Mia mengangguk pelan, senyum kecilnya tersungging di sudut bibirnya.
“Aku hanya ingin lebih santai hari ini, Bibi.”
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia melangkah menuju pintu utama dan berjongkok untuk mengambil sepatu sneakers putih kesayangannya. Namun sebelum ia sempat mengenakannya, suara langkah kaki berat terdengar dari arah dapur. Paman Jack, pelayan setia keluarga Lee, muncul sambil membawa nampan berisi teh.
“Nona muda,” ucapnya seraya menatap Mia dari kepala hingga kaki, ekspresinya tampak bingung. “Anda hendak pergi ke mana dengan pakaian seperti itu?”
Sambil menunduk dan mulai mengikat tali sepatunya, Mia menjawab dengan nada yang ringan,
“Aku akan pergi ke konser… bersama seorang teman, Paman.”
Paman Jack menyipitkan matanya. Ia mengerutkan dahi seolah mencoba mengingat sesuatu.
“Teman? Apakah itu… Tuan muda Daniel? Yang kita temui waktu itu di rumah sakit?”
Mia berhenti sejenak sebelum menjawabnya.
“Iya, Paman.”
Paman Jack tampak gelisah. Ia meletakkan nampan di meja terdekat lalu melangkah mendekati Mia.
“Nona…” ujarnya ragu, “setahu saya, Tuan Daniel dahulu sangat mengejar-ngejar Anda. Bagaimana jika suami Anda tahu? Dia pasti akan marah padamu.”
Ucapan itu membuat Mia terdiam. Tali sepatunya sudah terikat dengan rapi, namun ia belum juga berdiri. Matanya menatap kosong ke lantai, dan dalam sekejap, aura hangat yang sempat menyelimutinya berubah menjadi dingin.
Dengan suara datar namun menyayat hati, ia pun menjawab,
“Dia tidak peduli padaku, Paman. Jadi… mengapa dia harus marah dengan siapa aku pergi?”
Kalimat itu menggantung di udara. Paman Jack hanya bisa menundukkan kepala, tidak sanggup untuk membalasnya. Ia tahu, ada luka di dalam kalimat itu.
Mia akhirnya berdiri. Tangannya meraih kunci mobil yang tergantung di dinding dekat pintu. Ia tidak menatap siapa pun, namun suaranya terdengar pelan.
“Jangan menungguku pulang. Aku akan kembali pulang di malam hari.”
Lalu, tanpa menoleh, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Angin siang yang sejuk menyambutnya, mengibaskan ujung rambutnya dengan pelan, seakan dunia di luar lebih bersedia mendengarkan kesunyiannya dibanding rumah besar yang penuh formalitas ini.
***
Udara terasa begitu sejuk meski kerumunan mulai memadati area depan gedung konser yang menjulang sangat megah. Langit hari ini begitu cerah, namun anginnya membawa aroma khas musim gugur yang terasa begitu menenangkan. Di sisi kiri pintu masuk utama, seorang pria muda berdiri di bawah patung logam besar berbentuk alat musik.
Daniel menatap sekeliling dengan gelisah. Sesekali ia merapikan rambutnya yang sudah cukup rapi sebenarnya, lalu ia membetulkan kerah jaketnya hanya untuk mengulanginya beberapa detik kemudian. Jemarinya sibuk menggenggam tiket konser yang sedikit kusut karena terlalu sering ia remas.
"Apakah aku datang terlalu cepat?" gumamnya pada dirinya sendiri. Suaranya sangat pelan, nyaris tidak terdengar di tengah hiruk pikuk lokasi itu. "Tapi... lebih baik menunggu daripada terlambat, kan?"
Ia membuka lipatan tiket itu sekali lagi, lalu menatapnya sambil tersenyum lemah, senyuman yang penuh dengan harapan, namun juga diselimuti kegugupan.
"Semoga dia benar-benar datang..." bisiknya, nyaris seperti doa yang ia panjatkan kepada semesta alam.
Namun sebelum sempat ia kembali diliputi rasa keraguan itu, suara lembut datang dari belakangnya, begitu hangat, tenang, dan sangat ia kenali.
“Daniel.”
Daniel sontak menoleh. Matanya melebar dalam keterkejutannya, lalu ia terdiam beberapa detik, seakan waktu telah berhenti sejenak.
Mia berdiri beberapa langkah darinya. Ia mengenakan hoodie berwarna krem lembut dan celana jeans yang sederhana. Rambutnya dibiarkan tergerai, diterpa angin sore yang menambah kesan alami pada sosoknya. Senyuman kecil pun terukir di wajahnya.
“Kelinci kecil… K-Kau benar-benar datang?” Daniel tergagap saat berbicara, ia tidak percaya dengan pemandangan yang ada di hadapannya.
Mia tersenyum, lalu ia melangkah pelan mendekat ke Daniel.
“Tentu saja. Bukankah aku sudah mengiyakannya semalam?”
Daniel terdiam sebentar, lalu buru-buru ia membetulkan kembali letak jaket dan rambutnya. Namun karena rasa gugup, gerakannya tampak canggung dan begitu berlebihan, membuat beberapa orang yang lalu-lalang menoleh heran ke arahnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia sambil terkekeh pelan. “Kau terlihat seperti orang yang sedang mengalami krisis hidup, Daniel.”
Salah seorang pengunjung yang lewat bahkan berbisik kepada temannya sambil menahan tawa,
“Lihat itu. Orang itu berbicara sendiri sambil melompat-lompat.”
Daniel menundukkan kepala merasa malu dan wajahnya memerah. Namun sebelum ia bisa membela diri, Mia sudah berdiri di sampingnya. Kemudian menepuk lembut lengan Daniel dan berbisik.
“Ayo. Sebelum semua orang meyakini kalau kau benar-benar tidak waras.”
Mereka tertawa bersama. Tawa yang begitu sederhana, namun terasa hangat di tengah dinginnya hari itu. Daniel menggaruk tengkuknya, lalu tersenyum dengan lebar.
“Maaf… Aku hanya terlalu senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapnya jujur, nada suaranya bergetar ringan.
Mia menatapnya dengan sorot teduh. Senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya berkata lebih dari apa pun.
“Aku juga senang bertemu denganmu, Daniel.”
- Di Dalam Aula Konser -
Lampu-lampu panggung menari di udara, membelah gelapnya ruangan dengan warna-warni yang memikat penonton. Musik meledak dari speaker, memenuhi setiap sudut aula dengan dentuman yang membakar rasa semangat. Sorak-sorai penonton pun bergema, menciptakan atmosfer yang begitu semarak.
Namun di tengah kegembiraan itu, Mia hanya duduk diam. Tubuhnya sedikit bergerak mengikuti irama lagu itu, tetapi tatapan matanya tampak kosong.
Lagu pertama telah berakhir dan tepuk tangan penonton yang membahana, memenuhi udara dengan semangat yang menggema diruangan. Semua orang pun bersorak. Tapi Mia hanya mengedipkan matanya pelan, lalu pipinya terasa dingin.
Ia mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya, pipinya terasa basah karena air mata, dan Mia terkejut.
"Kenapa… aku menangis?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Daniel yang duduk di sampingnya dengan cepat menyadari perubahan ekspresinya. Tanpa banyak bertanya, ia merogoh saku jaketnya dan mengulurkan selembar tisu kepada Mia.
“Kelinci kecil… kau menangis?” tanyanya dengan lembut.
Mia tersenyum samar dan menggelengkan kepalanya. Ia menerima tisu itu dan mengusap air matanya dengan perlahan.
“Aku hanya… teringat sesuatu,” ucapnya pelan, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Daniel ingin merespons, tetapi tiba-tiba pandangannya tertarik ke arah barisan paling depan. Gerak tubuhnya menegang seketika, lalu matanya membelalak.
"Tidak mungkin…" pikirnya, detak jantungnya berubah liar. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan untuk memperjelas pandangannya.
Duduk di barisan terdepan, tepat di dekat panggung, terlihat sosok yang sangat ia kenali, Christopher.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, di sampingnya adalah... Lusy.
Daniel membeku. Napasnya tercekat. Lusy bersandar lembut di bahu Christopher, lalu tertawa kecil sambil berbisik di telinganya. Christopher membalas dengan senyum hangat, lalu mengusap pipi Lusy dengan sentuhan yang terlihat intim.
Genggaman tangan Daniel mengepal erat. Matanya kembali menatap Mia yang masih sibuk menenangkan dirinya.
Tanpa banyak berpikir, Daniel berbalik padanya.
“Kelinci kecil,” katanya cepat dan tegas. “Aku baru ingat. Ada hal penting yang harus aku urus. Ayo kita keluar sekarang, ya?”
Mia menatapnya dengan raut bingung.
“Hah? Tapi konsernya baru dimulai—”
“Ayo.” Daniel berdiri, suaranya terdengar lebih seperti perintah. “Kita harus pergi sekarang.”
Mia tak sempat menanyakan apa pun lagi. Ia berdiri dan mengikuti langkah Daniel. Namun di dekat pintu keluar, kakinya tersandung anak tangga kecil yang tidak terlihat karena pencahayaan lampu. Lalu tubuhnya sedikit limbung.
“Aduh…” desisnya pelan.
Daniel langsung berhenti dan wajahnya sangat terlihat panik. Namun ia menahan diri untuk tidak langsung menyentuh Mia.
“Kelinci kecil, kau baik-baik saja?” tanyanya cemas.
Mia tetap menunduk lalu merapikan bajunya yang sedikit kusut.
“Aku baik-baik saja. Ayo kita pergi.”
Namun saat Daniel hendak mendorong pintu keluar, dentingan lembut musik berikutnya mulai terdengar. Lagu kedua telah dimulai dan melodi yang jauh terasa lebih tenang. Sebuah lagu dengan nada yang mengandung kenangan.
Langkah Mia terhenti.
Ia berdiri dengan kaku lalu matanya membelalak.
“Lagu ini…” bisiknya pelan.
Ia menutup matanya sejenak. Dan dalam sekejap, memori masa lalu menghantam dirinya. Disaat dia duduk di bangku taman, sambil mendengarkan Christopher menyanyikan lagu itu untuknya. Suara lembut lelaki itu, dan tatapannya yang penuh cinta, angin sore yang menyapu rambutnya... semuanya kembali seperti badai.
Saat Mia membuka mata, ia menoleh ke arah barisan depan. Christopher dan Lusy masih duduk di sana, mereka tertawa dan saling bersandar.
Hati Mia seperti diremukkan dari dalam.
Perlahan, ia berbalik. Tatapannya bertemu langsung dengan mata Daniel, mata yang kini tampak gugup, seolah menyimpan rahasia yang tidak ia ingin Mia ketahui.
Mia tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya memalingkan wajahnya dan dengan cepat melangkah pergi tanpa menunggu siapa pun.
Daniel terdiam sejenak, lalu ia segera menyusulnya.
.
.
.
.
.
.
.
- TBC -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah