Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Yang Tak Diucapkan
Pagi itu rumah terasa berbeda. Bukan karena hujan atau karena aroma kopi yang lebih kuat dari biasanya, tapi karena satu hal yang tak lagi ada: kehadiran Gilang.
Tari bangun sedikit lebih pagi dari biasanya. Ia sempat berdiri lama di depan pintu kamar Gilang semalam—mengetuk pelan dua kali, tapi tak ada jawaban. Pintu itu terkunci. Dan sekarang, mobilnya sudah tak ada di garasi.
Saat turun ke ruang makan, hanya Bu Tirta yang duduk di sana dengan koran dan teh melati.
“Gilang udah berangkat, Bu?” tanya Tari sambil mencoba terdengar santai.
Bu Tirta menurunkan korannya sejenak. “Mungkin lagi banyak pekerjaan.”
Itu saja. Tak ada penjelasan lebih. Tak ada embel-embel. Dan itu membuat Tari bertanya-tanya: apa Gilang sedang menghindarinya?
Sisa hari itu berjalan seperti biasa, setidaknya di luar. Tapi di dalam hati Tari, ada kegelisahan yang tumbuh seperti semak liar. Ia mencoba tetap tersenyum saat memberi arahan pada timnya, tetap profesional saat menghadiri rapat, tapi pikirannya terus melayang pada sosok Gilang.
Apalagi saat mereka bertemu di lorong kantor...
Tari sudah siap menyapa, bahkan sudah menarik napas untuk melempar senyum—tapi Gilang melewatinya begitu saja. Tak ada anggukan. Tak ada pandangan. Seolah mereka adalah dua rekan kerja biasa yang tak pernah berbagi apa pun semalam.
Hatinya mencelos.
Ia coba menyusulnya, menepuk bahunya di dekat pintu lift. “Gilang, kamu... ada waktu makan siang?”
Tapi pria itu hanya mengangguk kecil. “Maaf, aku harus keluar. Ada hal yang harus diselesaikan.”
Lalu pergi.
Tak memberi kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.
Tari berdiri sendiri di depan lift yang tertutup. Lalu menunduk, mengetik pesan:
Tari: Kamu kenapa? Ada yang salah?
Pesan itu hanya centang dua. Tak langsung dibalas.
Setengah jam kemudian, saat Tari sedang menatap spreadsheet di laptop dengan pandangan kosong, ponselnya bergetar.
Gilang: Maaf, aku cuma lagi butuh waktu untuk fokus. Ada beberapa hal yang harus aku urus.
Singkat. Dingin. Formal.
Sore harinya, Tari punya jadwal bertemu dengan salah satu investor yang sudah dijadwalkan Bu Tirta. Namanya Harri. Usianya mungkin tak jauh dari Tari, gaya bicaranya santai, dan ia tidak terlalu kaku seperti kebanyakan orang yang berurusan dengan angka dan bisnis.
Begitu bertemu di lobi lounge kantor, Tari langsung menyadari satu hal: Harri cukup tampan. Tingginya sekitar 178 cm, kulitnya bersih, rahang tegas, dan senyumnya simetris. Ia mengenakan kemeja putih gading yang digulung sampai siku, dan celana abu yang disetrika rapi. Sepatunya mengkilap, dan jam tangan kulit cokelat gelapnya terpasang manis di pergelangan.
"Mbak Tari?" suara Harri terdengar tenang dan bersahabat. Ada nada bariton ringan yang menenangkan.
"Iya, halo. Harri ya?"
"Senang bisa ketemu. Kita langsung ke lounge ya? Saya udah pesan tempat tadi siang."
Mereka duduk di lounge kafe kecil dekat gedung kantor. Tari merasa aneh karena merasa nyaman begitu cepat. Mungkin karena Harri tidak menatapnya seperti menilai, tapi seperti mendengarkan.
"Kamu asli mana, Harri?" tanya Tari sambil menyendok es krim dari affogato-nya.
"Asli Jakarta. Tapi kuliah dulu di Bandung. ITB, jurusan teknik industri. Jadi... paham lah macetnya Dago, dan laparnya anak kost di akhir bulan," kata Harri, tertawa kecil.
Tari ikut tertawa. "Aku juga dari Bandung. Pantas tadi kayak familiar ya, ada aura-aura angkot dan nasi cikur."
Mereka mulai membicarakan kuliner Bandung dengan semangat. Tentang bubur ayam Mang Oyo, seblak pinggir jalan yang pedasnya jahat, sampai kopi di daerah Braga.
"Kamu rencananya full kerja di perusahaan keluarga?" tanya Tari, mulai merasa lebih santai.
"Sementara iya. Tahun depan baru mau lanjut S2. Udah daftar beberapa kampus di Eropa. Tapi sambil nunggu, bantu ayahku dulu ngurus ekspansi distribusi."
Tari mengangguk. "Aku suka gaya kamu. Nggak terlalu formal, tapi tetap tahu arah."
"Dan kamu... jujur aja, lebih santai dari yang aku duga. Dulu aku kira penerus perusahaan kayak kamu itu tipe yang... kaku dan nggak bisa diajak ngobrol soal gorengan."
Tari tertawa lagi, dan untuk pertama kalinya hari itu... Tari bisa tertawa lepas. Ada ruang di antara kalimat Harri yang membuat kepalanya terasa lebih ringan.
Mereka menghabiskan waktu hampir satu jam, tapi terasa seperti lima belas menit. Dan saat mereka pamit, Harri bahkan sempat bilang:
"Kalau kamu kangen Bandung, kabarin ya. Aku tahu tempat makan baso tahu terenak se-Jabodetabek."
Tari hanya tersenyum. Tidak berjanji. Tapi hatinya sedikit lebih ringan.
Namun begitu ia pulang dan membuka pintu kamarnya, semua kegembiraan itu kembali runtuh. Sebab bayangan Gilang masih ada di sana. Dan hatinya tahu, tak semudah itu berpaling dari sesuatu yang pernah hangat... lalu perlahan menjauh.
Tari memejamkan mata. Dalam diam, ia menunggu keajaiban kecil. Entah berupa ketukan di pintu, pesan pendek, atau pelukan yang bisa menjawab semua tanya.
Tapi malam itu, keheningan adalah satu-satunya jawaban yang datang.