Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. DIANTARA TEPUNG
..."Di antara tepung dan diam, dua hati belajar bahwa rasa paling berani bukan dari resep, tapi dari keputusan untuk mencoba lagi."...
...---•---...
Doni berhenti memotong beef bacon. Pertanyaan itu datang begitu saja, tapi entah kenapa terasa tidak terelakkan.
"Tidak pernah. Belum pernah."
"Lima tahun?"
"Lima tahun." Tangannya melanjutkan memotong, seperti butuh sesuatu untuk dikerjakan. "Awalnya karena berduka. Terus karena rasa bersalah. Lalu... takut. Takut kehilangan lagi. Takut membiarkan seseorang dekat, lalu mereka pergi."
"Makanya kamu mengurung diri di dapur. Kerja tanpa henti di restoran."
"Iya. Masakan tidak akan pergi. Tidak akan mati. Aman." Doni meletakkan pisau, menatap Naira. "Sampai kamu."
"Sampai aku?"
"Kamu membuat aku sadar kalau mengisolasi diri itu bukan hidup. Bertahan bukan berarti benar-benar hidup." Doni berjalan mendekat, hanya meja dapur yang memisahkan mereka. "Kamu membuat aku ingin merasakan lagi. Ambil risiko lagi. Peduli lagi."
Naira berdiri. Kakinya membawanya mengelilingi meja sampai tidak ada lagi jarak di antara mereka.
"Kamu juga melakukan hal yang sama untukku. Kamu membuat aku percaya kalau tidak semua pria itu berbahaya. Kalau rapuh bukan berarti lemah. Kalau mungkin, hanya mungkin, aku bisa cinta lagi tanpa takut kehilangan hidup."
Sekarang mereka berdiri sangat dekat. Hangat tubuh satu sama lain terasa nyata, napas keduanya sedikit tergesa.
"Ini melanggar semua aturan," bisik Doni.
"Bodo amat sama aturan."
"Kontraknya jelas..."
"Kontrak tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini. Di dalam ruangan ini. Antara kita."
"Naira, aku tidak mau kamu nyesel. Kamu baru saja lewat trauma, hormon lagi tinggi, emosi lagi..."
"Doni." Naira menempelkan tangannya di dada Doni. Detak jantungnya cepat di bawah telapak tangannya. "Aku tidak akan nyesal. Yang aku sesali justru kalau kita pura-pura tidak ada perasaan di sini. Kalau kita buang 972 hari lagi cuma buat akting kayak orang asing padahal jelas-jelas bukan."
"Kalau ketahuan, aku bisa digugat. Lima ratus juta. Restoran yang lagi aku selamatkan bisa ambruk lebih parah."
"Maka kita hati-hati. Kita jaga ini antara kita." Tatapan Naira tidak berkedip, tanpa ragu. "Atau... kamu tidak merasakan apa yang aku rasa?"
"Aku merasakan. Aku merasakan dengan intensitas yang menakutkan." Doni menutupi tangan Naira yang masih di dadanya. "Tapi aku tidak mau kamu terluka lagi. Dan dengan situasi kita, peluang buat itu besar banget."
"Hidup itu risiko. Kamu sendiri yang bilang, masak itu juga risiko. Kita tidak tahu hasilnya bakal sempurna atau gagal total sampai kita coba." Senyum kecil muncul di bibir Naira. "Jadi ayo coba. Pelan-pelan. Hati-hati. Di dalam rumah ini, di antara sesi masak dan nasi goreng tengah malam, ayo lihat apa yang bisa tumbuh."
Doni menatap wajah yang beberapa bulan lalu pucat dan hampa, kini hidup lagi dengan warna dan harapan. Pikirannya memutar semua alasan untuk bilang tidak: kontrak, batas profesional, potensi gugatan, melindungi Naira dari dirinya sendiri.
Tapi lalu dia ingat nasi goreng jam tiga pagi. Tawa Naira saat belajar potong bawang. Cara dia menatapnya seperti melihat sesuatu yang pantas dilihat.
Dan dia sadar: kadang, risiko terbesar justru adalah tidak mengambil risiko sama sekali.
"Oke," katanya akhirnya. "Pelan-pelan. Hati-hati. Hanya kita yang tahu."
"Hanya kita yang tahu."
Mereka tidak berciuman. Tidak ada pelukan dramatis. Hanya berdiri di sana, dengan tangan saling menyentuh, dengan janji yang lebih dalam dari sentuhan apa pun. Janji untuk menjelajahi ini, apa pun ini, dengan rasa hormat dan perhatian.
Timer berbunyi. Adonan pasta sudah cukup istirahat.
"Mari kita roll pasta," kata Doni, suaranya sedikit serak.
"Mari kita roll pasta," jawab Naira dengan senyum yang membuat jantung Doni berdebar.
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya membuat pasta bersama. Menggiling adonan dengan mesin, melihatnya berubah dari tebal ke tipis, dari kasar ke halus. Memotongnya menjadi fettuccine lalu menggantungnya di rak seperti tirai keemasan. Kerja mereka selaras, sesekali tertawa saat adonan lengket di jari.
Setelah itu mereka membuat carbonara: beef bacon digoreng sampai renyah, kuning telur dikocok dengan parmesan, pasta direbus al dente, lalu dicampur dengan lemak bacon. Campuran telur dituang saat api dimatikan, diaduk terus-menerus, air rebusan ditambahkan sedikit demi sedikit sampai jadi saus creamy tanpa menggumpal. Aroma gurih memenuhi dapur, uap hangat mengepul dari panci.
Mereka makan di meja dapur. Pasta hangat dengan saus yang lembut dan gurih, beef bacon yang renyah dan asin, keju yang tajam dan nutty. Setiap gigitan terasa seperti keseimbangan sempurna antara rasa dan tekstur.
"Ini," kata Naira sambil memutar pasta di garpu, "carbonara terbaik yang pernah aku makan."
"Karena kamu yang bikin. Dari nol. Dengan usaha dan cinta."
"Dan dengan koki terbaik sebagai guru."
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman. Sesekali mata bertemu dan tersenyum, sesekali tangan bersentuhan dan bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya. Cahaya lampur dapur membuat segalanya terasa hangat, aman.
Dan untuk pertama kalinya sejak keduanya kehilangan banyak hal dalam hidup, mereka merasa: ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Sesuatu yang rapuh, tapi layak dijaga.
972 hari tersisa. Dan tiba-tiba, itu terdengar seperti waktu yang terlalu singkat.
...---•---...
...Bersambung...