Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Ratu Bayangan
Dante menatap dokumen di meja, rahangnya mengeras saat nama itu terpampang di depannya.
Isabella Ricci.
Wanita itu dulunya adalah sekutu—atau lebih tepatnya, kekasihnya sebelum Valeria datang. Isabella menghilang bertahun-tahun lalu setelah mengkhianatinya demi kekuatan. Dan sekarang, dia kembali ke Italia, membawa pasukannya dan ambisi besar: merebut posisi Dante.
Valeria duduk di sofa, memainkan pisau kecil di jemarinya. "Siapa dia?" tanyanya tanpa minat, meski matanya menunjukkan sesuatu yang lain.
"Dulu dia milikku," jawab Dante jujur. "Sekarang dia ingin apa yang kumiliki."
Valeria tertawa kecil. "Berarti dia juga menginginkanku?"
Dante menatapnya tajam. "Kau milikku, Valeria. Dan aku tidak berbagi."
---
Isabella Ricci tidak datang dengan sembunyi-sembunyi. Dia ingin Dante tahu bahwa dia kembali.
Sebuah paket tiba di vila mereka. Di dalamnya, ada kepala salah satu anak buah lama Dante yang telah Isabella tangkap.
Sebuah catatan kecil tertempel di dalamnya:
"Aku pulang, amore mio. Bersiaplah kehilangan segalanya."
Dante mengepalkan tangannya, tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, Valeria sudah berdiri.
"Izinkan aku yang menanganinya," katanya dengan nada dingin. "Aku ingin tahu seperti apa wanita yang cukup bodoh untuk menantang kita."
---
Malam itu, Valeria duduk di balkon, mengamati Dante yang berbicara dengan Luca di ruang kerja. Ia tahu pembicaraan itu serius—tentang Isabella, tentu saja.
Sejak nama itu kembali muncul, Dante terlihat lebih tegang. Bukan takut, tapi Valeria tahu Dante cukup mengenal Isabella untuk memahami betapa liciknya wanita itu.
Namun, ada satu hal yang mengusik Valeria lebih dari segalanya: cara Dante membicarakan Isabella.
“Dulu dia milikku.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Bukan karena ia ragu akan posisinya di sisi Dante, tapi karena ia tahu Dante tidak mudah melupakan orang yang pernah penting baginya.
Valeria mendengus pelan, tangannya memainkan pisau kecil yang selalu ia bawa. Ia membenci perasaan ini. Ia tidak pernah merasa cemburu sebelumnya.
Dia tidak lebih baik dariku. Aku yang sekarang berdiri di sisi Dante. Aku yang menemaninya membunuh, bermain dalam darah, dan menaklukkan dunia. Isabella hanyalah bayangan masa lalu.
Tapi tetap saja… perasaan itu ada di sana, menyesakkan.
---
Saat Dante masuk ke kamar mereka, Valeria sudah duduk di tepi tempat tidur, mengenakan gaun satin merah yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Ia mengangkat alis ketika Dante menutup pintu.
"Kau sibuk sekali akhir-akhir ini," katanya dengan nada santai, meskipun matanya menyala penuh arti. "Merencanakan sesuatu dengan mantan kekasihmu?"
Dante menatapnya lama sebelum tersenyum miring. Ia tahu permainan ini.
"Kau cemburu?"
Valeria mengangkat bahu, berdiri, lalu melangkah mendekat. Ia menelusuri dada Dante dengan ujung jarinya, lalu berbisik, "Seharusnya aku?"
Dante menangkap pergelangan tangannya dengan cepat, menariknya lebih dekat. Matanya tajam, penuh api. "Kau satu-satunya wanita yang bisa mengimbangi aku, Valeria. Jangan pernah ragukan itu."
Valeria tersenyum, tapi ia belum puas. Isabella masih berkeliaran di luar sana, dan selama wanita itu belum dikubur, perasaan ini tak akan hilang.
"Kalau begitu, ayo kita buat dia menyesal telah kembali," bisiknya di telinga Dante.
Dante menyeringai mendengar bisikan Valeria. Ia tahu betul apa maksud wanita itu—Valeria tidak pernah puas hanya dengan kata-kata, ia ingin tindakan.
Dan itu berarti darah.
"Kita akan buat dia menyesal, tesoro," Dante berbisik, mencengkeram dagu Valeria dan menatap matanya yang berkilat penuh gairah dan kebencian. "Tapi jangan terburu-buru. Permainan ini harus dimainkan dengan sabar."
Valeria memutar matanya. "Aku bukan orang yang sabar, Dante."
"Itu yang membuatmu menarik," Dante membalas, menempelkan bibirnya di leher Valeria sebelum berbisik, "Tapi percayalah, aku tahu cara menangani wanita sepertinya."
Namun, Valeria tidak yakin ingin menyerahkan permainan ini sepenuhnya kepada Dante.
---
Isabella menggelar pesta besar di vila mewahnya, mengundang semua tokoh penting dunia bawah. Tentu saja, undangan juga dikirim untuk Dante dan Valeria.
"Kita datang?" tanya Valeria sambil memegang undangan emas itu.
Dante menyandarkan diri ke kursi, menyesap anggur merahnya. "Tentu saja. Akan sangat tidak sopan jika kita menolak."
Valeria tersenyum miring. "Bagus. Aku ingin melihat wajahnya saat dia sadar bahwa dia sudah kalah bahkan sebelum permainan dimulai."
---
Ketika Valeria dan Dante melangkah masuk ke pesta, semua mata tertuju pada mereka. Mereka adalah pasangan yang mustahil diabaikan—Dante dengan auranya yang mengancam, dan Valeria yang seperti angin badai, siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.
Di ujung ruangan, Isabella berdiri, mengenakan gaun hitam panjang yang elegan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh perhitungan.
"Dante," sapanya lembut, suaranya menggoda. "Senang melihatmu lagi."
Tatapannya beralih ke Valeria, menelusuri wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki seolah menilai apakah ia cukup pantas berdiri di samping Dante.
"Dan kau pasti Valeria. Aku banyak mendengar tentangmu."
Valeria tersenyum manis, tapi matanya dingin seperti es. "Bagus. Pastikan kau juga mengingatku."
Dante hanya menonton keduanya.
Valeria tidak terkejut ketika Isabella akhirnya mendekatinya sendirian di balkon vila. Angin malam menerpa wajah mereka, membawa aroma anggur dan tembakau.
"Aku tahu kau tidak akan puas hanya berdiri di sampingnya," Isabella memulai, nadanya tenang tapi penuh perhitungan. "Kita berdua tahu Dante tidak akan pernah membiarkanmu memiliki kekuasaan penuh. Tapi aku bisa membantumu mengubah itu."
Valeria menyeringai, mengangkat gelas sampanye di tangannya. "Menarik. Teruskan."
Isabella mendekat, suaranya hampir berbisik. "Dante sudah terlalu lama di puncak. Kita bisa menggulingkannya bersama, dan kau akan mendapatkan lebih dari sekadar peran sebagai ratunya. Kau bisa menjadi penguasa sejati."
Valeria menyesap sampanye, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara.
"Dan kau?" Valeria bertanya, alisnya sedikit terangkat.
Isabella tersenyum. "Aku hanya ingin melihatnya jatuh. Itu cukup memuaskan bagiku."
Sejenak, Valeria membayangkan kemungkinan itu—kekuasaan mutlak tanpa bayangan Dante di belakangnya. Tapi kemudian, ia juga membayangkan bagaimana Dante akan merespons pengkhianatan. Ia tahu pria itu terlalu cerdas untuk tidak melihat jebakan dari jauh.
"Aku harus memikirkannya," kata Valeria akhirnya, menatap Isabella dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Isabella tersenyum puas. "Jangan terlalu lama, Valeria. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Saat Isabella melangkah pergi, Valeria menatap langit malam, berpikir keras.
Yang tidak diketahui Isabella, Dante telah memperhatikan percakapan mereka dari balik bayangan.
Dante melangkah keluar dari bayangan dengan tatapan tajam. Isabella baru saja akan tersenyum menang ketika Valeria tiba-tiba berbalik dan mengarahkan pisau kecil ke lehernya.
“Hanya aku yang boleh menghabisimu,” bisik Valeria, senyum gilanya muncul seperti racun yang memabukkan.
Isabella membeku, matanya melebar seketika. "Kau bercanda, kan?"
Valeria menekan ujung pisaunya sedikit lebih dalam, cukup untuk meninggalkan goresan tipis di kulit Isabella. "Kau pikir aku membutuhkan bantuanmu untuk menyingkirkan Dante?" Ia terkekeh, lalu menoleh pada pria itu yang kini menyandarkan dirinya ke dinding dengan ekspresi yang begitu sulit ditebak. "Kalau aku ingin menghancurkannya, aku bisa melakukannya kapan saja. Tapi, sayangnya... aku menyukainya."
Dante, yang selama ini hanya diam mengamati, kini tersenyum tipis.
"Kau benar-benar gila," katanya, suaranya rendah dan penuh kekaguman.
Valeria menoleh padanya dengan tatapan berbinar. "Dan kau suka itu, bukan?"
Dante tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. Ia meraih tangan Valeria, menurunkan pisaunya perlahan, tapi bukan karena melindungi Isabella—melainkan karena ia tahu Valeria sudah memenangkan permainan ini.
Isabella melangkah mundur, wajahnya merah padam karena marah dan malu. "Kalian berdua lebih gila dari yang kuduga," desisnya sebelum pergi, meninggalkan mereka dalam keheningan yang penuh ketegangan.
Dante memandang Valeria lekat-lekat, lalu menariknya mendekat hingga bibir mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
"Aku tahu sejak awal," bisiknya, "kau adalah satu-satunya yang benar-benar bisa menghadapiku."
Valeria tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja. Karena kau juga satu-satunya yang bisa menahanku."
Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain—bahkan dalam kegilaan mereka yang paling kelam.