Jangan lupa tinggalkan Jejak,
Tidak disarankan untuk pembaca dibawah umur.
Mengetahui fakta jika wanita yang ditunggunya selama enam belas tahun, telah memiliki anak dari keponakannya, membuat Dimas patah hati, meskipun rasa cintanya begitu besar, tapi dia memilih untuk menyerah, demi kebahagiaan bersama.
Demi menghibur hatinya yang tengah galau, dia berlibur di villa milik keluarganya.
Di tempat berbeda, seorang wanita sedang sibuk menyiapkan acara liburan gratis yang di dapatkan dari tempatnya bekerja.
Sesuatu hal terjadi pada keduanya, sehingga membuat laki-laki itu selalu mengejarnya, dan sang wanita selalu terbuai olehnya, walau seharusnya hal itu tidak boleh terjadi di karenakan wanita itu telah memiliki kekasih..
Apakah Dimas akan mengalami patah hati kedua kali, atau justru berhasil memiliki wanita baru yang dia temui?
P.S. Lanjutan dari cerita sebelumnya berjudul
❤️Pembalasan Atas Pengkhianatan Mu❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar Hotel
Jangan lupa tinggalkan jejak
Happy reading.
Setelah menempuh perjalanan, tak sampai lima jam, Dimas, dan Rumi tiba di stasiun tujuan.
"Teman kamu nggak jemput?" tanya Rumi, keduanya mulai melangkah ke luar stasiun.
"Aku nggak ngomong kalau mau ke sini," Jawab Dimas, lelaki itu menggandeng tangan wanita yang bersamanya.
Mendengarnya, Rumi menghentikan langkahnya, "Terus kita tidur dimana malam ini? Apa kita mau tunggu didalam saja, sampai pagi?" dia menunjuk dengan dagunya, ruang tunggu yang baru saja mereka lewati.
"Kita bisa cari hotel, banyak kok disini." sahut Dimas kembali mengajak Rumi melangkah, dia sudah memesan taksi online, saat masih didalam stasiun.
Hanya beberapa menit menunggu, taksi online datang, setelah memastikan plat, dan wajah pengemudi sesuai yang ada di aplikasi, barulah mereka menaiki mobil tersebut.
"Dulu waktu SMA, kalau mau jalan-jalan ke mall, atau nonton bioskop, aku mesti kesini," kata Rumi saat mobil sedang melaju menuju hotel.
Dimas melihat jalanan yang dilewatinya, berbeda dengan ibu kota, selalu terang dimana-mana dan banyak gedung tinggi, di kota ini hanya ada beberapa, "Memangnya di kampung kamu, enggak ada mall atau sejenisnya?" tanya Dimas heran, sebagai anak yang lahir dan besar di ibu kota, nyaris jarang dia berkunjung ke kota kecil.
"Boro-boro, paling banter kayak supermarket, cuman dua atau tiga lantai aja, pokoknya jauh banget sama Jakarta."
"Aku pernah datang kesini, saat liburan semester sewaktu aku duduk di kelas satu SMA, itu juga karena diajakin Aris," ujar Dimas, "Kami berempat naik kereta dari Jakarta, modal nekad, waktu itu ibu sempat larang, tapi tetap aja aku jalan."
"Tahun berapa itu?"
"Tahun dua ribu tiga akhir,"
Mendengarnya, Rumi langsung menoleh, dia terkejut, "Emang kamu angkatan tahun berapa?" tanyanya memastikan.
"Dua ribu enam, kenapa?"
"Astaga, berarti umur kamu tahun ini?"
"Tiga puluh enam tahun, kenapa emang? kaget ya! Apa tidak keliatan?"
"Aku pikir kamu masih tiga satu, atau tiga dua, kenapa setua itu sih? Kita beda sepuluh tahun dong," ucap Rumi tak habis pikir, "Gue kencan sama om-om," gumamnya pelan.
Dimas terkekeh, dia jelas sudah tau data diri Rumi, sejak kepulangan dari Bali, "Umur hanya masalah angka, tapi secara wajah, bukankah aku terlihat lebih muda, dan jika kamu jalan bersamaku, aku tidak akan membuat kamu malu," katanya membanggakan diri.
Rumi mengiyakan apa yang diucapkan Dimas. Lelaki itu tampan, berpenampilan keren, mempunyai fisik lebih tinggi dan kekar, dibanding lelaki pada umumnya, lalu jangan lupakan, jika Dimas adalah orang dengan finansial berlebih. "Apaan sih? Pede banget," sahutnya sinis.
"Itu kenyataan Dek Bunga Harumi, setiap aku pergi suatu tempat, para cewek-cewek pasti akan melihatku dengan tatapan kagum,"
"Iya deh iya, bapak Dimas yang tertampan, nggak ada lawan, tapi malah di tinggal nikah sama mbak Diandra." sindir Rumi, dia bahkan tertawa cekikikan.
"Kenapa jadi bahas Diandra lagi? Aku udah lupain dia, kenapa kamu bahas lagi?" Dimas mendengus kesal.
"Kenyataannya begitu bapak,"
Dimas memilih tak menanggapi, lebih baik, mencari tau, tentang hotel yang akan dia tempati.
Taksi online berhenti tepat, didepan lobby hotel, setelah membayar ongkosnya, keduanya turun, dan melangkah masuk, menuju resepsionis.
Dimas memesan satu kamar suite room, hal itu sempat diproses oleh Rumi, yang menginginkan kamar terpisah, tentu saja Dimas tak mengindahkan.
Keduanya menaiki lift, tak jauh dari tangga yang melingkar, tepat didepan resepsionis, dan Rumi masih menggerutu dengan keputusan memesan hanya satu kamar.
Suasana cukup sepi, mengingat waktu sudah hampir subuh, keduanya menyusuri lorong usai keluar dari lift, hingga tiba di kamar.
Dimas menempelkan key card, lalu pintu terbuka, dia meletakkannya kartu disisi dinding dekat pintu, dan otomatis lampu kamar menyala.
Kamar lumayan luas, terdapat sofa di sebelah kiri pintu masuk, diatasnya terdapat rak-rak untuk menyimpan buku, serta dibawahnya terdapat set kopi, dan teh, serta bingkisan mini.
Lurus dari sana, terdapat ruang wardrobe, ada dua bath rob tergantung di sana, Rumi dan Dimas meletakan ransel masing-masing di sana.
Dimas melepas Hoodie, dan celana jeans, lalu menggantungnya di sana, menyisakan kaos hitam tanpa lengan, dan bokser berwarna senada, "Kamu atau aku dulu yang bersih-bersih?" tanyanya pada wanita yang tengah mengeluarkan kantong berisi peralatan mandi.
"Kamu dulu aja, aku mau pakai cleanser," sahut Rumi.
Dimas berdehem, lalu berlalu memasuki bath room. Disisi dinding kaca buram, terdapat bathtub cukup besar, yang juga wastafel, disisi kiri, ada toilet, sementara disisi kanan, terdapat kamar mandi basah.
Dimas mulai mengambil sikat gigi yang dibawanya sendiri, dia menatap dirinya sendiri di cermin, bukankah wajahnya tak terlalu tua? Dia juga rutin melakukan perawatan mandiri, dan juga mendatangi klinik langganan, dia juga menerapkan pola hidup sehat, rajin berolahraga, dan makan makanan sehat, hanya saat bersama Rumi dia menjadi pemakan segala.
"Aku tidur di sofa ya," Rumi baru saja menaruh kantung berisi peralatan mandinya, didekat wastafel, dia mulai mengeluarkan sikat, dan pasta gigi.
Dimas yang baru saja menyelesaikan ritual membersihkan gigi, menyadarkan tubuhnya di dinding pembatas kamar mandi basah dibelakangnya, "Kasurnya gede kok, kenapa harus tidur di sofa? Apa kamu sudah lupa, tujuan utama kita liburan bersama?" tanyanya.
Rumi yang sedang menyikat gigi, hanya melirik sekilas, dia lebih menyelesaikan ritual membersihkan giginya. "Aku minta mouthwash kamu, aku lupa nggak bawa," pintanya, dan Dimas mengangguk seraya menunjuk dengan dagunya.
Rumi mencuci muka dengan facial foam yang dibawanya, begitu juga Dimas. Wajah penuh busa dari lelaki disebelahnya, membuat Rumi tertawa, lucu sekali.
"Kenapa kamu ketawa?" tanya Dimas heran, "Apa ada yang lucu?" tanyanya lagi.
Rumi membasuh wajahnya, guna menghilangkan busa diwajahnya. "Aku nggak nyangka, kamu rajin perawatan wajah, aku pikir skin care di apartemen kamu cuman pajangan, pantes aja muka kamu bersih, kayak aktor Korea." jawabnya sembari mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil.
"Awalnya aku juga malas, tapi setelah aku mulai bergabung dengan perusahaan, mbak Dessy meminta aku melakukan segala perawatan, katanya aku sebagai pimpinan harus memiliki wajah rupawan," Dimas baru saja menjemur handuk ditempat yang sudah disediakan.
Rumi melangkah menuju ranselnya, mengambil baju ganti yang akan dipakainya, "Pasti di kantor, cewek-cewek pada ngefans sama kamu?"
Dimas mengambil laptop, dan amplop cokelat cukup tebal, dia membawanya menuju meja kerja disalah satu sudut kamar, dekat ranjang, yang didepannya ada gorden tebal, "Entahlah, aku tak peduli, tapi mbak Dessy sudah memperingatkan padaku agar tak terlibat hubungan percintaan dengan bawahan, maka dari itu, asisten, sekertaris, dan pekerja yang berada satu lantai dengan ruang kerjaku, semuanya lelaki."
Rumi menghentikan langkahnya, dia hendak masuk ke toilet, untuk berganti baju, "Wah, kamu nggak bisa melihat para bawahan kamu yang cantik-cantik dong, kasihan." ejeknya.
Dimas yang baru saja membuka laptopnya, menoleh, mendengar nada mengejek yang ditujukan padanya, "Apa aku belum pernah bercerita, jika setelah aku lulus S2, hanya kamu wanita yang membuatku tertarik, dan setelah bertahun-tahun, aku kembali meniduri wanita."
Bolehkah Rumi bersorak? Tapi dia justru menggeleng tak percaya, "Terserah, aku tak peduli," setelah mengatakannya, Rumi bergegas masuk ke toilet.
Beberapa saat kemudian, Rumi keluar dengan piyama berkancing depan, dengan celana pendek diatas lutut, dia juga menggerai rambutnya, namun dia dikejutkan dengan keberadaan Dimas, yang berdiri, didekat dinding kaca, "Kamu ngapain? Nggak jadi cek kerjaan?" tanya Rumi heran.
"Udah nggak mood, soalnya partner ranjangku, meragukan aku," ujar Dimas yang memindai penampilan wanita dihadapannya, "Kamu kenapa pake dalaman, sebentar lagi juga aku lepas," sambungnya frontal.
Rumi sedikit mendorong, tubuh kekar Dimas, dia melewatinya, melangkah menuju ruang wardrobe, guna meletakan baju kotornya pada kantong laundry.
Dimas mengikutinya, setelah melihat penampilan Rumi dalam balutan piyama, hasratnya mendadak bangkit.
kayaknya seru tuh kalau buat ceritanya
semangat ya aku suka karya mu 😍😍