Rani baru saja kehilangan kakaknya, Ratih, yang meninggal karena kecelakaan tepat di depan matanya sendiri. Karena trauma, Rani sampai mengalami amnesia atas kejadian itu. Beberapa bulan pasca tragedi tersebut, Juna, mantan kakak iparnya melamar Rani dengan alasan untuk menjaga Ruby, putri dari Juna dan Ratih. Tapi, pernikahan itu rupanya menjadi awal penderitaan bagi Rani. Karena di malam pertama pernikahan mereka, Juna menodongkan pistol ke dahi Rani dan menatapnya dengan benci sambil berkata "Aku akan memastikan kamu masuk penjara, Pembunuh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. (REVISI) Kenangan Ratih
Rani terus melangkahkan kakinya tak tau arah. Ketika sadar, ternyata dirinya sudah berada di taman samping rumah. Rani duduk di atas kursi panjang yang ada di sana, lalu menangis sesenggukan.
Rani merasa marah dan juga sedih. Kenapa Juna selalu menuduhnya melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan? Semalam saja Rani sampai menangis ketakutan karena keperawanannya hampir saja direnggut oleh Juna, tapi lelaki itu malah menuduh kalau ia yang menggoda duluan.
Rani menghapus air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. Akhir-akhir ini ia merasa sangat cengeng, sedikit-sedikit menangis. Tapi mau bagaimana lagi? Sikap Juna sudah sangat keterlaluan padanya.
"Kak Ratih.." Rani memanggil nama sang kakak, berharap kakak kandungnya itu akan muncul dan memeluknya. "Kak Ratih dimana? Rani kangen.."
Mengingat nama Ratih membuat tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia terbayang lagi akan separuh ingatannya di hari kecelakaan. Ratih yang berdarah-darah dan dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa.
Puas menangis, Rani menghapus jejak-jejak air matanya dan menghembuskan napas perlahan. Hatinya yang semula berat langsung terasa lega. Sepertinya tangisan memang cukup efektif untuk meringankan beban hidup.
"Astaga!" Rani menjerit saat melihat seorang pria sudah duduk di sampingnya. Itu adalah Pak Budi.
"Pa-pak, sejak kapan bapak duduk di sini?" tanya Rani masih terkaget-kaget. Pak Budi tampak menggaruk tengkuknya sebentar, kemudian ia menyerahkan sebuah sapu tangan pada Rani.
"Maaf Non. Sebenarnya dari tadi saya sudah ada di taman ini. Terus tiba-tiba saya dengar ada suara wanita nangis. Saat saya dekati, ternyata itu Non Rani. Awalnya saya mau menenangkan Non, tapi saya nggak berani. Jadilah saya cuma duduk diam di sini saja. Maafkan saya ya Non," jelas Pak Budi panjang lebar. Rani langsung menutup wajahnya dengan sapu tangan. Ia merasa malu sekali.
"Kalau Non merasa terganggu, saya bisa pergi—"
"Eh, tidak usah Pak Budi," cegah Rani tak enak hati. "Sebenarnya malah saya yang mengganggu pekerjaan Pak Budi. Maaf ya Pak,"
"Ah, tidak kok Non. Saya di sini cuma sekedar bantu-bantu saja. Aslinya saya ini kan supir, tapi karena sudah tua, saya sudah tidak jadi supir lagi. Tapi karena sudah lama mengabdi di sini, sepertinya Tuan dan Nyonya nggak tega memecat saya. Jadi saya mencoba membantu mereka sekedarnya dengan merawat kebun ini,"
"Oh..." Rani menganggukkan kepalanya. Pandangannya mulai beralih pada bunga-bunga yang tumbuh subur di taman itu. Ada banyak sekali bunga yang ditanam di sana.
"Pak Budi rajin ya," puji Rani. "Tamannya bisa seindah dan serapi ini,"
Pak Budi tersenyum. "Bukan saya yang menanam bunga-bunga ini Non. Saya cuma meneruskan merawatnya saja. Yang merawat kebun ini dulunya almarhumah Non Ratih,"
Rani sontak menolehkan wajahnya pada Pak Budi. "Yang benar, Pak? Kak Ratih yang menanam semua bunga-bunga ini?"
Pak Budi menganggukkan kepalanya. "Dulunya kebun ini tandus dan tidak terawat Non. Tukang kebunnya hanya memperhatikan taman di depan rumah saja. Tapi semenjak Non Ratih datang, Non Ratih bilang mau menyulap taman ini jadi taman bunga. Jadilah setiap hari Non Ratih sibuk menanam berbagai jenis bunga dan menyiraminya sampai tumbuh sebagus ini,"
Rani terperangah mendengar cerita dari Pak Budi. Lagi-lagi, Rani merasa kagum dengan kemampuan kakak kandungnya itu. Ia tak menyangka Ratih juga punya bakat dalam berkebun.
Pak Budi kemudian mulai melanjutkan ceritanya tentang Ratih. Rani mendengarkan dengan seksama, dan kadang juga menimpali dengan cerita lain.
"Oh ya, Pak Budi sudah berapa lama kerja di sini?" tanya Rani di tengah-tengah obrolan mereka.
"Hmm.. Sudah lama sekali sih Non. Kalau tidak salah saat saya masuk, Nyonya Lily sedang hamil. Jadi, sekitar 28 tahun?"
"Waw," Rani tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Selama itu? Berarti Pak Budi juga tahu masa kecilnya Kak Juna dong,"
"Ya jelas tahu lah Non," jawab Pak Budi sambil tertawa. "Saya kasih tahu satu rahasia ya. Tuan Juna itu masa kecilnya dimanjakan sekali. Saking manjanya, kelas 6 SD saja masih suka ngompol,"
"Serius Pak?" Rani tertawa. "Huh, pantas saja waktu sudah besar sifatnya jadi jahat seperti itu. Terus Pak, kalau bapak kerja di sini selama itu, anak dan istri bapak ada dimana?"
Pak Budi tersenyum menanggapi pertanyaan Rani. Ia tampak memandang ke arah langit. "Mereka sudah di surga Non,"
"Astaga!" Rani spontan menutup mulutnya. "Maaf Pak, saya nggak bermaksud!"
"Nggak apa-apa Non. Kejadiannya juga sudah lama sekali. Sekarang waktu mengingat mereka lagi saya sudah tidak merasa sedih. Saat ini saya merasa mereka tidak pergi kemana-mana, karena mereka selalu ada di hati saya. Jadi meskipun raga mereka sudah tidak terlihat oleh saya, jiwa mereka tetap terkenang di batin saya. Hari-hari yang saya lalui bersama mereka akan menjadi kenangan indah. Benar kan Non? Seperti halnya Non Ratih. Yang pergi hanya raganya saja, kenangannya tetap di sini kan?"
Rani mendengarkan ucapan Pak Budi sembari ikut menerawang jauh.
"Kenangannya Kak Ratih.." gumam Rani sambil memandang langit yang terlihat biru. Pak Budi memperhatikan majikannya itu dengan tersenyum.
"Kelak, kalau Non Rani merasa sedih lagi, Non Rani kesini saja. Di sini ada banyak sekali bunga-bunga yang dirawat oleh Non Ratih, itu berarti kenangan Non Ratih juga ada di sini,"
Rani memandang Pak Budi ragu. "Memangnya boleh Pak?"
"Kenapa tidak? Non Ratih juga pasti senang melihat adik kesayangannya datang ke sini,"
kalau sudah jatuh baru mengharapkan bini yg sudah di sakiti!
kalau aku ma ya milih pergi!
ttep suka 🤗