Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28
Nisa duduk bersila di karpet ruang tengah. Dua anak sambungnya ada di depan. Berliana tampak antusias menirukan bacaan doa, bibirnya masih cadel tapi cepat menangkap maksudnya. Bilqis justru gelisah, menoleh ke kanan–kiri, mainan kecilnya digenggam erat.
“Ayo, nak, kita ulang lagi doa makan,” bujuk Nisa lembut.
“Aku bosan, Tante. Aku nggak mau belajar doa. Aku mau main aja,” balas Bilqis dengan wajah manyun.
“Sekali lagi saja, nanti boleh main, ya,” ucap Nisa sambil tersenyum sabar.
“Nggak! Aku nggak suka sama Tante!” ketusnya sambil memalingkan muka.
Nisa menghela napas pelan. Ia menoleh ke Berliana yang masih menatapnya penuh semangat.
“Pintar sekali Berliana, coba ulang doanya tadi, sayang” katanya sambil mengusap rambut si kecil.
“Bismillahirrahmanirrahim…” lirih Berliana lancar.
“Masya Allah anak solehah,” imbuh Nisa tersenyum haru.
Berliana tersenyum bangga lalu mengecup pipi Nisa, “Berliana sayang banget sama Mama cantik,” ucapnya polos.
Senyum Nisa merekah walau hatinya sedang sedih. Ia meniup ubun-ubun Berliana sambil membaca doa panjang.
Nisa meniup ubun-ubun Berliana pelan. Bibirnya bergetar lembut membaca doa:
> “Allâhumma anbithâ nabâtan hasanan, waj‘alhâ qurrata ‘ayni liwâlidayhâ, waj‘alhâ min shâlihâtil mu’minîn.”
Lalu ia melanjutkan dengan bahasa Indonesia, suaranya hangat dan lirih:
> “Ya Allah, tumbuhkanlah ia dengan pertumbuhan yang baik. Jadikanlah ia penyejuk mata bagi kedua orang tuanya, dan masukkanlah ia ke dalam golongan anak-anak yang sholehah.”
Sesudah itu Nisa menutupnya dengan doa yang lebih panjang:
> “Ya Rabb, lindungilah dia dari segala keburukan. Lapangkanlah dadanya dengan ilmu, sehatkanlah tubuhnya, cerahkanlah akalnya, teguhkanlah imannya, dan jadikanlah dia anak yang berakhlak mulia, bermanfaat bagi agama, bangsa dan negeri ini.”
Ia lalu meniup pelan di ubun-ubun Berliana, mengusap kepalanya penuh kasih. Berliana mengerjapkan mata lucu, membuat Nisa terkekeh dan hatinya terasa sedikit lega.
Berliana mengerjapkan mata lucu, membuat Nisa terkekeh.
Namun saat ia hendak melakukan hal yang sama pada Bilqis, anak itu malah menjauh.
“Jangan tiup kepalaku! Aku nggak suka, Tante Nisa!” teriaknya sambil mendorong Nisa hingga terjatuh ke karpet.
“Argh!” pekik Nisa pelan, perutnya sedikit kram.
“Mama cantik!” jerit Berliana panik, tangannya gemetaran.
Nisa berusaha bangkit, “Aku nggak apa-apa, sayang, jangan takut,” ujarnya sambil tersenyum tipis menenangkan Berliana yang mulai menangis.
Berliana mendekat, memeluk Nisa erat-erat. Nisa menahan sakit, mengusap kepala anak itu agar lebih tenang.
Bilqis malah semakin ribut. Mainan di tangannya dilempar sembarangan.
“Aku ngantuk! Aku mau tidur! Aku benci Tante Nisa!” katanya keras sambil melempar mainan hingga mengenai kening Nisa.
Prang!!
Bruk!!
“Ah…” rintih Nisa sambil memegangi kepalanya.
Setitik darah mengalir di pelipisnya hingga mengenai ujung hijabnya.
“Bilqis stop! jangan lempar, kasian Mama cantik,” cegah Berliana sambil terisak.
“Aku nggak mau belajar doa! Pergi aja dari rumah ini!” seru Bilqis sambil menghamburkan mainan lagi.
Nisa tetap mencoba mendekat perlahan, “Nak, Tante nggak akan paksa kamu belajar, simpan mainanmu ya, jangan sampai kena adik,” bujuknya lirih.
Bilqis justru mendorongnya lagi. Kali ini Nisa terjatuh ke lantai. Perutnya makin terasa nyeri.
“Mama cantik… kakak jahat,” tangis Berliana yang berjalan tertatih menghampiri.
“Astaghfirullah…” Nisa menahan sakit. “Jangan takut, Mama baik-baik aja,” lirihnya walau wajahnya pucat.
“Berliana jahat! Tante juga jahat! Kamu wanita jahat!” teriak Bilqis histeris.
Tiba-tiba suara berat terdengar dari pintu.
“Bilqis berhenti!” teriak Azhar lantang. Langkahnya cepat masuk ke ruang tengah.
Bilqis kaget lalu berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Azhar langsung berjongkok di depan Nisa.
“Allahu Akbar… apa yang terjadi, Sayangku?” tanyanya panik melihat darah di wajah Nisa.
“Aku nggak apa-apa Mas cuma perutku sedikit sakit,” jawab Nisa terbata-bata.
“Kita harus ke dokter kandungan sekarang. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu dan calon bayi kita,” ucap Azhar cemas.
“Aku… aku kuat, Mas,” cicit Nisa lirih dalam pelukannya.
Azhar memandang Berliana yang menangis di sudut ruangan.
“Berliana, tunggu Papa. Papa antar Mama cantik ke mobil dulu baru gendong kamu,” titahnya lembut.
“Iya Pah…” jawab Berliana kecil.
Azhar mengangkat tubuh Nisa menuju garasi. Ia mendudukkannya di jok belakang.
“Astagfirullah, kenapa bisa wajahmu berdarah, Sayang? Lihat ini…” katanya panik menunjukkan noda darah di jarinya, lupa kalau istrinya fobia darah.
Tubuh Nisa langsung limbung, ia terbaring lemah di jok mobil.
“Mas…” gumamnya sebelum pingsan.
“Ya Allah, istriku! Bangun Sayang. Jangan buat suamimu ketakutan,” ucap Azhar sambil menepuk pelan pipinya.
Berliana mendekat dengan langkah tertatih, “Mama cantik kenapa, Pah? Kok tiduran di mobil?” tanyanya polos.
“Masuk mobil cepat, kita ke rumah sakit sekarang,” pinta Azhar sambil mengangkat Berliana dan mendudukkannya di kursi depan.
Mobil melaju kencang menuju rumah sakit. Azhar berdoa tanpa henti.
“Allahumma rabban-naas adzhibil-ba'sa, isyfi anta asy-Syaafi…” gumamnya berharap istrinya selamat.
Tak lama, mobil berhenti di depan UGD Siloam Hospital Makassar. Azhar menggendong Nisa yang pingsan sambil meminta perawat membantu Berliana.
“Sus, tolong gendong putriku,” pintanya cepat.
“Baik Pak,” balas perawat laki-laki itu sambil mengangkat Berliana.
Azhar terus melangkah masuk ke UGD. Bibirnya tak berhenti membaca doa. Ia sempat mencium perut Nisa sebelum menyerahkan istrinya ke tim medis.
“Allâhumma laa tukhrijnaa illaa min shâlihin…” lirihnya.
Di depan pintu UGD, Azhar mondar-mandir gelisah. Berliana duduk di kursi roda tak jauh darinya. Tangannya menggenggam erat boneka kecilnya.
“Ya Allah, jaga dan lindungi mereka berdua,” gumam Azhar lirih.
Tiba-tiba suara seseorang dari belakang memecah keheningan.
“Calon anak dan istri? Maksudnya apa yang terjadi sama Mbak Dianti, Bang?” tanya suara itu tajam.
Azhar refleks menoleh. Wajahnya mendadak pucat, keringat bercucuran di pelipis.
“A-anu… a-aku itu…” jawabnya terbata-bata.
Azhar berdiri kaku di depan pintu UGD. Telapak tangannya basah, jari-jarinya terus mengusap kening lalu turun ke leher seolah mencari udara.
Dadanya naik turun cepat, napasnya pendek-pendek. Bola matanya liar, bergeser dari pintu ke arah Berliana yang meringkuk di kursi roda.
Keringat kecil membentuk garis di pelipis, turun melewati rahang yang tegang. Gigi-giginya terkatup keras, otot pipinya berdenyut.
Sesekali tangannya mengepal lalu membuka lagi, jemari gemetar menahan panik.
Langkahnya mondar-mandir pendek-pendek. Sepatunya berdecit pelan di lantai rumah sakit, gerakannya terhenti lalu kembali bergerak tanpa arah.
Punggungnya membungkuk sedikit, bahu terangkat kaku seolah sedang menahan sesuatu yang berat.
Matanya berair, pandangannya kosong menembus dinding. Ujung bibirnya sempat bergetar seperti hendak menyebut sesuatu, tapi tertahan.
Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menekan dahi ke punggung tangan seakan mencari pegangan.
Ketika mendengar suara dari belakang, tubuhnya spontan menegang. Bahunya terangkat kaku, lehernya menoleh perlahan seperti orang yang baru saja tertangkap basah.
Wajahnya pucat, garis rahang melemah, pupil matanya membesar. Dia tampak kehilangan arah, telapak tangannya spontan meremas ujung bajunya sendiri, dada naik turun lebih cepat.
Seluruh tubuhnya memancarkan campuran takut, cemas, dan rasa bersalah, walau bibirnya tetap terkatup rapat.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor