NovelToon NovelToon
Kesempatan Kedua Sang Duchess

Kesempatan Kedua Sang Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.2k
Nilai: 5
Nama Author: KazSil

Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.

Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji Yang Tertunda

Matahari hampir mencapai titik tertinggi, teriknya mulai menusuk kulit. Akhirnya Elena diizinkan keluar. Ia memilih gaun sederhana tidak mewah dan tidak berat agar bisa bergerak dengan lebih leluasa. Sebuah jubah bertudung ia letakkan di samping, siap dikenakan kapan saja. Rambutnya disanggul rapi, meski hatinya tak bisa tenang.

“Bagaimana jika dia tidak ada? Sudah lewat dua hari dari janji itu,” pikirnya cemas.

Di depan pintu, lima kesatria bertubuh besar sudah menunggu. Mereka berdiri tegak, masing-masing mengenakan jubah bertudung. Pedang panjang yang tergantung di pinggang menambah kesan kaku sekaligus mengintimidasi.

“Lima orang? Itu berlebihan. Apa gunanya pakai tudung, keberadaan merek saja sudah menarik perhatian? Aku tampak sekecil ini bila berdiri di antara mereka,” gumam Elena dalam hati, menahan helaan napas.

Tidak ada kuda tunggal, tidak ada kusir. Yang tersedia hanyalah kereta besar. Dua kesatria bertugas sebagai kusir, sementara tiga lainnya ikut masuk dan duduk di dalam bersama Elena.

“Sempit sekali…” Elena mengerutkan kening. Ia duduk di pojok, tapi ruang geraknya tetap sangat terbatas. Para kesatria bahkan lebih buruk bahu mereka saling bersentuhan, hampir tidak ada celah untuk bergerak. Meskipun masih bisa menggeser tubuh sedikit, Elena tetap merasa terkekang.

Tatapannya menyapu mereka satu per satu. Wajah-wajah tegang itu menatap lurus tanpa menoleh sedikit pun. Tubuh tegap mereka tetap kaku meski jelas terlihat tidak nyaman.

Perjalanan yang menyesakkan itu akhirnya berakhir ketika roda kereta berhenti berderit. Mereka sudah memasuki kota. Kereta berhenti agak jauh dari tujuan, dan Elena turun lebih dulu. Ia menarik napas lega, lalu merenggangkan tubuhnya yang terasa mati rasa.

Begitu kaki Elena mulai melangkah di jalanan kota, para kesatria langsung mengikuti langkahnya. Mereka berjalan terlalu dekat, seolah bayangan yang menempel tanpa memberi ruang. Dimanapun Elena melangkah, derap sepatu mereka selalu mengiringi.

Elena menoleh sekilas, merasa dadanya sesak. Orang-orang di sekitar menatap dengan heran seorang wanita bertudung dengan lima pria bertubuh besar menempel di belakangnya jelas menarik perhatian.

“Berhenti di sini,” ujar Elena tegas, menghentikan langkahnya.

Para kesatria ikut berhenti, berdiri tegak seperti patung di belakangnya. Salah seorang dari mereka maju setapak, menunduk hormat.

“Maaf, Nyonya. Kami tidak bisa. Ini perintah langsung dari Duke. Kami tidak boleh melepaskan Anda dari pandangan, bahkan sekejap. Nyawa kami taruhannya.”

Elena meremas jemarinya, menahan kesal. “Aku hanya ingin makan beberapa kudapan, lalu membeli sedikit makanan manis, dan segera pulang. Tidak lebih. Kalian bahkan bisa beristirahat untuk makan siang sementara aku masuk. Aku tidak membutuhkan kalian mengikutiku sampai ke meja makan.”

“Maaf, Nyonya,” jawab yang lain, nada suaranya penuh tekanan. “Kami tidak berani mengambil risiko.”

Elena menghela napas keras, kemudian menatap mereka dengan sorot tajam yang jarang ia perlihatkan.

“Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Aku perintahkan kalian menunggu di sini. Aku akan masuk sendirian. Dan jangan khawatir aku tidak akan memberitahukan pada Duke bahwa kalian membiarkanku pergi. Itu janjiku.”

Para kesatria saling berpandangan, wajah-wajah mereka tegang. Keheningan sejenak menggantung.

“Elena menambahkan dengan nada yang lebih rendah, tapi tegas, “Jika kalian masih menolak, aku akan menganggap kalian tidak menghormati perintahku sebagai Duchess. Aku tidak akan mengulanginya dua kali.”

Nada suaranya membuat para kesatria terdiam. Mereka tahu ancaman itu bukan sekadar gertakan. Meski dengan berat hati, akhirnya salah seorang dari mereka menjawab, “...Baiklah, Nyonya. Kami akan menunggu di sini. Namun, mohon jangan lama.”

Elena tersenyum tipis, menyembunyikan ketegangan dalam dadanya. “Aku tidak akan lama. Percayalah.”

Tanpa menoleh lagi, ia melangkah masuk ke jalan kecil tempat toko-toko berderet, meninggalkan para kesatria di belakang.

....

Krincing…

Lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan ketika Elena mendorongnya. Aroma manis gula karamel dan adonan panggang hangat segera menyambutnya. Ruangan itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan kudapan masing-masing.

Tatapan Elena menyapu ke segala arah, penuh harap, namun tak menemukan sosok yang ia tunggu.

“Tidak ada…” gumamnya pelan, hampir seperti desahan kecewa.

Seorang pelayan wanita mendekat dengan ramah, membungkuk sopan.

“Selamat datang. Apakah Anda ingin makan di sini? Silakan duduk di mana saja yang Anda inginkan.”

Elena mengangguk singkat. Ia memilih meja di sudut dekat jendela, duduk dengan rapi, namun jelas kegelisahan terpancar dari gerakannya. Jemari tipisnya tak henti-hentinya saling mengait dan melepaskan.

‘Bagaimana ini… apa yang harus kulakukan jika dia benar-benar tidak datang? Atau… mungkin dia sudah menunggu sejak kemarin dan mengira aku mempermainkannya?’ pikirnya. Napasnya tercekat, perasaan bersalah bercampur takut terus menghantui.

Tiba-tiba, sebuah suara dalam namun tenang terdengar di hadapannya.

“Bukankah Anda yang tidak menepati janji yang telah anda buat, Nyonya?”

Elena sontak menoleh.

Di sana berdiri seorang pria dengan tongkat kayu itu, wajahnya tersembunyi sebagian oleh tudung jubah. Tatapannya tajam, namun tidak kasar justru penuh perhitungan.

“Ah…” Elena tertegun, seolah dunia di sekitarnya menghilang. Itu benar-benar dia.

Pria itu menarik kursi dan duduk di hadapannya, gerakannya tenang namun penuh wibawa. Suaranya terdengar rendah, hanya cukup bagi Elena untuk mendengar.

“Sepertinya Anda sedang diawasi. Bukan begitu?”

Sekilas Elena menoleh, matanya menyapu ruangan. Ia tidak melihat siapa pun yang mencurigakan, tapi jantungnya berdetak lebih cepat.

“Pura-puralah tidak menyadarinya,” ucap pria itu lagi, tenang, seolah sudah terbiasa.

Elena mencoba mengendalikan ekspresinya, menunduk sedikit agar tidak menarik perhatian. Meski demikian, rasa takjub tak bisa ia sembunyikan.

‘Benar… para kesatria itu pasti tetap mengawasi meski tidak ikut masuk. Tapi… bagaimana dia bisa menyadarinya begitu cepat?’

Ia kembali menatap pria itu. Wajahnya memang sengaja diarahkan membelakangi jendela, membuat para kesatria yang mungkin mengintip dari luar tidak bisa mengenali siapa dirinya.

Senyum samar muncul di bibir Elena.

‘Seperti yang kuduga… ia bahkan bisa menyiasati pengawasan para kesatria terlatih Mervyn. Sepertinya… aku tidak salah pilih.’

Elena menegakkan tubuhnya, menatap pria itu tanpa ragu. Tatapannya tidak lagi sekadar cemas, tapi mantap.

“Apakah sudah ada jawaban,” suaranya terdengar jernih, meski rendah, “dari pertanyaan yang aku berikan padamu waktu itu?”

Pria itu berhenti sejenak, ujung bibirnya terangkat samar. Tatapannya seperti sedang menimbang-nimbang Elena, seolah ingin mengujinya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

“Sepertinya Anda sedang terburu-buru, Nyonya.” Nada suaranya terdengar ambigu antara ejekan halus atau sesuatu yang lain.

Elena menahan senyum tipis, lalu condong sedikit ke depan. Suaranya rendah tapi berwibawa, setiap kata mengandung ketegasan yang membuat pria itu berhenti bermain-main.

“Waktu bukanlah sesuatu yang bisa aku buang begitu saja. Aku datang ke sini bukan untuk basa-basi. Jadi katakanlah, sebelum aku memutuskan bahwa kesepakatan ini tidak ada artinya.”

Mata pria itu berkilat, kali ini sorotnya lebih serius.

Hening sesaat mengisi ruang sempit di antara mereka. Suara gelas beradu dari meja lain terdengar jauh, seakan semua perhatian hanya tertuju pada percakapan ini.

Akhirnya, pria itu mencondongkan tubuh, suaranya pelan tapi tajam menusuk telinga Elena.

“Katakan…” ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan senyum tipis yang misterius, “apa yang akan Anda berikan pada saya?”

1
Rahmawati Diah
alur ceritanya bagus, rapi.
bahasa nya ringan, mudah dicerna, tdk berbelit2
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria ⧗⃟ᷢʷ
apa ada penyusup dikalangan kesatrian mervin? maka elena bersikeras mau pertahan laki² itu menjadi pengawal.peribadinya?
restu s a
semangat thor.
saya tunggu bab selanjutnya.
restu s a
good
restu s a
mampir thor
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria ⧗⃟ᷢʷ
ceritanya bagus.. aku suka. gak bosan membacanya
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria ⧗⃟ᷢʷ
meski tak bnyk komentar yg bisa aku berikan tapi jujur aku suka ceritanya thor.. bahasanya tersusun bisa aku fahami.. up lagi thor
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria ⧗⃟ᷢʷ
apa karna kematiannya itu menyebabkn elena mau mencari kesatria peribadi?
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria ⧗⃟ᷢʷ
apa mervyn sebenarnya mencintai dlm diam elena, istrinya🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!