NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 28

Matahari belum terlalu tinggi, tapi halaman rumah bertingkat tiga itu sudah ramai. Warna-warni balon menari tertiup angin, tawa anak-anak kecil menggema di setiap sudut.

Di bawah pohon kamboja yang sedang mekar, terhampar tikar besar penuh makanan ringan, hadiah, dan boneka-boneka baru.

Hari ini ulang tahun Miera Dilnaz Zareen Qayyim yang ke enam tahun.

Gadis mungil berambut ikal dan kulit seputih susu itu duduk di kursi kecil, mengenakan gaun biru muda yang dijahitkan khusus oleh Bu Salamah.

Senyumnya manis, matanya berbinar. Tapi ada sesuatu di wajahnya yang tak bisa disembunyikan. Bukan sedih, lebih seperti rindu yang belum selesai.

“Selamat ulang tahun, Sayang... semoga panjang umur, sehat, jadi anak yang solehah,” ucap Bu Salamah sambil mencium pipinya.

“Ini hadiah dari Paman Bayu, langsung dibungkus sama Mba Salwa, loh,” seru Gilang sambil menyerahkan kotak besar bergambar pelangi.

Salwa mengangguk sambil tersenyum, “Nanti kamu boleh gambar pakai pensil ini, tapi harus janji ya, belajar juga yang rajin.”

Pak Mahmud tak banyak bicara. Beliau hanya menepuk kepala Miera dan berdoa dalam hati. Yassir berdiri agak jauh, menyapa tamu yang datang, mengatur musik anak-anak yang diputar dari speaker kecil di sudut tangga.

Namun suasana mendadak berubah saat Miera berdiri. Suaranya kecil, tapi jelas. Sorot matanya menatap langsung ke arah ayahnya.

“Ayah,” ujarnya pelan, “Ummi kok belum pulang?”

Langkah Yassir terhenti. Musik berhenti. Semua pandangan tertuju pada Miera.

“Apa Ummi benci Miera sama Ayah?” lanjutnya.

“Maksud kamu apa, Sayang?” tanya Yassir lembut, meski nadanya mulai gemetar.

“Kalau Ummi Zamara sayang beneran, kenapa nggak pulang dari Jerman?” katanya polos.

Tangan Salwa langsung menutup mulut, menahan isak. Bayu menatap lantai, sedangkan Gilang menolehkan wajah ke arah jendela.

“Teman Miera bilang... Miera itu anak nakal. Makanya Ummi pergi, nggak mau jagain Miera,” lanjutnya, lebih lirih.

Satu-satunya yang terdengar saat itu hanyalah suara napas tertahan.

“Miera pengen kayak temannya Miera... yang diantar jemput sama mamanya,” tambahnya sambil duduk kembali.

Yassir menelan ludah. Ia mendekat pelan, lututnya terasa lemas, tapi ia tetap berlutut di depan Miera, menggenggam tangannya erat.

“Dengerin Ayah, ya,” ucapnya tenang, “Kamu itu hadiah terbaik dari Allah buat Ayah sama Ummi. Nggak ada yang bisa gantiin kamu. Kamu bukan anak nakal. Kamu cahaya kami.”

“Tapi... Miera nggak mau mama lain. Maunya Ummi Zamara,” potong Miera dengan mata berkaca-kaca.

Yassir mengangguk pelan. “Ayah tahu... Ayah juga ngerasa sama. Setiap hari Ayah kangen. Setiap malam Ayah doain Ummi supaya pulang,” imbuhnya dengan suara parau.

Semua orang yang mendengar kalimat itu menangis. Tak terkecuali Pak Mahmud. Bahkan Bu Salamah tak sanggup berdiri.

Di hari yang penuh harapan dan senyum, kata-kata seorang anak memecahkan dinding yang selama ini tak berani disentuh. Bukan karena kemarahan. Tapi karena rindu yang tertahan.

Yassir memeluk Miera erat. “Kamu boleh nunggu, boleh nangis, boleh marah. Tapi jangan pernah berpikir kamu nggak layak dicintai,” katanya pelan.

Lalu ia menatap langit. Hatinya berbisik dalam.

Zamara... ini anakmu. Ia menunggumu, sama seperti aku.

uasana masih hening. Wajah-wajah di halaman rumah mewah itu belum pulih dari kata-kata Miera. Isak kecil terdengar dari sudut-sudut, dan Yassir masih memeluk anaknya erat, seolah ingin menyimpan tangis itu dalam dadanya sendiri.

Tiba-tiba suara klakson kecil dari depan gerbang memecah keheningan. Seorang pria berseragam jasa pengiriman berdiri dengan bingkisan besar-besar di tangannya, diikuti dua orang lainnya yang membantu menurunkan empat kotak raksasa dari mobil abu-abu.

“Assalamualaikum... ini ada kiriman atas nama Miera Dilnaz Zareen Qayyim,” seru kurir itu ramah.

Gilang langsung menghampiri, matanya menyipit curiga. “Dari siapa, Mas?”

“Nggak ada nama pengirim. Nggak ada alamat pengirim juga. Tapi tertulis jelas untuk Miera,” ucapnya sambil menunjuk label yang menempel rapi di sudut kotak.

Bayu ikut mendekat, memeriksa kotak-kotak besar itu satu per satu. Salwa menyusul, tangannya menahan dada.

“Yassir, kamu yakin ini aman?” bisik Bu Salamah sambil berdiri di sisi anak angkatnya.

Ustadz Yassir menatap keempat bingkisan itu. Matanya menelusuri setiap sudut, memastikan tak ada kejanggalan. Lalu, perlahan ia mengangguk.

“Kalau memang ini buat Miera, kita buka perlahan. Di dalam rumah saja, biar lebih tenang,” ujarnya tenang.

Kotak pertama dibuka. Isinya sebuah gaun putih bersulam tangan, dilipat rapi dengan selendang biru lembut yang menyelip di atasnya. Aroma lembut melati menyeruak dari dalam.

“Ini... persis seperti selera Ummi Zamara,” bisik Salwa pelan, tak percaya.

Kotak kedua berisi buku cerita dalam tiga bahasa, lengkap dengan coretan kecil di halaman pertama bertuliskan tangan halus:

Untuk Miera, jangan pernah takut menjadi anak yang punya mimpi.

Kotak ketiga berisi album foto kosong berwarna merah muda. Di dalamnya hanya ada satu foto yang sudah dimasukkan: foto bayi Miera yang sedang digendong oleh seorang perempuan muda berhijab putih dengan wajah campuran Eropa-Asia Tengah. Senyumnya... tak mungkin salah.

“Zamara,” gumam Yassir, matanya berkaca-kaca.

Kotak keempat membuat semua orang tercekat. Di dalamnya ada boneka kelinci abu-abu, persis seperti yang dulu selalu dibawa Zamara saat di bangsal jaga malam. Di telinganya tergantung kalung kecil berbentuk hati, dan di dalamnya terlipat selembar surat mungil.

Yassir mengambil surat itu perlahan, membukanya dengan tangan gemetar. Tak ada salam, hanya satu kalimat.

Maaf aku belum bisa pulang, tapi hatiku tetap tinggal bersamamu dan Miera. – Z

Yassir tak bisa menahan air matanya. Ia menunduk, mencium kening anaknya.

“Miera... Ummi kamu belum pulang, tapi dia nggak pernah benar-benar pergi,” katanya lembut.

Miera memeluk boneka itu erat. “Miera sayang Ummi. Miera tunggu... janji,” katanya polos, tapi penuh makna.

Dan pagi itu berubah. Bukan lagi tentang ulang tahun atau kue atau hadiah. Tapi tentang harapan yang dikirim dalam diam. Tentang cinta yang tak butuh wujud untuk terasa nyata.

Acara ulang tahun Miera kembali tenang. Empat kotak hadiah misterius masih jadi perbincangan hangat, tapi hati semua orang seperti diberi nafas baru—rasa percaya bahwa Zamara belum benar-benar hilang. Miera pun sudah kembali tersenyum sambil menggenggam erat boneka kelinci pemberian "Ummi"-nya itu.

Namun ketenangan itu hanya sebentar.

Suara langkah tergesa dan suara hak tinggi memecah suasana. Dua perempuan muncul di gerbang utama: Bu Rahma, istri kepala yayasan lama yang kini sering datang tanpa diundang, dan Ustadzah Aisyah, perempuan muda yang selama ini diam-diam memendam rasa kepada Ustadz Yassir.

Wajah mereka menegang, langkahnya tak santai. Beberapa tamu saling pandang.

“Astaghfirullah... kok mereka datang juga?” bisik Gilang ke Bayu.

“Aku nggak ngundang,” sahut Bayu pelan.

Tanpa aba-aba, Bu Rahma langsung menghampiri meja utama tempat Miera duduk.

"Assalamualaikum... ini ulang tahun, atau drama keluarga?” ujarnya dengan suara nyinyir, jelas disengaja.

Pak Mahmud berdiri cepat, “Rahma... ini bukan tempat—”

Namun Bu Rahma memotong tajam, “Anak ini dibesarkan tanpa ibu. Dan ayahnya terlalu sibuk ditolak perempuan terus-terusan,” sindirnya keras.

Ustadzah Aisyah hanya diam, tapi matanya mengarah lurus ke Yassir yang masih memeluk Miera.

“Aku cuma mau mengucapkan selamat ulang tahun,” katanya sambil melangkah pelan, tangannya hendak menyentuh rambut Miera yang sedang duduk manis.

Tiba-tiba, Miera berdiri. Suaranya kecil, tapi jelas. Matanya tajam menatap wanita muda di depannya.

"Don’t touch me. You’re not my mom," ujarnya lantang.

Semua membeku.

Aisyah menarik tangannya cepat. Wajahnya memucat, tidak percaya gadis empat tahun itu bicara bahasa Inggris dengan lancar dan sikap sekeras itu.

Miera masih berdiri, lalu menambahkan, "You don’t smell like her. You don’t smile like her. And my heart doesn’t like you."

Bu Salamah buru-buru memeluk Miera. Salwa meneteskan air mata haru. Yassir sendiri terdiam, tak tahu harus bangga atau hancur karena Miera ternyata paham siapa yang dia tunggu.

“Apa kamu dengar, Aisyah?” ucap Bayu datar, “Bahkan anak kecil bisa membedakan mana cinta yang tulus, mana yang dipaksakan.”

Aisyah menunduk. Matanya panas, tapi mulutnya bungkam.

Bu Rahma melotot, “Anak ini keras kepala seperti ibunya. Dulu pun ibunya kabur, sekarang anaknya bicara seperti...”

“Cukup, Bu,” potong Yassir tegas. “Hari ini hari anak saya. Kalau Anda datang untuk mempermalukan, lebih baik pulang.”

Bu Rahma mendengus. Ustadzah Aisyah akhirnya menarik lengannya, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa pun.

Miera kembali duduk di pangkuan Ayahnya.

Yassir mencium ubun-ubun putrinya, lalu berkata pelan, “Kamu luar biasa, Nak. Sama seperti Ummi kamu... tahu kapan harus menjaga hati sendiri.”

Dan hari itu, semua orang tahu Miera mungkin baru empat tahun, tapi hatinya sudah sangat tahu siapa yang ia harapkan pulang.

Langkah Ustadzah Aisyah nyaris saja meninggalkan halaman, namun suara geraman keras dari belakang menahan semua orang.

"Dasar anak pembawa sial!" teriak

Bu Rahma, suaranya tinggi, kasar, penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. Matanya menatap tajam ke arah Miera yang masih duduk di pangkuan ayahnya.

Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:

Menikah Mantan Istri Sahabatku

Pawang Dokter Impoten

Dipaksa Menjadi Istri Kedua

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!