Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana di bidang hukum, Christ menjadi pengacara di salah satu firma hukum terbesar di Jakarta. Namun, setelah 15 tahun bekerja di sana, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dan membentuk firma hukum sendiri untuk menyelidiki kasus pembunuhan Ibunya dan membalaskan dendam.
Selama proses penyelidikan, Christ bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Yuli yang membantunya. Yuli selalu menemaninya selama penyelidikan dan akhirnya timbul rasa cinta di antara keduanya.
Namun, dalam perjalanannya untuk membalaskan dendam, Christ menemukan bahwa ada lebih banyak yang terlibat dalam kasus tersebut daripada yang ia duga. Ia menemukan fakta bahwa pamannya, bos mafia terbesar di kota Jakarta, adalah dalang di balik pembunuhan Ibunya.
Lantas, apakah Christ berhasil membalaskan dendam atas kematian ibunya itu? Atau dia hanya ingin melupakan balas dendam dan memilih hidup bersama dan berbahagia dengan Yuli?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faisal Fanani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SECTION 028
Christ duduk di halte tempat pemberhentian bus antar kota. Dia menyatukan kedua tangannya, lalu berdoa pada tuhan.
Dan tuhan pun mengabulkan doa Christ. Pertolongan datang!
Melintas bus antar kota di depan Christ. Kondektur bis itu mengeluarkan kepalanya dan menyapa Christ. Bis berhenti
“Hei, Bocah! Apa yang kau lakukan disana? Mana ibumu? Kenapa kau sendirian?”
Christ segera beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekat ke pintu bus, tempat kondektur. Dia mengeluarkan foto dan menunjukkan alamat tertulis yang ada di balik foto itu.
“Apa Om bisa mengantarku ke alamat itu? Tapi, aku tak punya uang sama sekali untuk membayar ongkos bus ini.”
“Astaga! Ada apa denganmu, Nak?” Si Kondektur melihat alamat itu. Sejenak dia berbicara dengan sopir, lalu membuka pintu bis.
“Masuklah. Aku akan mengantarmu ke alamat ini.” Si Kondektur kembali mengembalikan foto itu pada Christ.
“Kau sangat beruntung. Bis ini adalah bus terakhir yang akan menuju Jakarta.Kau bisa duduk di depan sini. Bajumu basah kuyup, kursi di bis ini akan basah jika kau duduk di sana.”
Si Kondektur menyediakan kursi kecil tepat di sebelah sopir.
“Terimakasih banyak, Om.” Christ segera menaiki bus dan duduk di samping sopir.
Bus itu sangatlah sepi, tak terlihat satu orang pun penumpang di dalamnya. Mungkin karena waktu mulai malam ditambah dengan Hujan, bus antar kota itu tak memiliki penumpang satupun.
Kepala Christ men doyong-doyong, mengantuk. Dia menyangga kepalanya dengan kedua tangannya. Christ menggigil kedinginan di dalam bus itu..
Bus itu melewati gerbang tol dan menuju ke ibu kota Jakarta. Sepanjang jalan tol juga cukup sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan roda empat yang melintas.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Jakarta melewati tol itu.
Satu jam kemudian, bis itu telah sampai di alamat yang dituju Christ.
Christ segera turun dari bis dan melihat sekitarnya. Linglung!
Sebuah rumah yang tak cukup besar dan tak cukup kecil. Terlihat beberapa sekelompok preman yang sedang menghajar dari kelompok lain di depan rumah itu.
Christ kecil berjongkok bersembunyi di balik tanaman hijau. Sesekali dia melihat foto yang diberikan ibunya untuk memastikan, siapakah dari preman-preman itu yang merupakan pamannya. Ketemu!
Christ dapat melihat pamannya diantara segerombolan preman-preman itu.
Pria dewasa bertubuh tinggi dan kekar, serta memiliki wajah garang dengan tulang rahang yang terlihat jelas. Dia menggunakan tongkat bisbol dan dengan lincah menghabisi preman dari kelompok lain.
Dia memukul beberapa kelompok lain dan merekrutnya untuk dijadikan tukang pukul dan anak buahnya kelak.
Christ yakin bahwa pria itu adalah Bagaskara, pamannya sendiri, adik kandung dari ibunya.
Pada tahun itu, Bagas masih merintis dan mulai membangun bisnisnya, rumah yang dimilikinya juga tak sebesar rumahnya saat ini.
Setelah semua geng dari kelompok lain berjatuhan, Bagas dan asistennya beranjak pergi dari tempat itu.
Christ kecil dengan berani menghadang Bagas dan asistennya.
“Paman! Berhenti!”
“Minggir kau, Bocah!” salah satu anak buah Bagas mendorong Christ. Dia merogoh kantong dan memberinya selembar uang 10 ribuan. “Pergi kau sana. Kau bisa beli makanan dengan uang itu.”
Bagas dan anak buahnya pergi meninggalkan tempat itu.
“BAGASKARA!!!” teriak Christ.
Serentak Bagas dan anak buahnya berhenti. Mereka menatap seorang bocah kecil yang dengan lantang memanggil Bagas.
“Apa kau bilang? Coba kau bilang lagi!” Bagas berbalik dan menghampiri Christ, menatap tajam.