Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Wanita Pelangkah
Alexander dan Tari keluar sebagai juara untuk tingkat Desa. Satu bulan dari sekarang mereka akan berlomba untuk tingkat kecamatan. Mewakili sekolah mereka. Memberikan waktu lebih lama bagi mereka untuk belajar lagi di sekolah atau pun di rumah.
"Ibu harus terus tetap bantu aku ya?." Saat mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah.
Jamilah mengangguk, "Insya Alloh Ibu akan selalu membantu mu semampu ibu." Jamilah menoleh ke belakang dimana Alexander saat ini berada. Duduk sendiri di kursi penumpang yang berada di belakang mereka.
.
.
.
Usai mengobrol santai dengan Pak Utomo dan Bibi Isti. Emir dan Jamilah berpamitan naik ke kamar mereka. Sedangkan Alexander masih betah untuk berbicara dengan Kakek Utomo dan Bibi Isti.
"Besok saya harus ke Jakarta. Ada urusan sedikit yang harus saya kerjakan." Emir merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ingin rasanya memberitahukan keberadaan Isyana pada Jamilah. Ada perasaan dari hatinya yang entah bagian mana untuk berbagi apa yang disimpannya saat ini pada Jamilah. Tapi ia juga tidak ingin membebani Jamilah dengan semua permasalahan dalam hidupnya sudah sangat berantakan.
"Iya berangkat aja." Jawab Jamilah mengambil baju ganti dari lemari. Meletakkan baju ganti untuk Emir. Hatinya sungguh terusik mendengar suaminya akan pergi ke Jakarta. Pasti Emir akan menemui Isyana.
Jamilah segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Lalu mengganti baju dengan yang baru dan bersih.
"Sekarang kamu yang mandi." Jamilah keluar dari kamar mandi lalu menggantung handuk miliknya. Emir menarik tangan Jamilah dan memintanya untuk duduk disampingnya.
"Kamu masih mau membantu Alexander untuk menemukan Isyana." Emir memegang kedua tangan Jamilah dengan erat. Menyalurkan segala keresahan yang saat ini sedang dihadapinya. Bagaimana nanti akhir rumah tangganya bersamanya Jamilah saat semua masalah berdatangan secara bersamaan. Jamilah mengangguk lemah sebagai jawaban atas pertanyaan Emir.
"Kenapa?. Kasih saya satu alasan kenapa kamu mau membantu Alexander bertemu dengan Isyana?." Emir menatap kedua manik Jamilah dengan genggaman tangan yang semakin erat Jamilah rasakan.
"Karena Alexander berhak tahu dan seharusnya bisa bahagia bersama Isyana." Jamilah tidak gentar sedikit pun jika memang ia harus kehilangan Alexander dan Emir dalam waktu bersamaan. Mungkin jodoh mereka hanya sampai di situ. Jamilah berulang kali susah untuk menelan ludahnya sendiri. Menguatkan hati yang mulai goyah dengan sikap hangat yang akhir-akhir ini ditunjukkan Emir.
Bibir Jamilah bergetar, menahan tangis yang ingin keluar dari mata indah miliknya. Tidak ingin menunjukkan kelemahan pada pasangan yang tidak seutuhnya ia miliki.
"Baik, besok kita akan berangkat ke Jakarta. Saya akan mempertemukan mu dengan Isyana." Emir akhirnya menyerah, ia tidak bisa menolak ketulusan yang Jamilah berikan untuk Alexander. Jamilah kembali mengangguk.
"Kenapa kamu bersikap biasa saja, mengetahui saya tahu dimana keberadaan Isyana?. Padahal kan kemarin-kemarin saya bilang tidak tahu." Emir merasa heran sendiri dengan sikap Jamilah yang seperti ini. Jamilah pun menceritakan semuanya dari awal melihat karcis rumah sakit sampai hotel dan terakhir ia meminta tolong pada Juleha untuk mencari semua informasinya.
.
.
.
Usai melaksanakan sholat subuh berjamaah. Emir dan Jamilah pamit pada Pak Utomo dan Bibi Isti. Menitipkan Alexander pada mereka.
"Kalian hati-hati di jalan." Pesan Pak Utomo saat Emir dan Jamilah akan memasuki mobil.
"Iya Pa, aku titip Alexander." Balas Emir menurunkan kaca mobil.
"Iya kalian tenang saja. Tuntaskan lah urusan kalian di sana." Ucap Pak Utomo menatap keduanya. Melangkah mundur karena mobil sudah perlahan bergerak maju.
"Assalamu'alaikum..." Ucap Jamilah dan Emir bersamaan.
"Wa'alaikumsalam..." Balas Pak Utomo dan Bibi Isti.
Baru lah Emir menancap gas, melajukan kendaraannya meninggalkan rumah Pak Utomo.
Keduanya masih diam belum ada yang ingin membuka obrolan. Sampai kini mereka sudah berada di jalan raya. Baru lah Emir yang lebih dulu mengajak Jamilah berbicara.
"Perjalanan kita cukup lama, bisa empat sampai lima jam. Kalau kamu lapar bilang saja nanti kita bisa berhenti untuk makan dulu." Entah lah, Emir sekarang begitu peduli pada Jamilah, kenyamanan atau pun keamanannya. Walau pun perasaan itu masih samar-samar Emir rasakan. Tapi perlahan Jamilah sudah memiliki tempat tersendiri di dalam hati Emir. Bahkan nama Tiffani sudah tidak ada di sana.
Jamilah hanya mengangguk mengiyakan.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?." Emir sekilas menoleh ke arah Jamilah yang membetulkan posisi duduknya. Emir begitu peduli dengan apa yang dipikirkan oleh istrinya.
"Tidak ada, tidak ada yang saya pikirkan." Saat ini Jamilah memang tidak sedang memikirkan apa pun. Ia hanya berusaha untuk menikmati setiap momen yang dilewatinya.
"Katakan pada saya kalau ada sesuatu yang menggangu mu." Ucap Emir lagi namun tetap fokus pada kemudinya.
"Iya." Balas Jamilah singkat.
.
.
.
Hening, tidak ada yang berbicara. Sampai tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini mobil Emir sudah terparkir di area basemen sebuah hotel.
"Ayo turun, kita sudah sampai." Emir membuka pintu mobil berbarengan dengan Jamilah.
Emir menggenggam tangan Jamilah selama berjalan menuju kamar miliknya.
Banyak pasang mata tertuju pada mereka, mungkin lebih tepatnya pada pengusaha sukses Fahreza Emir yang kali ini datang dengan membawa seorang wanita berhijab. Namun Jamilah tidak terusik sedikit pun, ia sangat paham dengan resiko memiliki suami yang sangat tampan dan menjadi incaran para wanita.
Sampai di lantai paling atas, Emir membuka pintu kamar dan mempersilakan Jamilah masuk.
"Kamu mau makan atau istirahat dulu." Karena dalam perjalanan mereka tidak ada yang meminta makan, makanya sekarang Emir bertanya pada Jamilah.
"Makan aja, saya lapar." Jawab Jamilah jujur sambil mengagumi kamar hotel yang sangat mewah.
"Iya, tunggu sebentar." Emir langsung menelepon manager hotel untuk membawakan mereka makanan dan minuman.
Sambil menunggu, Jamilah merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Kemudian Jamilah membuka tas kecil dimana hanya ada dua setel baju ganti untuknya.
"Tadi saya yang mengeluarkan baju-baju yang lainnya. Sebab di sini ada banyak baju baru untuk santai yang belum di pakai." Emir keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi bagian bawahnya saja. Hal yang halal bila Jamilah melihat suaminya seperti itu bahkan lebih pun tidak dosa. Lalu Emir mengambil baju ganti dari lemarinya.
Jamilah seperti melihat kembali sosok Emir yang baru lagi. Jauh seperti saat berada di rumah Pak Utomo, berbeda juga saat kemarin mereka di Villa, sekarang di sini di dalam kamar hotel ini. Emir yang sekarang, lebih menyerupai sosok yang memenuhi imaginasi Ibu Wiwin dan Ibu Zahra, yang senang membaca novel online drama romantis.
"Iya nanti setelah makan saya akan ganti baju." Jamilah begitu senang saat ada pegawai hotel membawa makanan dan minuman yang sepertinya sangat enak. Mereka semua begitu hormat pada Emir dan sangat melayaninya dengan baik. Kemudian mereka meninggalkan kamar setelah Emir mengatakan sudah cukup.
"Nanti sore saya akan membawa mu bertemu dengan Isyana. Sekarang kita istirahat saja." Emir duduk di hadapan Jamilah yang sudah mulai mencicipi makanannya.
"Iya enggak apa-apa. Lebih baik seperti itu." Jamilah hanya fokus dengan makanan yang ada didepannya.
Usai menghabiskan semua makanannya. Jamilah membuka lemari baju yang sudah ditunjuk Emir. Tidak ada satu pun baju yang sama dengan yang sering dipakainya.
"Kenapa?." Tanya Emir saat Jamilah tidak kunjung keluar dari ruang ganti.
"Em....bajunya pendek semua." Jawab Jamilah dari ruang ganti.
"Iya tidak apa-apa. Tidak ada orang lain di sini hanya ada saya dan kamu." Balas Emir santai dengan senyum jahil.
"Pilih saja salah satu. Pasti akan cocok dengan tubuh mu." Lanjut Emir mengintip Jamilah yang masih bingung mau pilih baju yang mana.
Dengan sangat terpaksa, Jamilah mengambil salah satu dari sekian banyak baju yang ada di dalam lemari. Lalu segera membawanya ke dalam kamar mandi.
Sudah hampir satu jam, Jamilah tidak kunjung keluar. Hingga Emir yang sedang rebahan pun harus bangun dan mengetuk pintu kamar mandi.
Tok
"Jamilah..." Panggil Emir.
"Iya..." Sahut Jamilah dari dalam.
"Kenapa lama?, ada apa?." Tanya Emir panik.
"Tidak ada, tidak ada apa-apa." Jawab Jamilah gugup. Bagaimana bisa dirinya keluar dengan baju terusan selutut dipadupadankan dengan hijabnya.
Emir tidak puas dengan jawaban Jamilah, ia kembali mengtuk pintu dan meminta Jamilah untuk segera keluar dari sana.
"Sekarang, keluarlah!. Saya tunggu!." Ucap Emir dengan tegas. Mau enggak mau Jamilah pun harus keluar dengan tampilan yang normal dan dibuat senyaman mungkin. Walau pun suku Emir tidak mau melihat semua yang dimilikinya tapi hati ini, biarlah atas kemauan dirinya Emir melihat dirinya yang lain.
Ceklek
Emir mematung diam di tempat, sempet sedikit terhuyung karena pijakan kakinya tidak seimbang. Di tambah lagi kini ia melihat sosok Jamilah dengan tampilan yang begitu cantik, auranya keluar begitu terpancar sehingga menyilaukan kedua mata Emir yang sedari tadi memandanginya.
Bodoh sekali jika dirinya menolak bidadari secantik ini. Bidadari yang bersembunyi di balik hijab dan semua baju gamis-gamisnya. Bagaimana bisa Jamilah memiliki ragawi yang begitu sempurna?. Betapa beruntungnya ia bisa melihat keindahan bidadari yang saat ini berada dalam satu kamar. Bidadari yang sudah menjadi miliknya namun belum ia sentuh karena ia abaikan dengan sengaja untuk alasan yang tidak jelas.
Jamilah berusaha bersikap biasa saja dengan kekagetan Emir saat melihat dirinya. Jamilah berjalan melewati Emir yang masih betah berdiri. Namun belum jauh Jamilah melewati dirinya, Emir menahan tangan Jamilah dengan lembut, ia tidak ingin membuat terluka kulit yang begitu mulus.
"Ada apa?." Tanya Jamilah untuk mengurai kecanggungan yang sedang terjadi.
Bukanya menjawab, Emir mensejajarkan posisinya saat ini, berdiri tepat di hadapan Jamilah yang kini wajahnya sudah bersemu merah. Sungguh sangat terlihat jelas. Ia pria dewasa yang sangat normal dimana alat yang paling sensitive sudah sangat meresponnya dengan baik.
"Kamu enggak sholat?." Emir balik bertanya dengan sesekali menelan ludahnya kasar.
Jamilah menggeleng, "Enggak, saya lagi enggak sholat."
"Kamu sedang datang bulan?." Raut wajah Emir sudah merah padam menahan hasrat yang sudah melambung tinggi.
Jamilah mengangguk, "Iya baru datang."
Emir mengangguk lemas dan segera masuk ke kamar mandi. Jamilah menatap kepergian Emir dengan langkah gontai.
Y
hhh