MISI KEPENULISAN DARI NOVELTOON! BUKAN PLAGIAT! KETERANGAN LEBIH LENGKAP DI BAB 1. MAKASIH.
****
Dibuang, diabaikan dan diasingkan jauh ke desa karena dianggap pembawa sial, tepat setelah kematian ibunya dan bersamaan kakeknya yang koma.
Gadis berusia 9 tahun harus didewasakan oleh keadaan. Berjuang sendiri menjalani kerasnya hidup seorang diri.
10 tahun kemudian, dipaksa kembali ke kota oleh ibu tiri untuk menikah dengan pria yang digadang-gadang sekarat dan hampir mati.
Ibu tirinya tidak rela putri kandungnya menikah dengan lelaki seperti itu. Akibat sebuah perjanjian keluarga, terpaksa perjodohan tidak bisa dibatalkan.
Namun ada yang janggal ketika gadis itu bertemu pria yang menjadi suaminya. Terlihat jelas pria itu sangat tampan, kuat dan tidak ada seperti orang penyakitan. Tidak ada yang mengetahui kenyataan itu.
Pria itu ternyata adalah salah satu pengusaha yang sukses dan menjadi konglomerat di kotanya. Sangat misterius dan begitu berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kekecewaan Khansa
Jantung Khansa berpacu dengan kuat, ia menggigit bibir bawahnya dan hampir menangis. Matanya sudah memerah, tenggorokannya tercekat.
“Siapa wanita itu? Apakah pacar Leon? Ya, itu pasti pacarnya. Dia ‘kan pria playboy. Bisa-bisanya aku terbuai dengan ucapannya,” gumam Khansa menahan gejolak di dadanya.
Khansa menepuk-nepuk kedua pipinya, “Sadar Khansa, sadar! Kamu hanya penggantin pengganti dan tidak berhubungan dengan Leon, kenapa Leon mau membantumu?” gerutunya pada diri sendiri.
Khansa berkeringat dingin, tubuhnya gemetar, hidupnya berubah saat berusia 9 tahun, dibuang semua orang dan Khansa belajar mandiri selama 10 tahun ini.
Khansa sudah terbiasa tegar dalam kesendiriannya dan hanya percaya pada Emily seorang. Khansa tidak ingin dikhianati oleh orang terdekat yang disayanginya lagi.
Tapi, Leon pria yang arogan ini memasuki hidup Khansa dan membuat Khansa mengandalkannya, Khansa merasa dirinya jadi lemah. Air matanya terjatuh tanpa permisi. Ia segera menepisnya, menguatkan hatinya sendiri.
Khansa memutuskan keluar kamar, berjalan menyusuri setiap ruangan. Jika berpapasan dengan para asisten rumah tangga atau penjaga di villa itu, Khansa selalu menunduk. Menyembunyikan kesedihannya dari semua orang.
Hingga sampailah dia di luar villa. Ia baru sadar, di belakang villa ada taman yang sangat luas. Ribuan bunga terawat dengan baik di sana. Banyak pula pohon rindang membuat suasana begitu sejuk walau pada siang hari.
“Indah sekali,” Khansa menatapnya dengan kagum. Ia menghirup udara sejuk yang berembus dalam-dalam, menyimpan oksigen sebanyak-banyaknya di paru-paru.
Agar menghilangkan sesak yang mengusik dadanya. Kedua tangan kecilnya memeluk tubuhnya sendiri. “Kamu bukan wanita lemah Khansa. Kenapa menangis hanya gara-gara pria playboy seperti Leon? Dia tidak pantas kamu tangisi seperti ini.” Bukannya berhenti, air matanya justru semakin berjatuhan, membasahi kedua pipi mulusnya.
Entah kenapa hatinya merasa tersayat, dadanya sungguh seperti tertindih beban berat. Khansa merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa selemah itu. Padahal selama ini, dia tidak pernah menggantungkan siapa pun dalam hidupnya.
Khansa memejamkan kedua mata, mencengkeram erat kedua lengannya. Suasana yang tenang, udara yang sejuk mengingatkannya sewaktu tinggal di desa.
Ia teringat kembali masa-masa sulit itu. Lama kelamaan, hatinya berangsur lebih tenang. Matanya kembali terbuka, pandangannya mengedar, sekelilingnya tampak sangat indah. Karena villa itu terletak di dataran tinggi. Ia bisa melihat danau, laut dan banyaknya kendaraan yang melintas di jalan raya.
Pikirannya sudah mulai jernih kembali, Khansa lalu mengirimkan pesan pada Hendra. –“Baiklah, besok kita bertemu!”
Hendra yang sudah selesai dengan aktivitas panasnya, beranjak mengambil ponsel setelah mendengar notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ia tersenyum puas saat membaca pesan dari Khansa.
“Bagus! Aku tunggu kedatanganmu! Kalau kamu tidak datang, mungkin akan menyesal. Dan selamanya tidak akan pernah menemukan apa pun dalam penyelidikanmu mengenai kematian ibumu!” balas Hendra.
Khansa menghela napas panjang saat membacanya. Namun ia mengabaikannya. Tidak membalas lagi pesan itu. Menurutnya, akan membuat pria itu semakin besar kepala dan merasa dibutuhkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di luar negeri, di dalam kamar presiden suite, chief PR (public relation) bernama Susan sedang memegang ponsel dan merasa aneh setelah menerima telepon dari seseorang.
Gerry, asisten Leon melangkah menuju kamar itu, ia terkejut dengan kehadiran Susan yang lancang masuk bahkan memegang ponsel Leon.
“Chief Susan, siapa yang izinkan kamu memasuki kamar presdir?” sentak Gerry pada wanita itu.
Susan terkesiap, ia sampai terlonjak dan hampir menjatuhkan ponsel Leon yang masih ada di genggamannya.
“Ma … maafkan saya, Tuan. Kedatangan saya kemari untuk mengantarkan dokumen yang sangat urgent,” jelas Susan menundukkan kepala, mengeratkan pelukan pada dokumen yang dibawanya, masih menggenggam ponsel Leon. Ia merasa seperti tersangka yang kedapatan mencuri. Tubuhnya gemetar ketakutan.
“Lalu kenapa kamu menyentuh ponsel presdir?” Gerry menajamkan tatapannya. Susan semakin gemetar, tangannya lalu meletakkan benda pipih itu ke tempat semula.
“Maaf, Tuan. Tadi, ponsel presdir berbunyi terus. Dan beliau sedang berada di kamar mandi. Jadi, saya ….”
“Lancang kamu ya! berani-beraninya kamu menjawab panggilan di ponselnya! Tuan Leon tidak suka ada orang yang menyentuh barang pribadinya!” bentak Gerry lagi.
Susan semakin menunduk dalam. “Ma … maafkan atas kelancangan saya, Tuan. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” ucapnya bersungguh-sungguh.
“Siapa tadi yang menelepon?” tanya Gerry tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita di hadapannya.
“Saya juga tidak tahu, Tuan. Karena tidak ada sahutan apa pun saat saya mengangkatnya,” ucap Susan dengan takut.
“Hmm … pergilah! Mana dokumennya!” pinta Gerry.
Susan mengulurkan dokumen tersebut, lalu Gerry menyuruhnya pergi dari kamar Leon.
“Ada apa, Ger?” Leon baru saja keluar dari kamar mandi melihat sang asisten berdiri membolak-balikkan dokumen di tangannya. Ia sudah mengenakan pakaian santai, mengusak rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
“Ini, ada dokumen yang harus segera ditanda tangani, Tuan,” ucap Gerry menyerahkannya pada Leon.
“Hmm. Tadi aku sempet denger ribut-ribut?” Leon bertanya sembari berjalan setelah menerima dokumen itu. Kemudian mendaratkan tubuhnya di sofa dan memeriksanya.
“Maaf, Tuan, tadi Susan dengan lancang mengangkat panggilan di ponsel Anda. Tapi saya sudah menegur dan memperingatinya. Dia tidak akan berani melakukannya lagi,” jawab Gerry menunduk.
“Apa?!” sentak Leon yang segera menutup dokumennya, bergegas mengambil ponselnya. Ia sangat yakin panggilan itu dari Khansa. Siapa lagi kalau bukan gadis itu? Karena memang Khansa satu-satunya kontak yang ada di ponselnya itu.
Ia mencoba menelepon balik. Namun sudah beberapa panggilan tidak diangkat oleh Khansa. Leon mengerang frustasi.
“Aaarrghh! Ger, atur kepulanganku agar lebih cepat! Aku ingin segera pulang,” ucap Leon tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Leon membuka layar percakapannya dengan Khansa. Tanpa sengaja, Gerry yang ada di belakangnya mengintip isi pesan tersebut. Ia melihat sebuah foto Khansa yang nampak … sexy.
‘Oh, ternyata tuan muda sudah mulai tercium aroma-aroma bucin nih. Apa jangan-jangan gara-gara foto itu, dia ingin pulang lebih cepat?’ gumam Gerry dalam hati. Ia tersenyum sendiri melihat tuan mudanya bisa berubah seperti itu.
“Ger, kau dengar tidak?” bentak Leon saat tak mendengar jawaban.
“I … iya, Tuan. Saya akan segera mengaturnya,” jawab Gerry terbata-bata.
Hari pun bergulir dengan cepat, Khansa menepati janjinya. Malam itu ia keluar sendirian menuju tempat yang sudah disepakati bersama Hendra. Khansa sudah berdiri di depan pintu kamar 8206, Khansa menekan pintu bel kamar.
Tak lama kemudian, pintu kamar segera dibuka, Hendra menarik satu sudut bibirnya. “Masuklah, Sa!” ujar Hendra mempersilahkan.
Khansa menatapnya tajam, melenggang masuk dan Hendra segera menutup pintu kamar tersebut.
“Hendra, mana bibi Fida? Bagaimana aku bisa yakin kamu tidak bohong padaku? Telepon bibi Fida, aku ingin mendengar suaranya,” ujar Khansa langsung pada intinya sambil melipat kedua lengannya di dada.
Hendra mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dan segera melakukan panggilan.
Bersambung~
tp lupa judulnya
ceritanya dikota palembang