ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#27
Wei Li tahu masalah sudah benar-benar berubah bentuk saat sebuah kotak hitam kecil diletakkan di meja ruang tamunya. Tidak ada kartu. Tidak ada pesan tertulis..Hanya sebuah benda yang seharusnya tidak ada di sana.
Ia berdiri beberapa langkah dari meja, kedua lengannya terlipat di dada. Matanya menyapu kotak itu tanpa berkedip. Jae Hyun berdiri di sisi kanan, sikapnya tenang tapi rahangnya mengeras. Lo yakin ini bukan jebakan?” tanya Wei Li. Jae Hyun menggeleng pelan. “Sudah diperiksa. Tidak ada alat pelacak, tidak ada bahan peledak.”
Wei Li mendengus. “Itu bukan bikin gue tenang.” Kun A Tai berdiri di dekat jendela. Tangannya masuk ke saku celana, bahunya kaku. “Itu dikirim pagi ini. Lewat jalur pribadi.”
Wei Li menoleh. “Artinya dia mau gue buka.”
“Ya,” jawab Kun A Tai singkat.
Wei Li berjalan mendekat. Tangannya berhenti di atas kotak, lalu ditarik lagi. Jarinya mengepal, bergetar sebentar sebelum ia memaksa dirinya rileks. “Kalau ini tentang gue,” katanya pelan, “gue yang buka.” Kun A Tai tidak langsung menyahut. “Aku tidak menyukainya.”
Wei Li menoleh. “Aku juga nggak.” Ia membuka kotak itu. Di dalamnya ada satu flashdisk logam, kecil, bersih, tanpa label. Wei Li mengangkatnya dengan dua jari. “Klasik.” Jae Hyun sudah menyiapkan laptop yang terisolasi. Wei Li duduk, punggungnya sedikit membungkuk, fokus. Tangannya bergerak cepat kebiasaan lama yang kembali tanpa ia sadari.
Flashdisk ditancapkan. Layar menampilkan satu folder. Nama folder itu membuat napas Wei Li tertahan sesaat. TIAN WEI LI
Bukan nama di dunia nyata. Nama tubuh ini. “Buka,” kata Kun A Tai pelan. Wei Li mengklik. Isinya rapi. Terlalu rapi. Dokumen, foto, rekaman transaksi, laporan medis. Wei Li menggulir perlahan. Setiap baris seperti dorongan kecil ke dadanya. “Ini… lengkap,” gumamnya.
“Dia menelusuri jauh,” kata Jae Hyun. Wei Li tertawa pendek, tanpa humor. “Dia bukan nyari kelemahan. Dia nyari identitas.” Ia berhenti di satu file. Riwayat Keluarga, Dihapus Wei Li membukanya. Kosong. Hanya satu catatan kecil di bawahnya Data sengaja dihilangkan. Wei Li menyandarkan punggung ke kursi, mengusap wajahnya. “Bangsat.”
Kun A Tai mendekat. “Apa artinya?” Wei Li menatap layar, lalu Kun A Tai. “Artinya dia tau gue nggak punya akar.” Keheningan jatuh. Wei Li menarik napas panjang. “Dia mau bilang gue ini kosong. Bisa diisi apa aja.”
“Dia salah,” kata Kun A Tai tegas. Wei Li mengangkat bahu. “Buat orang kayak dia, kebenaran itu fleksibel.” Ia menutup laptop dengan satu gerakan. “Tapi dia juga lagi mancing.”
“Bagaimana?” tanya Jae Hyun. Wei Li berdiri, berjalan mondar-mandir. Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal tanda pikirannya bekerja cepat. “Kalau gue panik, gue bakal nyoba nutupin sesuatu,” katanya. “Kalau gue marah, gue bakal bikin kesalahan.”
Kun A Tai menatapnya. “Dan kau?” Wei Li berhenti. “Gue kesel.” Jae Hyun tersenyum tipis. “Itu wajar.”
“Tapi gue nggak panik,” lanjut Wei Li. “Dan gue nggak mau bereaksi kayak yang dia mau.” Kun A Tai mengangguk pelan. “Apa langkahmu?” Wei Li menatap kotak kosong di meja. “Dia mau main nama? Oke.” Malam itu, Wei Li tidak tidur cepat. Ia duduk di balkon, laptop di pangkuan, layar redup. Kota di bawah berkilau. Angin malam menyentuh kulitnya, dingin tapi menyadarkan.
Nama itu… pikirnya. Gue hidup pake nama orang mati. Ia berhenti mengetik, menatap tangannya sendiri. Jari-jari ini pernah ngetik kode di kamar sempit. Sekarang mengetik di apartemen mewah, di dunia yang salah. “Lo aneh,” gumamnya pada diri sendiri. “Tapi lo masih lo.”
Pintu balkon terbuka pelan. Kun A Tai keluar, membawa dua gelas. Ia menyerahkan satu tanpa bicara. Wei Li menerimanya. “Makasih.” Mereka berdiri berdampingan. Tidak bersentuhan. “Kau memikirkan apa?” tanya Kun A Tai.
Wei Li menyesap minumannya. “Tentang identitas.” Kun A Tai menoleh. “Dia mencoba mengurangimu menjadi data.” Wei Li tersenyum miring. “Masalahnya, gue bukan karakter yang dia tulis.” Kun A Tai mengangguk. “Dan itu yang membuatnya gelisah.” Wei Li menoleh. “Lo tau bagian paling ngeselin?”
“Apa?”
“Dia bener,” kata Wei Li jujur. “Gue nggak punya masa lalu di dunia ini.” Kun A Tai menatapnya lama. “Masa lalu tidak selalu menentukan nilai.” Wei Li mengangguk. “Tapi di dunia ini, nama itu senjata.” Keheningan lagi. “Aku bisa menghapus jejak itu,” kata Kun A Tai akhirnya.
Wei Li menggeleng. “Jangan.” Kun A Tai mengernyit. “Kenapa?”
“Karena kalau lo hapus, dia tau kita takut,” jawab Wei Li. “Gue pengin dia mikir… gue nyaman.” Kun A Tai menatapnya, lalu tersenyum tipis ekspresi yang jarang. “Kau kejam.” Wei Li tertawa pelan. “Belajar dari yang terbaik.”
Keesokan harinya, Wei Li sengaja keluar lagi. Bukan ke mall. Ia pergi ke tempat yang lebih sederhana toko kopi kecil di pinggir jalan. Duduk di luar, tanpa penyamaran berlebihan. Jae Hyun berdiri beberapa meter jauhnya, berpura-pura sibuk dengan ponsel. Wei Li membuka buku catatan kecilnya. Menulis satu baris.
'Nama gue mungkin pinjaman, tapi pilihan gue asli'. Seseorang berdiri di depannya. “Boleh duduk?” tanya suara familiar. Wei Li mendongak. Pria utusan Shen Yu An itu. Senyum yang sama. Wei Li menutup bukunya. “Lo konsisten.”
“Beliau ingin tahu,” kata pria itu sambil duduk. “Apakah Anda menemukan sesuatu yang menarik.” Wei Li menyandarkan punggung. “Cukup.”
“Dan?” Wei Li menatapnya datar. “Bilang ke dia kalau mau main masa lalu, gue siap. Tapi gue nggak bakal lari.” Pria itu tersenyum. “Keberanian Anda mengesankan.” Wei Li membalas senyum, dingin. “Dan lo bilang ke dia satu lagi.”
“Apa?”
“Nama itu milik gue sekarang,” kata Wei Li. “Dan gue nggak rencana ngembaliin.” Pria itu berdiri, mengangguk kecil, lalu pergi. Wei Li menatap cangkir kopinya. Tangan yang tadi sedikit gemetar kini stabil.
Jae Hyun mendekat. “Anda sengaja memancing.” Wei Li mengangguk. “Sekarang giliran dia mikir.”
Malamnya, Kun A Tai menerima laporan. “Dia tertawa,” kata Kun A Tai. Wei Li mengangkat alis. “Bagus. Ketawa bikin lengah.” Kun A Tai menatap Wei Li. “Kau tahu apa yang kau lakukan.” Wei Li menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Gue cuma berhenti jadi bidak.” Ia berdiri, berjalan ke jendela. Tangannya mengepal, lalu dibuka.
Nama boleh dipilihkan, pikirnya. Tapi hidup? Itu keputusan gue. Dan untuk pertama kalinya sejak Shen Yu An menyentuh dunianya, Wei Li merasa bukan terancam. Melainkan siap.