Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 > Detik Yang Mengubah Takdir
Suara tembakan itu menggema seperti petir yang membelah malam. Serene terhuyung, dunia di sekelilingnya seolah membeku. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat. Untuk sepersekian detik, ia benar-benar yakin... peluru itu mengenainya.
“Atau… anak-anakku?” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.
Namun rasa sakit yang ia rasakan bukan dari peluru.
Melainkan dari jeritan yang datang dari dalam van.
Aurelia. Raiden berlari.
Ia tak lagi peduli pada siapa pun, tak lagi menghitung langkah atau strategi. Semua perhitungannya runtuh ketika melihat Serene berdiri di luar van dengan wajah pucat, tangan gemetar memeluk perutnya.“SERENE!” Suara itu memecah malam.
Serene menoleh. Tatapan mereka bertemu. Dalam satu detik itu, semua ketakutan, kesalahpahaman, dan jarak yang memisahkan mereka seperti lenyap. Yang tersisa hanyalah satu hal: kepastian bahwa pria itu nyata. Bahwa ia datang.
Namun sebelum Raiden bisa mencapainya... “Awas!” Arlo berteriak.
Seseorang muncul dari balik bayangan. Senjata terangkat. Tembakan kedua dilepaskan.
Raiden mendorong Serene ke belakangnya tanpa ragu. Peluru itu menghantam bahunya. Darah pun muncrat seketika.
“RAIDEN!” Serene menjerit histeris.
Tubuh Raiden terhuyung, namun ia tetap berdiri. Rahangnya mengeras, matanya gelap dan mematikan. “Bawa dia pergi,” perintahnya dingin pada Arlo.
“Tuan, luka Anda-”
“SEKARANG!”
Mendengar perintah itu, Arlo segera menarik Serene menjauh meski ia meronta. “Tidak! Jangan tinggalkan dia! Raiden!”
Raiden menoleh sekilas. Senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang sama sekali tidak menenangkan. “Tenang,” katanya pelan. “Aku belum mati.”
Dan kemudian, ia mengangkat senjatanya. Baku tembak berlangsung singkat namun brutal. Anak buah Aurelia jatuh satu persatu. Mereka tidak pernah menyangka Raiden akan turun tangan sendiri... dan itu adalah kesalahan fatal. Raiden bergerak cepat, presisi, tanpa emosi.
Setiap peluru adalah keputusan. Setiap langkah adalah perhitungan. Ketika suara tembakan terakhir mereda, malam kembali sunyi, namun sunyi yang dipenuhi bau mesiu dan darah. Raiden berdiri terengah, bahunya basah dengan noda merah.
Aurelia tergeletak bersandar di sisi van, darah mengalir dari lengannya. Wajahnya pucat, namun matanya masih menatap Raiden dengan penuh perlawanan. “Kau gila,” gumamnya. “Kau benar-benar rela menghancurkan segalanya demi dia.”
Raiden mendekat perlahan. “Aku membangun segalanya untuk melindunginya,” jawabnya dingin.
“Kau hanya lupa tempatmu.”
Aurelia tersenyum lemah. “Dan kau lupa satu hal.”
Raiden berhenti. “Apa?”
“Permainan ini belum selesai.”
Raiden menatapnya tajam. “Aku akan mengakhirinya malam ini.”
Aurelia tertawa kecil, lalu batuk darah. “Kalau begitu… kau terlambat.”
Raiden mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Aurelia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah flashdisk kecil berwarna perak. “Semua data,” katanya terengah. “Tentangmu. Tentang Serene. Tentang anak-anak itu.”
Raiden membeku. “Apa yang kau katakan?”
“Kehamilan itu,” Aurelia tersenyum miring. “Tidak sesederhana yang kau kira.”
Raiden melangkah maju dan mencengkeram kerahnya. “Jelaskan.”
Aurelia menatapnya lurus, senyum tipis penuh racun menghiasi wajahnya. “Jika kau membunuhku,” katanya pelan, “kebenaran itu akan tersebar ke seluruh dunia.”
Raiden menggertakkan gigi. Untuk pertama kalinya malam itu, ia ragu.
***
Di dalam mobil medis yang melaju kencang, Serene menggigil. Tangannya dingin, keringat membasahi pelipisnya. Perutnya kembali terasa nyeri, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. “Dia terluka,” bisiknya berulang.
“Raiden terluka…”
“Fokus bernapas, Nyonya,” kata paramedis dengan suara tegang. “Kontraksi Anda meningkat.”
Serene membelalak. “Kontraksi?”
“Ya. Ini belum waktunya, tapi tubuh Anda dalam tekanan berat.”
Serene menangis. “Tolong… anak-anakku…”
Paramedis saling pandang. “Kita harus segera sampai rumah sakit.”
Serene memejamkan mata. Bayangan Raiden yang berdarah, berdiri sendirian, terus menghantui pikirannya. “Jangan mati,” bisiknya. “Tolong… jangan tinggalkan aku sekarang.”
***
Raiden akhirnya melepaskan Aurelia. Ia mengambil flashdisk itu dari tangannya. “Jika ini tipuan-” suaranya mengandung ancaman mematikan.
“Periksa saja,” potong Aurelia. “Dan kau akan mengerti… mengapa aku melakukan semua ini.”
Raiden menatapnya lama. “Bawa dia!” perintahnya pada anak buah yang tersisa. “Hidup.”
Aurelia tersenyum samar. “Pilihan yang bijak.”
Namun sebelum ia dibawa pergi, ia menambahkan dengan suara hampir berbisik: “Raiden… bersiaplah. Karena musuh terbesarmu bukan aku.”
Raiden tidak menjawab. Ia sudah berbalik.
Di dalam mobil, Arlo menyambungkan flashdisk itu ke tablet. Layar menyala. File terbuka.
Raiden membaca. Satu halaman. Dua halaman. Wajahnya mengeras.
“Ini…” Arlo terdiam. “Tuan, ini tidak mungkin.”
Raiden mengepalkan tangan begitu keras hingga kuku jarinya memutih. “Dia tahu,” gumamnya. “Mereka semua tahu.”
Arlo menelan ludah. “Tentang apa?”
Raiden menatap layar... dan untuk pertama kalinya sejak lama, ada sesuatu selain amarah di matanya.
Ketakutan. “Kehamilan Serene,” katanya pelan. “Bukan hanya soal anak.”
Arlo membelalak. “Maksud Anda?”
Raiden memejamkan mata sesaat. “Anak-anakku,” ucapnya dingin, “adalah kunci perang yang sebenarnya.”
***
Mobil melaju kencang menuju rumah sakit. Di kejauhan, sirene meraung. Raiden membuka mata. “Dan jika rahasia ini bocor,” katanya pelan namun mematikan, “Serene dan bayi-bayinya tidak akan pernah aman.”
Layar tablet kembali menyala-menampilkan satu kalimat terakhir yang membuat napas Raiden terhenti:
“SUBJEK KEHAMILAN GANDA - PROYEK VARENDRA.”
Raiden membeku. Dan dunia kembali terancam runtuh.
***
Masalah semakin rumit, akankah Raiden berhasil memenangkan perang ini?
To be continued