Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMPRUL
Menjadi istri Fabian ternyata bahagia juga. Dia benar-benar meratukan ku, hanya boleh melayani dia urusan ranjang saja. Urusan makan dan pekerjaan rumah, dia memanggil pekerja rumah utama, dan ART itu pulang saat sudah selesai jadi tak menginap di rumah ini. Aku pun diantar jemput saat ke kantor. Sungguh aku merasa bahagia di pernikahan ini.
Kadang kalau malam aku terbangun, ku tatap wajah gantengnya, hati kecilku mendorong untuk memberikan hati padanya, karena aku juga berhak mencintai Fabian, meski hatinya tak sepenuhnya milikku. Siapa sih perempuan yang tak mau diratukan oleh Fabian, kalau ditanya sekarang Maya mungkin juga mau sama Fabian. Perhatiannya, act of service, gak pelit, dan dia benar-benar merangkul keluarga juga. Ibu dan bapak merasa dihargai sebagai mertua, weekend begitu setelah ke ritel mengunjungi rumahku sembari membawakan makanan untuk bapak dan ibu serta Sulthan, lanjut ke rumah utama saat malam menjelang makan siang. Begitu rutinitas yang selalu Fabian lakukan semenjak kita nikah.
Meski dia tidak pernah menginap di rumahku, tak apa, aku sadar diri, dia pasti tak nyaman. Ibu juga menyadari akan hal itu, jadi gak usah ribet yang penting Fabian mau menghormati mertua, tidak seperti Akbar dulu.
"Capek aku!" keluhku saat jalan pagi di area kompleks perumahan rumah utama minggu pagi. Pantas saja tenaganya kuat, dia memang tiap pagi jalan, di rumah pun treadmill juga.
"Baru juga sebentar, belum dapat 1 kilo!" aku mendengus, dih mana mau aku jalan sampai sejauh itu. Biar dia saja. Tapi ia terus menggeretku, dan lebih gongnya dia malah menggendong belakang aku. Katanya sekalian angkat beban.
"Aku gak gendut kali!" ujarku tak terima, saat dia bilang aduh beratnya.
"Gak gendut, berisi hanya bagian yang kusuka saja," mulai deh mode jahilnya keluar. Di area luar loh bahas hal intim, Aku menjewer telinganya saja, dia tertawa sembari mengadu. Hingga masuk ke halaman rumah, aku masih digendong. Bahkan Pak Satpam saja tersenyum melihat posisiku sekarang.
"Capek ya, Non!" ucap Pak Satpam saat membuka pagar.
"Dia manja, Pak Karmin, bilangnya capek aslinya mau digendong suaminya!" ledek Fabian, duh bikin aku malu saja. Lagi-lagi telinganya aku jewer, dan dia makin tertawa saja.
"Udah ah aku turun. Malu dilihat mama papa nanti."
"Biar mereka pengen."
"Nanti kalau Maya yang pengen gimana?" bisikku.
"Boleh aku gendong sekalian!" ceplos Fabian dan langsung aku gigit telinganya, hingga dia tak sengaja melepas tangannya, alhasil aku langsung melorot jatuh.
"Sakit tahu!" omelku, eh dia malah tertawa ngakak. Dipikir lucu kali ya. "Bantu berdiri."
"Ogah, salah siapa gigit telingaku!" ucapnya sembari berkacak pinggang.
"Oke, gak bakal aku kasih jatah!" ancamku dan dia langsung tertawa dan bertekuk lutut.
"Jangan dong, Nyonya. Hidup matiku itu," giliran aku yang tertawa ngakak, dia makin usil malah menggelitik pinggangku hingga aku tertidur di halaman, kita tertawa bersama toh area itu sepi juga.
Puas bercanda, kita pun ke area dapur mengambil air, ternyata ada Maya dan mama. Aku sih biasa saja, Fabian juga tampak biasa saja ambil minum di kulkas. Mungkin dia juga sudah mulai berdamai dengan keadaan.
"Pagi, Ma, Mbak!" sapaku sembari minum air dan duduk di samping Fabian.
"Pagi Sayang!" jawab mama sembari tersenyum padaku. "Tadi gak mampir bubur ayam?" tanya beliau.
"Mana mau dia jalan ke bubur ayam, Ma. Baru sebentar udah capek," sindir Fabian, aku langsung menabok pundaknya, dan Fabian tertawa. Malu banget didengar mama dan Maya.
"Katanya sarapan harus di rumah, gimana sih!" jawabku membela diri.
"Iya habis ini kita sarapan, Sayang!"
"Aku bantu deh, Ma!" jawabku beranjak dari kursi, namun Fabian malah menarik tanganku.
"Kita mandi dulu, bau keringat tahu!" ujarnya tak mau dibantah.
"Udah sana!" ujar mama malah mendukung Fabian, aku pun ikut rencana Fabian. Tapi aku merasa, sepertinya Fabian melarangku dekat dengan Maya.
"Kamu gak mau aku dekat dengan Maya?" tanyaku sembari membuka celana training.
"Iya!"
"Kenapa?"
"Aku gak mau kamu mendengar tentangku dari mulutnya."
"Maksudnya."
"Bisa saja dia bilang Fabian suka ini, kamu tahu gak? Fabian alergi ini, kamu tahu gak. Aku gak mau kamu minder karena gak tahu banyak soal suamimu."
"Kok kamu so sweet banget," ujarku sembari menatapnya. Bagiku dia sangat menghargai perasaaanku. Semakin meleleh saja dibuatnya.
"Baru tahu!" ucapnya mulai usil, mendekatiku dengan telanjang dada begini.
"Mau apa? Bau keringat tahu!" omelku menahan perut six packnya.
"Kayak gak pernah berkeringat bareng aja," ujarnya menarikku masuk ke kamar mandi. Kembali mengulang kegiatan panas tadi malam, namun hanya sebentar karena kita tak mau keluarga menunggu, 20 menit lagi jadwal sarapan. Fabian masih menghormati aturan di keluarga ini.
Jovan tidak ada di meja makan, kata Maya dia sedang ke luar kota, ada proyek baru yang hendak ia kembangkan. Soal proyek papa selalu bangga dengan anak pertamanya itu, selalu visioner.
"Kamu gak mau bikin perusahaan seperti Jovan, Ian?" tanya papa usai sarapan. "Kalau kamu bikin perusahaan, tentu istri kamu tak perlu kerja kantor."
"Tidak, Pa. Aku masih nyaman begini. Lagian Namira biar tidak bosan saja menjalani hidup, masa' tiap hari sama aku doang. Ada kalanya dia berinteraksi dengan teman kantornya, biar tambah bahagia juga!" ujar Fabian.
Aku menoleh pada Fabian, tuh kan omongannya manis banget kan. Gini kalau aku menolak jatuh cinta ya sulit. Tiap hari diperlakukan manis begini. "Memangnya gak ada tugas ke luar kota, Mir?" tanya papa, biasanya kalau kerja kantoran juga ada dinas luar.
"Ada, Pa. Minggu depan saya ditugaskan ke Surabaya selama seminggu."
"Dan aku ikut!" lanjut Fabian tegas, memang sudah ada diskusi, Namira sih gak masalah. Yang penting tidak mengganggu pekerjaan Fabian juga di sini, toh laporan juga bisa dihandle jarak jauh.
"Kalian ini tidak terdengar pacaran tapi bisa sekompak ini, tidak pura-pura kan?" tanya papa sembari tersenyum meremehkan. Aku dan Fabian sedikit kaget dengan penilaian papa. Mungkin beliau tahu bagaimana Fabian selama ini, tapi begitu menikah dengan aku Fabian berubah dan begitu dekat denganku.
"Pura-pura gimana, Pa?"
"Ya siapa tahu, di depan kami merasa bahagia dengan pernikahan ini. Ternyata di balik layar kamu dan Namira gak akur."
Fabian tersenyum, "Papa sidak aja ke rumahku, tiap malam juga gak pa-pa, cek suara desahannya Namira!"
Semprul, paha Fabian langsung aku cubit, ya Allah malunya, di depan keluarga lagi. Bahkan istri pertama papa langsung tersedak. Aku melotot pada Fabian.
Papa malah tertawa ngakak, mungkin refleksnya ekspresiku inilah yang membuat papa percaya kalau kita menjalani pernikahan dengan santai dan benar-benar seperti pasangan pada umumnya.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.