Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.27 DUNIA SUCI
Kegelapan lenyap.
Cahaya putih menyelimuti segalanya.
Tak ada suara, tak ada arah, tak ada batas.
Xiau Chen melayang di antara cahaya dan kehampaan, tubuhnya bagaikan debu yang terombang-ambing di lautan waktu.
“Di mana aku…?”
Suara itu bergema di dalam kesadarannya sendiri — samar, terdistorsi, namun nyata. Ia berusaha mengatur napas, tetapi bahkan napas tidak memiliki makna di tempat ini.
Yang ada hanyalah denyut — bukan dari jantung, tetapi dari jiwa.
Denyut yang beresonansi dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.
Lalu, di antara kesunyian itu, terdengar gema lembut yang bukan berasal dari udara, melainkan dari esensi alam itu sendiri:
“Selamat datang… di Dunia Alam suci.”
“Tempat di mana kelahiran dan kematian tidak berbeda. Tempat di mana waktu berhenti, dan jiwa menilai dirinya sendiri.”
Cahaya putih mulai memadat.
Dunia perlahan mengambil bentuk — gunung-gunung melayang di langit, sungai-sungai qi mengalir berbalik arah, dan dua matahari berputar di angkasa: satu memancarkan api putih murni, yang lainnya bersinar biru pucat seakan mengandung dingin surgawi.
Xiau Chen berdiri di atas dataran batu obsidian yang berkilau, hitam seperti kaca namun menyimpan pantulan cahaya tak terhingga. Saat kakinya menyentuh permukaan itu, seluruh medan qi di sekitarnya bergetar hebat, seolah dunia menolak kehadirannya.
“Qi-nya... begitu pekat,” gumamnya. “Tidak seperti di dunia fana. Ini bukan energi biasa, melainkan… Esensi Primordial, kekuatan sebelum langit dan bumi lahir.”
Tiba-tiba langit bergemuruh.
Kabut putih terbelah, dan dari dalamnya muncul sosok raksasa berwujud kabut cahaya. Ia tak memiliki wajah, namun aura sucinya menekan segala hal hingga udara berhenti bergerak.
“Kau… bukan penghuni dunia ini.”
Suaranya bergulung bagai guntur di dasar laut. “Mengapa kau datang membawa bekas jiwa yang....penjaga itu terdiam.
Xiau Chen menegakkan tubuhnya.
“Aku tidak datang dengan sengaja. Langit Kesembilan runtuh, dan pusaran qi menelanku. Jika yang kau maksud adalah pecahan jiwa Mo Tian, aku tidak menyangkal — sebagian darinya ikut bersamaku.”
Sosok cahaya itu berguncang.
“Nama itu… Mo Tian…” gumamnya berat. “Kegelapan yang bahkan para Penjaga Dunia Alam suci Tak takut menyebutnya. Kau membawa bagian dari bencana yang dulu hampir memusnahkan seluruh tatanan.”
Udara murni mendadak berubah.
Dari balik tubuh Xiau Chen muncul aliran hitam pekat, seperti tinta menetes ke air jernih. Cahaya putih di sekitarnya menjerit, dan tanah bergetar oleh ketidakseimbangan.
Bayangan kabur terbentuk — tinggi, kurus, matanya kosong, namun auranya penuh amarah purba.
Sisa jiwa Mo Tian.
“Jadi ini… tempat yang menolak kegelapan,” bisik Xiau Chen. “Tapi bahkan tempat sebersih ini tak mampu menolakmu.”
Bayangan itu tertawa rendah.
“Hahaha… tempat murni hanyalah tanah subur bagi kegelapan untuk tumbuh. Di sini, di mana tak ada dosa dan tak ada amarah, akulah satu-satunya ketidaksempurnaan — dan dari ketidaksempurnaan itu, kekuatan lahir kembali.”
Energi hitam menembus langit, menelan sebagian matahari putih. Dunia Alam Suci bergetar.
“Makhluk fana!” teriak sang Penjaga, mengangkat tangannya membentuk penghalang qi.
“Pergunakan kekuatanmu! Jika kegelapan ini tidak dihentikan, Dunia Tanpa Nama akan musnah dan seluruh dimensi akan runtuh!”
Xiau Chen menggenggam pedangnya, Pedang Jiwa Abadi, bilahnya berkilau putih dengan garis giok di tengah.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “saksikan. Aku akan menutup kegelapan ini sekalipun harus mengorbankan jiwaku.”
Ia mengangkat pedangnya tinggi. Cahaya menyembur dari seluruh tubuhnya — Tulang Leluhur Dewa Langit menyala di punggungnya, Mata Jiwa Purba terbuka di dahinya, dan Pedang Penutup Waktu di pinggangnya bergetar, memancarkan resonansi dengan dimensi itu sendiri.
Ruang membeku.
Waktu berhenti.
Bayangan Mo Tian berteriak marah, membelah diri menjadi ribuan partikel hitam, menyerbu segala arah.
“Formasi Sembilan Langit — Penutup Abadi!”
Sembilan lingkaran energi muncul di sekeliling Xiau Chen. Masing-masing berwarna berbeda — putih, merah, biru, hijau, emas, ungu, hitam, perak, dan transparan.
Formasi itu menutup ruang, menyatukan seluruh energi langit yang pernah ia kuasai.
Pusaran kegelapan menjerit, ditelan cahaya.
Namun sebelum sepenuhnya lenyap, seberkas hitam lebih pekat menembus pertahanan Xiau Chen dan masuk ke dalam tubuhnya.
Tubuhnya membeku.
Sebuah suara terdengar dari dalam pikirannya:
“Kau tidak akan bisa menyingkirkan aku, Xiau Chen. Aku telah bersemayam di dalam darahmu. Aku bukan musuhmu… aku adalah bagian darimu.”
Cahaya memudar.
Sang Penjaga memandangnya dengan sorot tak dapat dijelaskan.
“Kau telah menyelamatkan dunia ini,” katanya perlahan. “Namun kau membayar harga besar. Kini kau membawa dua jiwa dalam satu tubuh — milikmu, dan miliknya. Dunia ini akan menolakmu, dan dunia asalmu tak akan menerimamu lagi.”
Xiau Chen menatap telapak tangannya. Setengah bercahaya putih, setengah berurat hitam.
“Jadi aku… berada di antara cahaya dan kegelapan.”
“Benar,” jawab sang Penjaga. “Selama dua kekuatan itu tidak seimbang, kau akan menjadi pintu bagi kehancuran.”
Xiau Chen mengepalkan tangannya. “Maka aku harus menjadikannya pedangku sendiri.”
Waktu berlalu tanpa ukuran.
Di puncak gunung qi putih, Xiau Chen duduk bersila, bermeditasi. Dua suara beradu di dalam dirinya — satu lembut dan jernih, satu kelam dan berbisik.
“Berhentilah melawan, Xiau Chen,” bisik suara Mo Tian.
Namun Xiau Chen tersenyum tipis. “Jika aku menyatu denganmu, maka dunia fana akan musnah. Kau adalah sisa masa lalu, bukan masa depan.”
Cahaya giok menyelimuti tubuhnya. Energi murni dunia ini masuk ke jantungnya, membentuk lapisan baru di inti jiwanya.
Ia mencapai tingkat yang belum pernah ada di dunia fana — Ranah Asal Jiwa, titik di mana manusia dan dewa bersentuhan.
Langit bergetar lembut, seolah mengakui keberadaannya.
Dari kejauhan, di balik kabut putih, sosok berjubah panjang dengan simbol sembilan matahari di punggungnya menatap diam.
Ia tersenyum samar.
“Pewaris inti dunia… akhirnya lahir kembali. Tapi ia tidak tahu — setiap langit yang ia lewati, setiap ujian yang ia taklukkan, telah membuka satu segel yang menahan Mo Tian. Kini, hanya satu segel tersisa.”
Angin putih berdesir, membawa bisikan terakhir dari sosok itu:
“Dan ketika segel terakhir hancur… Sang Kegelapan Absolut akan bangkit sempurna — di dalam tubuh pewarisnya sendiri.”
Xiau Chen membuka mata.
Dunia di hadapannya tenang, tapi hatinya gelisah. Dalam kedalaman dirinya, dua jiwa berdetak bersamaan — satu mencari cahaya, satu menunggu waktu.
Dalam kegelisahan xiau chen.. Suara Mo Tian bergema lirih...