NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:218
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: DIAGNOSIS MANDIRI

Waktu seakan membeku. Pukul 04.14 dini hari.

Rania tidak bergerak. Dia hanya berbaring telentang di ranjangnya yang berderit, menatap langit-langit. Matanya terpaku pada retakan itu.

Itu tidak besar. Itu adalah jaringan garis-garis rambut yang rumit, menyebar dari pitingan lampu di tengah ruangan. Dalam cahaya abu-abu redup yang menyelinap dari jendela, retakan itu tampak hampir seperti lukisan tinta yang halus.

Dan itu adalah pola yang *sama persis* dengan yang ada di Mangkuk Porselen Kuno terkutuk itu.

Dia mengenali keacakan yang disengaja dalam desainnya, cara garis-garis itu berpotongan pada sudut-sudut yang mustahil, menciptakan bentuk-bentuk geometris yang terasa *salah* secara subtil.

Napasnya tertahan di tenggorokannya. Rasa dingin baja di tulangnya kini berdenyut seirama dengan detak jantungnya yang panik.

"Tidak," bisiknya ke ruangan yang sunyi dan teredam itu. "Tidak mungkin."

Arsitek di dalam dirinya—bagian logis yang telah dilatih selama empat tahun untuk memahami material dan tegangan—memberontak.

Ini adalah apartemen tua. Bangunan dari tahun 70-an. Gipsum retak. Itu *normal*. Itu adalah akibat dari penurunan fondasi, getaran dari jalan raya, kelembapan.

Tapi tidak seperti ini.

Dia memaksa dirinya untuk bangkit. Kakinya terasa berat, seolah terendam dalam semen basah. Dia menyalakan lampu mejanya, *Artemide Tizio* kesayangannya. Cahaya kuning yang hangat dan fokus membanjiri ruangan, membuat bayangan-bayangan di sudut menyingkir.

Dia menyeret kursi belajarnya yang beroda tepat di bawah lampu. Dia naik ke atasnya, wajahnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter dari langit-langit.

Dia mengulurkan jari yang gemetar.

Pertama, dia menyentuh gipsum yang normal. Rasanya seperti yang seharusnya: kering, berkapur, dan sedikit hangat dari panas sisa di lantai atas.

Lalu, dia menyentuhkan ujung jarinya ke garis retakan itu.

Dia menarik napas tajam.

Itu *dingin*.

Bukan dingin yang wajar. Ini adalah dingin yang padat dan dalam, seperti menyentuh balok es kering. Dan teksturnya...

"Ini bukan gipsum," gumamnya, matanya melebar tak percaya.

Dia mengetuknya dengan kukunya. *Tap, tap, tap*. Gipsum yang sehat akan berbunyi *thud* yang tumpul.

Ini berbunyi *tik, tik, tik*. Keras, nyaring, dan padat.

Seperti... porselen.

Dia menggeser jarinya di sepanjang salah satu retakan. Itu bukan retakan *pada* gipsum. Rasanya seperti... *sambungan*. Seolah-olah ada sesuatu yang *dimasukkan* ke dalam langit-langitnya, dengan presisi yang mustahil.

Dia melompat turun dari kursi, hampir terkilir.

"Oke." Dia mondar-mandir di studio kecilnya, mengusap-usap rambutnya dengan panik. "Oke, Rania. Logis. Mari kita logis."

Dia meraih laptopnya dari meja, kabelnya tertarik kencang. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, membuka peramban.

Dia mulai mengetik.

*04.22 AM.*

*Pencarian: "halusinasi visual dan taktil"*

Halaman-halaman tautan berwarna biru dan ungu membanjiri layarnya. WebMD. Alodokter. Forum-forum kesehatan mental.

*Gejala:* "Melihat pola atau cahaya yang tidak ada." *Centang.*

*Gejala:* "Merasakan sensasi aneh di kulit, seperti dingin atau basah, yang tidak nyata." *Centang.*

*Gejala:* "Gangguan persepsi, merasa dunia tidak nyata atau terdistorsi (derealization)." *Centang.*

Dia mengklik tautan tentang "Psikosis Akibat Stres".

"Disebabkan oleh stres ekstrem, kurang tidur kronis, atau *burnout*..."

Rania tertawa. Tawa itu keluar serak dan kering, tanpa humor sama sekali. "Stres ekstrem? Kurang tidur? *Burnout*? Itu deskripsi pekerjaanku."

Dia terus membaca. Halaman demi halaman.

"Somatoparaphrenia," gumamnya, mengeja kata aneh itu. "Delusi di mana pasien percaya bagian tubuh mereka tidak lagi menjadi milik mereka... atau bergerak sendiri."

Dia langsung teringat refleksinya di cermin kamar mandi. Refleksi yang tersenyum.

Rasa mual membakar tenggorokannya.

Ini dia. Ini jawabannya. Jawaban yang logis, yang didukung sains, yang menakutkan, tapi *bisa dimengerti*.

"Aku tidak gila," bisiknya pada layar laptopnya yang menyala. "Aku... sakit. Otakku rusak."

Dia lebih suka menjadi "rusak" daripada "dihantui". Kerusakan bisa diperbaiki. Kerusakan itu nyata. Arsitek di dalam dirinya memahami kerusakan.

*04.45 AM.*

Dia menggali lebih dalam. Dia mencari "efek neurologis dari kelelahan kurir". Dia mencari "halusinasi pola arsitektural". Dia mencari "apophenia"—kecenderungan manusia untuk melihat pola yang bermakna dalam data acak.

"Ya," dia meyakinkan dirinya sendiri. "Itu dia. Apophenia. Aku sangat tertekan dengan pekerjaanku yang tidak sesuai dengan pendidikanku, sehingga otakku yang bosan mulai *menciptakan* pola arsitektural di mana-mana. Retakan itu. Mangkuk itu. Mimpi *blueprint* itu. Semuanya terhubung *di dalam kepalaku*."

Dia merasa sedikit lebih baik. Sedikit lebih tenang. Rasa dingin di tulangnya terasa sedikit berkurang, digantikan oleh kelelahan yang mematikan.

Dia punya rencana. Dia akan mengambil cuti. Dia akan tidur. Dia akan menelepon Reza nanti pagi dan memberitahunya bahwa dia tidak akan mengambil pekerjaan aneh lagi. Dan besok, atau lusa, dia akan membuat janji dengan psikiater yang direkomendasikan kampusnya dulu.

Dia akan memperbaikinya. Dia akan memperbaiki otaknya yang rusak.

Dia menutup laptopnya. Ruangan itu perlahan mulai terang. Garis-garis cahaya abu-abu pertama di ufuk timur mulai menyaring masuk melalui jendela apartemennya.

*06.15 AM.*

Rania tidak bisa tidur lagi. Dia hanya duduk di tempat tidurnya, memeluk lututnya, menatap retakan di langit-langit yang kini terlihat jelas dalam cahaya pagi.

Itu masih di sana. Pola porselen yang dingin itu.

Tapi sekarang dia punya label untuk itu. *Halusinasi.*

"Kamu tidak nyata," katanya pada retakan itu. "Kamu adalah gejala dari otakku yang kelebihan beban kerja."

Retakan itu tidak menjawab.

*06.40 AM.*

Dia butuh kopi. Dia butuh sesuatu yang normal. Sesuatu yang membumi.

Dia bangkit, kakinya kaku. Apartemennya masih terasa *teredam*, tapi dia mengabaikannya. Itu adalah gejala *derealization*. Dia sudah membacanya.

Dia berjalan ke dapur kecilnya, menyalakan ketel air listrik. Dia mengambil cangkir keramik favoritnya—cangkir tebal berwarna hitam pekat, satu-satunya benda yang dia beli dari toko suvenir museum saat dia masih idealis di tahun pertama kuliah.

Dia menunggu air mendidih, bersandar di meja dapur, membelakangi langit-langit terkutuk itu. Dia memejamkan mata, mendengarkan desisan ketel yang semakin keras. Suara normal. Suara yang bagus.

*Plop.*

Rania membuka matanya.

Itu adalah suara yang sangat kecil. Sangat spesifik. Suara setetes cairan kental yang jatuh ke permukaan yang keras.

Itu bukan suara dari ketelnya.

Perlahan, takut pada apa yang mungkin akan dilihatnya, Rania berbalik.

Dia melihat ke meja belajarnya—meja kayu solid tempat *drafting* yang selalu dia jaga kebersihannya, terlepas dari kekacauan di sisa apartemennya.

Tepat di tengah meja, di atas selembar kertas *blueprint* lama yang kosong, ada setetes cairan.

Dia mendekat, jantungnya serasa berhenti di dalam dadanya.

Itu bukan air.

Warnanya hitam pekat, tapi memiliki kilau seperti minyak pelangi di atas genangan air. Kental. Seperti oli mesin bekas. Dan ukurannya besar, seukuran koin seratus rupiah.

Rania mendongak.

Tepat di atas tetesan itu, di langit-langit, di salah satu persimpangan garis retakan porselen itu, sebuah tetesan lain sedang terbentuk.

Dia menyaksikannya dengan ngeri, seolah dalam gerakan lambat. Tetesan hitam kental itu mengumpul, melawan gravitasi selama beberapa detik, sebelum akhirnya melepaskan diri dan jatuh.

*Plop.*

Tetesan kedua mendarat di samping tetesan pertama.

Rania tidak bergerak. Dia hanya bisa menatap.

Asap tipis tak berwarna mengepul dari tetesan itu, dan bau yang menyengat memenuhi dapur kecilnya.

Itu adalah bau yang dia kenali. Bau yang dia cium di toko antik terkutuk itu.

Bau ozon yang tajam, seperti udara sebelum badai petir. Dan bau debu yang sangat tua. Debu museum, debu buku yang membusuk, debu dari tempat-tempat yang telah lama dilupakan.

Diagnosisnya hancur berkeping-keping.

Halusinasi tidak berbau. Halusinasi tidak menetes. Halusinasi tidak meninggalkan noda oli kental di atas meja *drafting*-nya.

Ini nyata.

Ini ada di apartemennya.

Retakan di langit-langit itu *nyata*. Benda itu *bocor*.

Rasa dingin di tulangnya meledak menjadi teror yang murni dan membekukan. Dia tidak sakit. Dia tidak gila.

Dia dalam bahaya.

Dia tidak mengambil apa-apa. Tidak dompet, tidak ponsel, tidak jaket. Dia hanya berbalik, berlari ke pintu depan, merenggut gagang pintu, dan lari terbirit-birit menuruni empat lantai tangga darurat, suaranya sendiri akhirnya keluar dalam satu sobekan napas yang panik.

Dia tidak berhenti berlari sampai dia berada di trotoar yang ramai, di bawah cahaya matahari pagi yang kini terasa salah dan menipu, dikelilingi oleh orang-orang normal yang sibuk dengan kehidupan mereka, tidak menyadari bahwa langit-langit di atas kota mereka baru saja mulai bocor.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!