Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melangkah Menuju Kehampaan
Dr. Reza Jayadi mengangguk pelan. "Keluarga kami memang turun-temurun jadi dokter. Leluhur kami tabib keraton, kakek buyut dokter lulusan luar negeri pertama."
Dia menunjuk pria paruh baya di sebelahnya. "Dan beliau ini Pakde saya..."
"Eits, jangan panggil Pakde dulu. Saya nggak merasa punya keponakan sebandel kamu," potong Profesor Jayadi, tapi senyumnya ramah saat menatap Salsa Liani dan kakaknya.
Profesor Jayadi adalah kepala Pusat Penelitian Penyakit Mata Langka Nusantara. Tempat canggih, elit, dan harapan terakhir bagi banyak orang.
Setelah memeriksa hasil tes Surya Linardi, Profesor Jayadi menghela napas panjang. Suara helaan napas itu membuat jantung Salsa serasa berhenti. Dia refleks meremas lengan baju kakaknya.
"Degenerasi penglihatan pasien terlalu cepat. Sudah stadium akhir," ucap Profesor Jayadi jujur. "Terapi gen sudah terlambat. Tapi..."
Jeda kalimat itu membuat Salsa menahan napas.
"Kebetulan, lab saya sedang mengembangkan 'mata bionik'. Metodenya menanam chip implan di retina. Meski sudah buta total, pasien masih punya harapan melihat cahaya lagi."
Mata Salsa langsung berkaca-kaca. Harapan! Sekecil apa pun, itu harapan!
Surya yang biasanya tenang langsung mengangkat wajahnya.
"Hanya saja," lanjut Profesor Jayadi sambil membetulkan letak kacamatanya, "Kami masih tahap riset. Tantangannya berat, terutama... dana. Kami butuh napas panjang soal biaya."
Salsa langsung paham. Intinya: Teknologinya ada, duitnya kurang.
Dia berbisik pada kakaknya. Surya tampak ragu, "Tapi, Sa..."
"Nggak ada tapi-tapi. Matamu itu prioritas utama," potong Salsa tegas. Dia lalu menatap Profesor Jayadi dengan mata berbinar. "Prof, kalau kami investasi dana pribadi, boleh nggak?"
Profesor Jayadi bengong sebentar, lalu tertawa lebar. "Tentu saja boleh! Tapi riset medis itu mahal dan lama lho. Kamu yakin?"
Profesor Jayadi jarang main sosmed, jadi dia nggak tahu kalau cowok buta di depannya ini sedang viral-viralnya.
"Yakin banget! Kakak saya ini mesin uang, Prof!" Salsa menepuk bahu Surya dengan bangga. "Lagu ciptaannya lagi meledak di mana-mana. Royaltinya miliaran! Nanti dia bakal bikin lagu hits lagi, duitnya bakal ngalir terus!"
Surya tersenyum tipis mendengar adiknya pamer.
"Kakak bilang semua royalti buat jajan saya. Nah, sekarang saya mau pakai 'uang jajan' itu buat modalin proyek Prof ini."
Salsa tidak asal bicara. Lagu "Surat di pagi berkabut" milik Surya sudah diputar ratusan juta kali. Royalti streaming, pemakaian di Toktok, belum lagi lisensi cover, nilainya fantastis. Dan ini baru permulaan.
Mendengar itu, Profesor Jayadi menatap Surya dengan kagum. Pemuda ini buta, tapi prestasinya luar biasa. "Wah, kalian ini mau jadi angel investor ya? Jujur saja, kami memang butuh donor berkelanjutan seperti ini."
Surya masih ragu. "Sa, aku udah bisa mandiri kok. Uang sebanyak itu... mending buat beli properti buat masa depanmu."
"Kak, duit segitu kapan habisnya kalau cuma buat jajan? Lagian harga sepasang mata Kakak itu nggak ternilai," bujuk Salsa, lalu mengeluarkan jurus andalannya—logika cuan.
"Lagian ini bukan buang duit, Kak. Dengerin Prof tadi. Kalau riset ini sukses, ini bakal jadi sejarah medis! Nanti kalau patennya jadi, dokter mata seluruh dunia bakal antre bayar lisensi ke kita. Kita bakal kaya tujuh turunan!"
Salsa menoleh ke Profesor. "Bener kan, Prof?"
Profesor Jayadi tertawa lepas. "Betul! Bahasanya sederhana, tapi logikanya masuk akal."
Akhirnya, Surya luluh. Dia setuju. Padahal tadinya dia ingin memanjakan Salsa dengan uang itu, tapi sekarang malah dipakai untuk pertaruhan kesembuhannya. Rasa bersalah menyelinap, tapi dia berjanji dalam hati akan bekerja lebih keras lagi.
"Kakak janji bakal nulis lagu lebih banyak. Biar kamu tetap bisa jajan sepuasnya," bisik Surya sambil mengusap kepala adiknya.
"Siap, Bos!"
Profesor Jayadi tersenyum haru melihat interaksi mereka. "Jarang saya lihat kakak-adik sekompak ini. Kalian pantas mendapatkan keajaiban."
Tiga hari berlalu dengan cepat. Hasil tes kesehatan orang tua Salsa juga aman, membuat beban pikiran berkurang.
Hari Jumat pun tiba. Ini hari besar. Keluarga Winata mengatur pertemuan Surya dengan aktor papan atas Arga Mahendra dan manajer legendarisnya, Reza Mahavira.
Di ruang VIP restoran privat yang mewah, Salsa dan Surya duduk menunggu.
Salsa sibuk fan-girling nonton klip film Arga Mahendra di HP-nya. Di layar, Arga terlihat gagah dengan kostum panglima perang, karismanya tumpah-tumpah. Jantung Salsa deg-degan. Sebentar lagi ketemu aslinya!
Pintu terbuka. Reza Mahavira masuk.
Bayangan Salsa tentang manajer artis top itu galak dan kaku. Ternyata, Reza Mahavira santai banget. Ganteng, modis, kemejanya dibuka kancing atasnya, auranya chill tapi berwibawa.
"Saya Reza Mahavira, panggil aja Reza."
Saat melihat Surya, mata Reza berbinar. Visual Surya itu level dewa, sayang sekali matanya tidak bisa melihat. Awalnya Reza skeptis—mengurus artis difabel itu tantangannya berat di industri yang kejam ini. Tapi setelah mendengar demo lagu baru yang dibawa Surya, keraguan Reza lenyap.
Tiga lagu. Tiga genre beda. Semuanya enak.
"Gila..." gumam Reza pelan. "Potensi kamu ngeri. Kita harus kerja sama."
Salsa yang dari tadi tegang, langsung lega. Kakaknya diakui!
Reza melirik jam tangannya. Keningnya berkerut.
18.49.
"Arga kok belum sampai ya?" Reza bergumam, mulai gelisah. "Dia orang paling tepat waktu sedunia. Tadi bilangnya udah jalan."
Reza mencoba menelepon. Nggak diangkat. Telepon asistennya, nggak tahu. Telepon rumah, nihil.
Suasana yang tadinya hangat berubah jadi tegang. Arga Mahendra itu aset nasional, kalau hilang kabar begini pasti ada yang nggak beres.
Tiba-tiba, pintu ruangan didorong kasar.
BRAK!
Semua orang terlonjak. Arga Mahendra berdiri di sana.
Tapi dia bukan Arga yang ada di film. Wajahnya pucat seperti mayat, rambutnya acak-acakan, jas mahalnya kusut, dan napasnya memburu seperti orang habis lari dikejar setan.
Dia berjalan sempoyongan, menabrak kursi sampai jatuh.
"Ga! Lo kenapa?!" Reza langsung melompat menahan tubuh sahabatnya.
Arga mencengkeram lengan Reza, tangannya gemetar hebat. Suaranya pecah, penuh horor.
"Manda... Manda diculik."
PRANG!
Gelas di tangan Reza jatuh pecah.
Manda. Keponakan Arga satu-satunya. Anak dari mendiang kakaknya.
Bagi Arga, Manda adalah nyawanya. Dulu, Arga pernah merasa bersalah karena kakak dan iparnya meninggal kecelakaan saat liburan yang dia biayai. Sejak itu, Manda adalah alasan Arga tetap bernapas.
"Mereka minta delapan puluh miliar..." Arga meracau, matanya kosong. "Kalau lapor polisi, Manda dibunuh. Mereka kirim video... Manda diikat... Dia nangis... Masih pakai jepit rambut ikan yang gue pasangin tadi pagi..."
Air mata Arga tumpah, tapi tanpa suara. "Tangannya merah semua..."
Reza menggeram marah. "Pengawal ke mana?! Makan gaji buta semua?!"
"Manda izin ke toilet pas les lukis... terus hilang..."
Di seberang meja, Salsa merinding. Aura keputusasaan di ruangan itu begitu pekat sampai bikin sesak napas. Surya menggenggam tangan Salsa erat, seolah bertanya apa yang bisa mereka lakukan.
Salsa menatap Arga. Sejak aktor itu masuk, mereka belum bertatapan.
"Mas Arga," panggil Salsa pelan.
Arga mendongak. Mata mereka bertemu.
ZING!
Seketika, pandangan Salsa memburam. Dunia di sekelilingnya berputar dan berganti dengan potongan gambar yang mengerikan. Visi masa depan menyerbu kepalanya.
Arga dikepung lautan wartawan di parkiran. Cahaya flash menyilaukan mata.
"Mas Arga! Apa benar keponakannya diculik?"
"Tebusannya berapa?"
Wartawan-wartawan itu seperti hyena, tidak peduli Arga sedang sekarat karena panik. Mereka menghalangi jalan, membuang waktu berharga.
Arga menyetir sendiri, ngebut. Di belakangnya, mobil-mobil paparazzi membuntuti. Mereka mengejar Arga seolah sedang syuting film aksi, bahkan ada yang berani memepet mobilnya demi dapat shot bagus. Mereka tidak sadar kalau mereka sedang mempertaruhkan nyawa seorang anak kecil!
Ini yang paling mengerikan.
Arga menyeret koper uang ke dalam gudang kosong. Dia sendirian, mengikuti instruksi penculik lewat speaker.
"Taruh koper di tanda merah. Mundur."
Arga menurut. Dia sudah akan menyerahkan uangnya. Manda hampir selamat.
Tapi tiba-tiba...
"GOTCHA! PENCULIKNYA DI SANA GUYS!"
Tiga orang konten kreator muncul dari persembunyian di balik drum minyak. Mereka live streaming!
"Eksklusif! Arga Mahendra bayar tebusan! Liat tuh duitnya! Jangan lupa gift-nya ya Guys!"
Teriakan si streamer demi konten itu menghancurkan segalanya.
Suara di speaker berubah jadi jeritan murka. "LU BAWA MEDIA?! LU JEBAK KITA?!"
"NGGAK! SAYA NGGAK KENAL MEREKA!" Arga berteriak histeris, berlutut memohon.
Tapi para penculik sudah panik.
"Transaksi batal."
Di lantai dua gudang, seorang pria bertopeng menyeret Manda yang menangis.
"Om Arga tolooong!"
"Manda!!" Arga meraung sampai suaranya habis.
Penculik itu mengangkat tubuh kecil Manda dan menjatuhkannya dari ketinggian.
BRUK.
Nyawa kecil itu melayang begitu saja. Arga yang menyaksikan semuanya, langsung gila di tempat.
Visi terakhir yang dilihat Salsa adalah atap gedung rumah sakit.
Arga berdiri di pinggir rooftop, di bawahnya gemerlap lampu kota Jakarta terlihat samar.
Di tangannya ada selembar foto—foto liburan terakhir dia bersama kakak, kakak ipar, dan Manda di pantai.
Angin malam menerbangkan ujung kemejanya saat Arga melangkah maju menuju kehampaan...
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍