"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecemburuan yang dibuat jadi kesempatan
Suasana siang itu masih menyisakan cahaya kuning lembut di halaman rumah. udara terasa lebih panas dari biasanya, mungkin karena rasa kesal yang tiba-tiba membuncah sejak munculnya Melda.
Perempuan itu… senyumannya masih sama seperti dulu, manis tapi menyebalkan.
Dan tatapan matanya pada Dante, masih terlalu berani.
“Hay pasutri romantis!” sapaan itu sempat membuat Selina menahan napas, sementara Dante justru menoleh cepat, dengan senyum ramah yang bahkan jarang ia tunjukkan pada istrinya sendiri.
“Yah, dia lagi…” gumam Selina dalam hati, matanya menyipit.
“Iya, Mel. Oh jadi benar ya kata Selina, kau bakal pindah ke rumah depan itu?”
ucap Dante, dengan nada terlalu antusias di telinga Selina.
Senyum hangat itu… ah, sudah lama Selina tidak mendapatkannya.
“Iya nih,” jawab Melda riang, memainkan ujung rambutnya. “Oh iya, kebetulan besok malam aku adakan syukuran menempati rumah baru. Kalian datang ya?”
Selina berusaha tersenyum, tapi wajahnya menegang. “Iya, Mel.”
Jawabnya pendek, hambar, sekadar sopan.
Tapi Dante malah menambahkan dengan suara hangat, merangkul pundak Selina, seolah ingin menunjukkan kesempurnaan pernikahan mereka.
“Kami pasti datang, Mel. Selamat ya udah jadi tetangga kita. Kalau butuh bantuanku atau Selina jangan sungkan.”
Selina menelan ludah. “Butuh bantuanku atau Selina.”
Ia tahu, yang dibutuhkan Melda bukan bantuannya. Yang diincar perempuan itu adalah suaminya.
Melda hanya mengangguk, melangkah pergi dengan senyum kemenangan kecil di bibirnya.
Dalam hatinya, ia menertawakan situasi itu.
Yes... aku masih punya kesempatan mencuri hatimu lagi, Dante sayangku.
Begitu punggung Melda menghilang, Selina langsung berbalik menuju pintu rumah, langkahnya cepat dan penuh nada kesal. Tumitnya menghentak lantai seperti suara dentuman kecil dari hati yang terbakar cemburu.
Dante mengikutinya dari belakang, wajahnya tenang, bahkan sedikit menahan tawa melihat bagaimana istrinya tampak lucu ketika marah.
Sesampainya di ruang tamu, ia mempercepat langkah dan menghadang Selina tepat di depan pintu.
“Hey…” suaranya rendah dan dalam.
Ia mengangkat dagu Selina pelan, memaksa mata istrinya menatap ke arahnya.
“Kau cemburu, Sel?”
Tatapan Dante penuh godaan.
Ia tahu persis bagaimana memancing emosi dan hasrat Selina di saat bersamaan.
Selina menyilangkan tangan di dada, mendengus kesal.
“Ya jelas, Mas! Mas itu antusias banget ngobrol sama Melda, sampai lupa istri sendiri di samping. Sama aku aja ngobrol seperlunya.”
Nada suaranya penuh sindiran, tapi di balik itu ada getar kecil, ketakutan yang ia tak ingin akui, bahwa suatu hari Dante benar-benar bisa direbut.
Dante menatapnya beberapa detik sebelum membalikkan badan, menatap ke arah jendela sejenak, lalu berkata pelan tapi tajam, “Kurasa… memang begitu ya, Sel.”
Nada dingin itu membuat udara di antara mereka terasa menegang.
Ia lalu berbalik lagi, menatap Selina yang masih berdiri terpaku dengan mata berkaca-kaca.
Senyumnya samar, tapi penuh arti.
“Aku pergi ke kantor dulu. Kayaknya nanti pulang agak malam.”
Selina tak menjawab. Ia hanya menatap punggung suaminya yang mulai menjauh ke arah pintu.
Namun langkah Dante terhenti sesaat. Ia menoleh sedikit, mendekat ke telinga Selina dan berbisik lirih dengan nada yang membuat jantung perempuan itu berdetak cepat,
“Ingat, Sel… kalau kau tak mau suamimu direbut wanita lain… siapkan dirimu malam ini.”
Hembusan napasnya terasa panas di kulit Selina.
Sebelum ia sempat merespons, Dante menempelkan kecupan singkat di pipinya, dingin, tapi membekas, lalu pergi begitu saja, meninggalkan aroma parfumnya yang samar di udara.
Selina terdiam.
Tatapannya kosong menembus pintu yang baru saja tertutup.
Dadanya berdebar, bukan hanya karena marah, tapi juga karena perasaan lain yang ia benci, kerinduan pada sosok yang bahkan baru saja membuatnya kesal.
Ia menghela napas panjang, memejamkan mata.
“ Mas Dante…” gumamnya pelan. “Kau selalu tahu caranya membuatku marah… tapi juga selalu tahu bagaimana membuatku tak bisa berhenti mencintaimu.”