NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Terpaksa Menerima

"Sebenarnya tadi itu apa, Man? Kenapa awalnya ribut jadi pada bungkam begitu?" ibu Nur tak sabar lagi ingin menuntaskan rasa ingin tahunya.

Meski malam sudah semakin larut. Waktu bahkan sudah menunjukkan pukul 8.30 malam, ibu Nur yang biasanya tidur lebih awal, kini malah tak mau beranjak dari hadapan putranya yang ketenangannya sejak tadi tak tergoyahkan itu.

Setelah semua orang yang entah mempunyai urusan apa di halaman rumahnya itu pergi dengan kepala menunduk serta ucapan permintaan maaf yang diucapkan dengan begitu lirih, ibu Nur sebenarnya sudah ingin mencercah anaknya dengan banyak pertanyaan. Tapi, saat mengingat jika mereka belum makan malam dan makan malamnya pun telah lewat dari waktu biasa, ibu Nur berusaha menahan diri.

Jadinya, begitu mereka semua telah membersihkan diri dan memenuhi perut mereka dengan makanan, ibu Nur mengajak mereka berkumpul untuk menuntaskan rasa ingin tahunya.

Di sinilah mereka sekarang, duduk memenuhi sofa ruang tamu. Posisi ibu Nur tepat di hadapan anaknya. Plus, mbok Nah yang biasanya selalu pulang ke rumahnya sebelum jam 6 sore, kali ini memutuskan menginap karena rasa penasaran yang menghantuinya, yang memilih duduk di lantai di dekat majikannya.

"Itu tadi si Lilis, kenapa tangannya diikat trus sampai berlutut segala?" lagi pertanyaan meluncur dari mulut ibu Nur tanpa ada niat untuk menahan diri. "Trus empat laki-laki itu juga sama. Memangnya apa sih kesalahan yang mereka buat sampai harus berlutut di tanah begitu?"

"Bu... " Armand berucap lembut. Dipandanginya penuh sayang wanita yang telah melahirkannya itu dengan tatapan lembut seraya menjawab, "Semua orang itu datang ke sini karena mau menunjukkan pelaku perzinah*n di depan aku langsung, Bu."

"Hah?" ibu menatap bingung anaknya. Kerutan di keningnya yang sudah banyak malah terlihat semakin banyak karena tak mengerti jawaban yang diberikan anaknya.

"Mereka, terutama pak Somad dan istrinya, mengatakan kalau mereka menggerebek orang-orang itu sedang melakukan perbuatan tak senonoh di rumah terbengkalai yang ada di ujung desa."

"Lalu, kenapa sampai harus ditunjukkan sama kamu coba?" tanya ibu Nur, yang semakin merasa bingung.

"Mereka menuduh kalau Nissa adalah perempuan yang melakukan perzinah*n dengan para lelaki pemabuk itu. Tapi, setelah tutup kepala si pelaku di buka, nyatanya anak perempuan pak Somad sendiri lah pelakunya.

Kontan saja mulut ibu Nur menganga, mata membelalak lebar karena terkejut.

Bukan hanya wanita paruh baya itu saja yang membeliak lebar sampai tak sanggup berkata, ada Nissa, Lala, dan bahkan mbok Nah memiliki reaksi yang sama.

Ke empat wanita beda generasi tersebut sampai membutuhkan waktu untuk sekedar mengerjapkan mata mereka.

"Lal... lalu, gimana situasinya bisa berubah begitu?" tanya ibu Nur setelah cukup lama terdiam.

Armand tersenyum tipis. Setelah menoleh ke arah gadis mungil yang duduk di sisi kanannya, Armand menoleh sejenak ke arah Fandy yang duduk di sisi kirinya.

Tampak sahabatnya yang biasanya sangat cerewet itu terkikik geli sambil menaik turunkan kedua alisnya secara bergantian.

"Armand." ibu Nur memanggil tak sabaran. "Jangan buat Ibu mati penasaran ya." ucapnya kesal.

Armand terkekeh pelan. Kekesalan yang ibunya tunjukkan malah terlihat lucu di matanya.

Tapi, karena tak ingin wanita paruh baya yang sangat disayanginya itu semakin kesal, Armand tak akan menunda untuk memberi tahu ibunya mengenai alasan di balik gagalnya rencana busuk yang menjadikan Nissa sebagai targetnya.

Sebelum bercerita, Armand dengan santai mengambil tangan calon istrinya, membawanya ke atas pangkuan dan kemudian menggenggamnya erat.

Sontak saja dengusan kesal terdengar saling bersahutan. Namun Armand memilih bersikap masa bodoh. Armand malah tersenyum senang saat melihat gadisnya itu menunduk dengan rona kemerahan yang menghiasi pipinya.

Bibir Armand kemudian membuka untuk bercerita, "Bang Mail datang menemuiku tadi siang, Bu. Dari dia lah, aku akhirnya tau soal rencana jahat yang dirancang untuk menjerat calon istriku."

"Mail suaminya si Ika? Anaknya mendiang ibu Ina?"

Armand mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang baru saja ibunya tanyakan.

"Memangnya apa yang dia ceritakan?"

"Dia bilang... "

"Aku serius, Man. Anaknya pak Lurah bekerjasama dengan istriku untuk menjebak calon istrimu."

"Dari mana Abang tau?"

"Sewaktu pulang dari mengantar anak-anakku sekolah, biasanya aku langsung ke perkebunan buat bantu Rizal ngawasin para pekerja. Tapi entah mengapa, tadi itu aku malah mengarahkan sepeda motorku menuju rumah. Waktu sampai di ujung desa, nggak sengaja aku ngeliat istriku lagi ngomong dengan para lelaki yang suka nongkrong di sana. Lalu... "

"Lalu apa, Bang?" tanya Armand yang sudah mengepalkan kedua tangannya erat karena amarah yang mulai memanaskan hati.

"Lalu, aku diam-diam memperhatikan mereka dari jauh. Setelah mereka selesai mengobrol, aku putar jalan supaya bisa sampai di rumah lebih dulu. Dan di rumah, aku langsung menginterogasi istriku. Awalnya dia terus membantah. Tapi setelah aku desak dan aku ancam akan menceraikannya bila dia nggak mau jujur, akhirnya dia mau ngaku. Dia bilang, Lilis memberikannya imbalan 1 juta dengan syarat agar istriku itu mau menemui para lelaki berandalan itu. Mereka ditugaskan untuk menodai calon istrimu. Alasannya supaya kamu jijik dan akhirnya membatalkan rencana pernikahanmu."

Armand memejamkan mata.

Emosi yang serasa bisa meledakkan tidak hanya hati tapi juga kepalanya membuat Armand berusaha begitu kuat demi menahan diri.

Gejolak amarah yang mengumpul dalam dada sampai membuat Armand kesulitan bernapas.

Namun, informasi yang ingin disampaikan ternyata belumlah usai. Yang mana saat pria yang dipanggilnya abang karena lebih tua 2 tahun darinya itu membuat Armand makin kesulitan menahan diri saat kembali meneruskan cerita yang terjeda.

"Yang lebih parahnya lagi, Man. Lilis bahkan ngasih obat perangs*ng ke istriku untuk diberikan kepada para pemabuk itu. Tujuannya agar calon istrimu sendiri nggak dapat mengontrol dirinya."

Sumpah mati, Armand ingin sekali berteriak marah saat ini. Akan tetapi, saat tanpa sengaja netranya mengarah pada gadis mungil yang duduk bersandar di dinding depan teras, Armand akhirnya hanya bisa menggeretakkan gigi.

Setelahnya...

"Waktu Lala mau pergi sama temannya itu, aku langsung ngelarang. Aku bahkan mengancam temannya Lala itu agar jangan sampai berani mengatakan kepada Lilis kalau rencananya udah gagal." Armand meneruskan ceritanya setelah menceritakan apa saja yang ia bicarakan dengan pria yang merupakan salah satu pengawas di perkebunannya itu.

Seketika hening menyelimuti seluruh ruang tamu. Ke dua wanita paruh baya beserta dua gadis yang menjadi pendengar tampak terpaku. Mereka seolah menjadi patung, tak bergerak dan hanya dada mereka saja yang terlihat naik turun karena bernapas.

Barulah beberapa menit kemudian, Lala yang sampai saat ini masih merasa bersalah karena hampir saja membuat adik gemesnya menjadi korban dari rencana jahat orang lain itu membuka mulut untuk menanyakan, "Kalau gitu, gimana bisa sampai mbak Lilis yang jadi pemeran utamanya, abang Juragan? Semua itu murni kebetulan atau abang ikut terlibat di dalamnya?"

"La... " Armand menatap adik angkatnya itu kesal. "Semarah apapun aku sama dia, aku ini masih punya hati. Nggak mungkin hanya karena ingin memberikan pelajaran karena dia menyusun rencana sejahat itu buat calon istriku, aku sampai membuatnya berada di posisi itu. Semua itu murni kebetulan. Yang mungkin saja karma yang harus ditanggungnya atas niatnya yang sangat jahat itu."

Mendengar itu, baik Lala maupun yang mendengar lainnya mengangguk mengerti, kecuali Fandy yang sudah tahu sedari awal.

Mereka yang ada di ruang tamu itu pun tak lagi bersuara. Hanya menikmati kebersamaan dengan ditemani suara jangkrik yang terdengar di luar.

*****

Jika di rumah ibu Nur diselimuti dengan keheningan yang menenangkan, maka di rumah pak Somad lain lagi. Sepasang suami istri yang tak berani lagi keluar rumah semenjak mereka pulang itu wajah mereka tampak seperti diselubungi awan gelap.

Rasa malu yang sangat serta amarah yang tak terlampiaskan membuat pak Somad dan istrinya terus berdiam diri di depan pintu kamar putri mereka yang terbuka lebar.

Sengaja pak Somad merusak kunci pintu kamar anaknya itu tadi. Takut jika sampai anaknya melukai diri sendiri karena malu. Dengan begitu, baik ia dan istrinya bisa mengawasi apa saja yang dilakukan Lilis di dalam kamarnya meski mereka tak berani masuk, karena tak tega melihat putri mereka yang terlihat seolah tak lagi bernyawa.

Semenjak mereka pulang dengan kepala menunduk sambil menanggung rasa malu serta cemoohan tadi, hingga sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam, tak sekali pun pak Somad dan ibu Lastri mendengar anak mereka bersuara. Lilis membisu, tak bersuara dan bahkan tak menangis.

Putri kesayangan pak Somad dan ibu Lastri itu hanya melangkah menuju kamarnya dan sekarang berbaring menghadap dinding, hingga membuat orang tua yang tak berdaya itu hanya bisa melihat punggungnya saja.

"Bagaimana ini, Pak?" ibu Lastri berucap sangat lirih. Suara yang keluar dari bibirnya tak akan terdengar jika saja ibu Lastri tidak duduk berdempetan dengan suaminya. "Ibu nggak nyangka kejadiannya malah berbalik seperti ini. Sakit hati Ibuk rasanya, Pak, ngeliat anak kita keliatan hancur begitu."

Pak Somad menghela napas berat. Sebagai orang tua, pak Somad tentunya tak ingin melihat anaknya hancur dan tak lagi memiliki semangat hidup begitu. Inginnya, pak Somad berharap bisa mencegah itu semua.

Namun apa lah daya, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tak mungkin lagi bisa diperbaiki ataupun diulang kembali.

"Kasian anak kita, Pak." kembali suara ibu Lastri terdengar lirih. Suaranya terdengar sedikit serak disebabkan karena menangis sejak tadi. Sekarang hanya menyisakan sesak di dada yang entah sampai kapan baru bisa hilang. "Pasti nanti anak kita bakalan jadi omongan orang. Dihina dan dicacimaki. Nggak tega Ibuk, Pak, ngebayangin kalau sampai Lilis diperlakukan begitu."

"Bapak juga nggak tega, Buk." pak Somad menimpali tak kalah lirih. Pria paruh baya itu tampak bagaikan prajurit yang kalah perang saat dengan tanpa daya menyandarkan punggungnya di dinding. "Bapak benar-benar putus asa sekarang, Buk. Nggak tau lagi gimana caranya ngeringanin penderitaan anak kita."

"Semua ini karena ulah gadis pembawa sial itu." ibu Lastri berucap geram. Sorot matanya menyimpan kemarahan yang menggelegak saat kembali berkata, "Kalau aja dia pergi ke sana, pasti anak kita nggak akan berakhir begini. Dia itu udah ngehancurin masa depan anak kita, Pak."

Pak Somad tak tahu bagaimana harus menimpali perkataan istrinya itu. Kesedihan yang mereka tanggung sama besarnya saat melihat putri kesayangan mereka terus membisu, tampak seolah tak lagi memiliki keinginan untuk hidup.

"Coba lakuin sesuatu buat ngebalas rasa sakit hati anak kita, Pak." tatapan ibu Lastri begitu bertekad saat menoleh untuk menatap suaminya.

"Memangnya Ibuk mau Bapak ngelakuin apa?" tanya pak Somad tak bertenaga. Pria paruh baya itu menoleh dan tersenyum pedih saat menanyakan, "Apakah Ibuk mau Bapak jadi pembun*h demi melampiaskan rasa sakit hati anak kita?"

"Itu... "

Tok... tok... tok

Suara ketukkan pintu tersebut menghentikan apapun yang ingin ibu Lastri katakan.

Sepasang suami istri itu sama-sama mengerutkan kening saat tak lama setelahnya kembali mendengar pintu rumah mereka diketuk.

Tok... tok...

Kemudian...

"Pak Somad."

Panggilan yang terdengar usai pintu diketuk tersebut membuat pak Somad dan istrinya langsung berdiri.

Meski tak begitu akrab dengan si pemilik suara, namun pak Somad dan istrinya mengenali siapa orang yang mengetuk rumah mereka. Dan setelah sama-sama mengangguk sebagai tanda meyakini jika orang yang mengetuk pintu itu adalah orang yang mereka kenal, pak Somad bergerak lebih dulu melangkah menuju pintu keluar.

Benar saja. Sesuai dugaan, begitu pintu tersebut dibuka, orang yang menjadi tamu tak terduga itu tersenyum sumringah saat menatap bergantian ke arah pak Somad dan istrinya.

Tamu tak terduga itu berdehem, dan kemudian mengatakan, "Malam, pak Somad dan ibu Lastri. Semoga kedatangan saya malam ini tidak mengganggu waktu istirahat kalian."

"Malam juga, nak Bowo." pak Somad membalas dengan sikap canggung. Melihat sang tamu yang datang di waktu yang tidak tepat seperti ini, membuat pak Somad sedikit merasa tak nyaman. Tapi, demi kesopanan, pak Somad meminggirkan sedikit tubuhnya seraya berkata, "Silahkan masuk, nak Bowo. Maaf kalau rumah kami terlihat sedikit berantakan."

Bowo, juragan tanah dari desa sebelah yang hobi kawin itu tersenyum sumringah. Tanpa sungkan lagi pria yang berusia 39 tahun itu melangkah masuk dan langsung duduk begitu dipersilahkan.

"Ngomong-ngomong, ada masalah apa sampai nak Bowo bertamu semalam ini?" pak Somad bersuara usai menoleh ke arah istrinya yang duduk di sampingnya. "Maaf, boleh sekiranya dipercepat saja, untuk mengatakan maksud kedatangan nak Bowo ke rumah kami? Nggak enak sama tetangga soalnya, kalau masih menerima tamu di jam segini."

Merasa sudah mendapat lampu hijau, Bowo tak lagi ragu untuk menyampaikan maksud tujuannya bertamu di waktu yang tak tepat itu. "Begini, Pak, Buk, kedatangan saya ke sini bertujuan untuk meminang anak kalian. Kalau kalian menerima lamaran saya, besok saya akan langsung membawa penghulu ke sini."

"Apa?" kompak pak Somad dan ibu Lastri mengucapkan hal yang sama. Kening sepasang suami-istri istri itu berkerut, bukan hanya karena tak menyangka akan mendengar hal yang terduga seperti itu, tapi mereka juga merasa keberatan untuk menikahkan anak mereka dengan pria yang duduk di hadapan mereka itu.

Siapapun mengetahui, meski Bowo merupakan juragan tanah dari desa sebelah, namun kebiasaan pria itu yang suka kawin membuat orang geleng-geleng kepala.

Kaya sih memang kaya. Namun jika dibandingkan dengan Armand, kekayaan yang Bowo miliki masih lah belum ada apa-apanya.

Ditambah lagi, pak Somad juga pernah mendengar kabar angin jika Bowo kerap kali berlaku kasar saat sedang mengga*li istri-istrinya.

Baik pak Somad dan ibu Lastri sama-sama merasa tak rela membayangkan putri kesayangan mereka diperlakukan semena-mena.

Namun

"Udah deh, pak Somad dan ibu Lastri, kalian nggak sok jual mahal begitu. Anak kalian itu udah nggak ada harganya. Masih untung saya masih mau menikahinya, meski dia udah digilir banyak lelaki." Bowo berucap sekenanya. Tak peduli apakah perkataannya itu bisa menyakiti hati orang yang mendengarnya. "Lagi pula, memangnya selain saya, apakah masih ada lelaki lain yang mau menikahi perempuan bekas pakai begitu? Mereka udah pasti jijik ngebayangin punya istri yang kotor dan nggak lagi berharga."

"Nak Bowo!" pak Somad menyergah tak terima. Kedua matanya membara karena marah mendengar hinaan tak berperasaan tersebut.

"Jangan sok-sok marah begitulah, pak Somad." Bowo tak sedikitpun merasa takut. Bahkan dengan santainya pria itu menyandarkan punggungnya sambil berkata, "Bukankah dengan saya menikahi anak kalian, hal itu bisa menutupi rasa malu kalian. Saya juga menjamin, meski hanya menikahi Lilis secara siri, dia akan mendapat kemewahan sama seperti istri-istri saya yang lain. Dan kalian harus ingat, tawaran saya ini hanya berlaku saat ini. Begitu matahari muncul besok, bisa aja saya udah nggak lagi berminat sama anak kalian itu."

Jika sudah begini, pak Somad tak mampu mengatakan apapun lagi.

Memang benar, dengan kejadian memalukan yang dialami Lilis, pak Somad tak lagi yakin akan ada pria yang mau menikahi putrinya.

Jalan satu-satunya adalah menerima lamaran tersebut. Meskipun dengan sangat terpaksa.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!