Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari H War Penaklukan Sekolah
Langit mendung sore itu, seakan ngerti bakal ada darah dan keringat yang jatuh di tanah. Angin dingin nyapu lapangan terbengkalai di pinggir kota, bikin dedaunan kering beterbangan.
Dua kubu udah berdiri berhadapan. SMK Bima Sakti di satu sisi, barisan rapat, wajah-wajah mereka serius penuh tekad. Di sisi lain, SMK Garuda berdiri dengan senyum sinis, auranya kasar dan penuh tantangan.
Tapi bukan cuma mereka berdua.
Di sekeliling lapangan, puluhan pasang mata dari sekolah-sekolah lain udah berkumpul. Ada rombongan dari SMK Jaya Nusa dengan seragam abu-abu khas mereka, anak-anak SMK Rajawali yang terkenal jago futsal tapi punya geng motor juga, bahkan beberapa dari SMK Bhakti Persada berdiri di pagar, ngerokok sambil teriak-teriak nyemangatin.
Atmosfernya jadi kayak arena liar. Sorakan, ejekan, dan siulan bercampur, bikin suasana panas sekaligus mencekam.
Bima maju selangkah. Matanya nyapu semua lawan, lalu lirih tapi tegas ngomong ke eksekutifnya, suaranya jelas meski tertelan angin:
"Inget, main sesuai porsi. Jangan terpancing gaya mereka. Kita bukan cuma nunjukin siapa lebih kuat, tapi nunjukin kalau SMK Bima Sakti berdiri di atas mereka.”
Semua eksekutifnya angguk, wajah mereka keras, penuh keyakinan.
Di seberang, Bagas malah nyengir sombong. Dia nunjuk satu-satu ke arah lawan, kayak eksekutor yang udah siap nentuin giliran mangsanya. “Satu-satu, semua gue libas. Liat aja gimana Garuda bikin kalian jongkok!”
Kerumunan penonton dari SMK lain langsung gaduh.
“WOI! Bima Sakti bisa apa lawan Garuda?”
“Tapi jangan salah, anak-anak Bima itu bandel juga!”
“Heh, ayo gas! Jangan bikin lapangan sepi!”
Sorak-sorai, ejekan, dan degup jantung bercampur jadi satu. Suasana sore itu udah bukan sekadar duel antar sekolah, tapi pertunjukan yang ditonton seluruh mata di pinggiran kota.
***
Arena mendadak hening begitu nama pertama dipanggil. Dari pihak SMK Garuda, Bayu maju dengan langkah ringan, wajahnya penuh percaya diri. Bisik-bisik penonton terdengar jelas, “Itu Bayu, refleksnya paling gila, lincah banget lawan siapa aja susah nyentuh dia.”
Sebaliknya, dari kubu SMK Bima Sakti, Raka melangkah tanpa ekspresi. Diam, tatapannya datar, seolah duel ini hanya sekadar formalitas. Bahkan cara dia berdiri pun sederhana, tak ada gaya petarung. Sekilas, kelihatan banget timpang.
“Jangan harap bisa lama berdiri, bro,” ejek Bayu sambil memainkan kuda-kudanya.
Bel tanda duel dimulai.
Bayu langsung meledak. Tubuhnya bergerak cepat, rentetan pukulan dan tendangan diluncurkan tanpa henti. Tap! Tap! Tap! Suara hentakan kaki dan kibasan angin memenuhi udara. Penonton bersorak, beberapa dari kubu Garuda bahkan sudah yakin Andre nggak akan bertahan lama.
Raka?
Masih sama. Diam. Sesekali mengangkat tangan menahan serangan, geser setengah langkah, miringkan badan. Semua dilakukan seperlunya, seakan hanya menonton Bayu menguras tenaga.
“Kenapa diem aja, hah?!” Bayu makin sengit, kecepatannya justru membuat dirinya semakin terburu-buru.
Menit bergulir. Nafas Bayu mulai berat. Gerakannya tidak secepat awal. Keringat bercucuran, ritme serangannya goyah. Penonton mulai sadar ada yang aneh: Raka sama sekali belum terlihat terdesak.
Saat itu juga, Raka menghela napas panjang… lalu bergerak.
Sekali langkah, jarak terpangkas. Gerakannya nyaris tak terlihat mata. Bugh! Sebuah pukulan lurus mendarat di dada Bayu, membuatnya terhuyung. Sebelum sempat menstabilkan posisi, Raka melanjutkan dengan satu sapuan kaki—Dhuak! Bayu terlempar jatuh menghantam lantai.
Hening sepersekian detik.
Lalu sorakan pecah.
Penonton dari kubu Bima Sakti bersorak liar, sementara wajah-wajah dari Garuda terdiam kaget. Mereka tadi yakin Raka bakal jadi mangsa empuk. Ternyata justru Bayu yang tak berdaya.
Raka menatap lawannya yang tergeletak, lalu berjalan mundur ke posisinya tanpa ekspresi, seakan berkata: “Ini baru pemanasan.”
***
Sorak-sorai masih menggema setelah Raka menumbangkan Bayu dengan cara yang tak disangka-sangka. Beberapa anak SMK Bima Sakti mulai bersorak lepas, tapi cepat ditenangkan lagi oleh Dodi. “Belum selesai,” katanya pendek, membuat semua kembali fokus.
Di sisi lain, wajah Bagas mengeras. Ekspresi percaya dirinya sedikit terkikis. “Arman, lu turun.” Suaranya berat, penuh tekanan.
Arman maju. Tubuhnya gede, bahunya lebar, dan setiap langkah kakinya membuat lantai seperti bergetar. Dari kerumunan, beberapa anak Garuda berteriak, “Gas, Arman! Bantai aja!”
Di seberang, Andre maju. Badannya nggak sebesar Arman, bahkan dibandingin sekilas dia kayak biasa aja. Tapi tatapan matanya tenang, mirip Bima waktu masuk ke ruang UKS lama kemarin.
Pertarungan dimulai.
Arman langsung maju brutal, kayak banteng lepas kandang. Tinju pertamanya menghantam keras, Andre sempat menghindar, tapi satu pukulan nyangkut ke bahunya. Tubuh Andre terlempar ke samping. Penonton langsung heboh, suara teriakan memenuhi arena.
“Woi! Ndre! Bangun!” teriak anak-anak Bima Sakti.
Andre berusaha bangkit, napasnya terengah, bahunya sakit. Dalam kepalanya, kata-kata Bima kemarin bergema:
“Ukur kekuatan lawan, jangan buru-buru. Lu harus bisa baca pola. Barbar selalu punya celah.”
Arman kembali menyerang, tangannya menghantam berulang-ulang, kaki menghajar tanpa ampun. Andre nyaris jatuh lagi, tapi kali ini matanya lebih fokus. Dia perhatiin cara Arman bergerak. Ternyata Arman selalu buka sisi kanan tiap kali mukul pakai kiri.
Kesempatan datang.
Begitu Arman ayunkan pukulan besar lagi, Andre merunduk cepat, ngebaca gerakan itu, terus ngebalas dengan pukulan lurus ke ulu hati. Bugh! Arman terhuyung, matanya melotot.
Nggak berhenti sampai situ. Andre langsung kunci tangannya, nyeret badan Arman, lalu ngehantamkan dengan teknik bantingan setengah putar. Tubuh besar Arman ngejeblak keras ke lantai, bikin debu berhamburan.
Arena hening sepersekian detik.
Arman kejang sebentar, lalu jatuh tergeletak. KO.
Sorakan meledak. Anak-anak Bima Sakti lompat-lompat kegirangan. “ANDRE!! ANDRE!!” teriak mereka.
Di sisi Garuda, wajah Bagas mulai menegang. Kekalahan kedua berturut-turut bikin suasana mereka makin panas.