Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Rahasia besar
Sore itu, ruang kerja Rafael dipenuhi cahaya keemasan matahari yang menembus kaca tinggi. Meja kayu hitam mengilap dipenuhi berkas-berkas kerja sama yang tengah ia susun. Rafael duduk tegap di kursinya, jas hitam masih terpasang rapi, seolah tak ada yang bisa mengguncang ketenangannya.
Ketukan pelan terdengar di pintu. Marco masuk dengan sikap hormat, namun tatapannya penuh keraguan. Ia berdiri tegak, lalu bersuara hati-hati.
“Tuan…” suara Marco terdengar berat, ragu-ragu.
“Sudah seminggu lebih saya tidak melihat Anda meminum obat itu. Apa itu berarti … Anda mulai membuka hati secara serius untuk Nyonya Arunika?”
Rafael menghentikan ketikan jarinya, lalu perlahan menoleh. Tatapannya menusuk, dingin, dan penuh tekanan. Hening sesaat membuat ruangan seolah membeku.
“Aku lupa meminumnya.”
Nada suaranya datar, dingin, tanpa ekspresi sedikit pun.
“Aku tidak pernah mengatakan aku akan jatuh cinta pada Arunika.”
Marco menelan ludah, lalu memberanikan diri menambahkan.
“Maafkan saya, Tuan. Tapi izinkan saya mengingatkan ... jangan jatuh cinta. Nyonya Besar tidak akan pernah setuju. Karena membiarkan benih Anda dikandung oleh Nyonya Arunika … itu artinya Anda sudah menggali kubur untuk Nyonya Besar sendiri.”
Kata-kata itu bagai bara yang dilempar ke dalam bara api. Rafael mendadak bangkit berdiri, kursinya bergeser keras menghantam lantai. Sorot matanya berubah tajam, berkilat marah. Dengan gerakan cepat, Rafael meraih asbak emas dari meja dan melemparkannya lurus ke arah Marco.
Brak!
Asbak itu menghantam kepala Marco, membuat pria setia itu terhuyung dengan darah menetes di pelipisnya. Namun Marco tetap menunduk, tidak berani bersuara, meski napasnya tersengal. Rafael berdiri tegap, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup kuat.
“Jangan pernah…” suaranya berat, dingin, namun penuh bara. “Jangan pernah kau sebut tentang Nyonya Besar di hadapanku dengan nada seperti itu lagi.”
Hening menggantung. Darah menetes ke lantai, aroma logam samar memenuhi udara. Marco berlutut, menahan sakit, lalu berkata dengan suara rendah.
“Maafkan saya, Tuan. Saya hanya khawatir … kalau Anda sudah melangkah terlalu jauh.”
Rafael menatapnya tajam, lalu menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri. Ia berbalik, menatap keluar jendela gedung tinggi, punggungnya tegap bak bayangan penguasa yang tak tergoyahkan.
“Arunika hanya istriku di atas kertas,” ucap Rafael dingin, hampir seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri.
“Tidak lebih, tidak kurang. Dan jika ada yang berani menyentuh masa lalu atau Nyonya Besar di hadapanku lagi…” suaranya menurun, serupa desis maut, “aku sendiri yang akan menguburnya.”
Marco menunduk semakin dalam. Ia tahu, ucapan itu bukan sekadar ancaman kosong. Rafael memang akan melakukannya. Marco akhirnya mundur dengan kepala tertunduk, darah masih mengalir pelan dari pelipisnya. Pintu tertutup kembali, meninggalkan Rafael sendirian di dalam ruang kerja yang kini terasa sesak oleh aura tegang.
Rafael berdiri di depan jendela besar, menatap ke arah kota yang berkilauan di bawah sana. Tangannya terkepal, urat-urat di lengannya menegang. Hening, hanya suara detik jam di dinding yang terdengar. Dia menutup mata sejenak, wajahnya dingin tanpa ekspresi, namun ada riak samar yang bergejolak di balik ketenangan itu. Bayangan Nyonya Besar muncul jelas dalam pikirannya, wajah yang tak pernah bisa ia khianati, suara yang mengikatnya dalam sumpah yang bahkan lebih kuat daripada kontrak darah.
Namun tiba-tiba, bayangan itu bersaing dengan senyum licik Arunika. Tatapan tajam istrinya, keberanian yang ia tunjukkan di hadapan publik, keberaniannya untuk menantang dunia berdiri di sisinya. Wajah Arunika muncul begitu nyata, seolah menempel di retina matanya.
Rafael membuka mata. Napasnya berat, dia menekan pelipisnya, lalu berjalan kembali ke meja. Satu botol whiskey ia tarik dari laci, dituangkannya ke dalam gelas kristal, dan diteguk habis dalam sekali gerakan.
“Tidak…” gumamnya dingin, hampir seperti sedang menegaskan pada dirinya sendiri. “Aku tidak bisa mencintainya ... tidak akan pernah.
Rafael mendengus kasar, lalu melempar gelas ke dinding. Pecahan kaca berhamburan, menambah jejak amarah yang ia pendam.
“Arunika…” desisnya lirih, nyaris seperti pengakuan yang enggan keluar.
“Kau berbahaya ... lebih berbahaya dari siapapun yang pernah kuhadapi.”
Tatapannya kembali jatuh ke luar jendela. Kota masih berkilauan, tapi di dalam dirinya, Rafael tahu ia sedang berjalan di tepi jurang. Jurang yang bernama cinta, sesuatu yang seharusnya tidak pernah dimiliki oleh pria seperti dirinya.
Malam itu udara terasa dingin, angin membawa aroma lembab dari taman belakang mansion. Arunika duduk di bangku besi tua, matanya menatap pavilion yang berdiri angker di sisi barat halaman. Bangunan tua itu tampak asing sekaligus menimbulkan rasa penasaran, selalu terkunci rapat, selalu dijaga, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh disentuh siapa pun.
Sejak sore tadi, telinganya masih menyimpan potongan percakapan Rafael dengan Marco. “Hari ini wanita itu masih mengamuk dan tetap meminta untuk dilepaskan,” Kalimat itu berulang kali terngiang di kepala Arunika, membakar rasa ingin tahunya.
'Wanita itu siapa?' batinnya bertanya. 'Dan kenapa pavilion itu selalu dijaga?'
Kakinya melangkah pelan, berusaha tidak menarik perhatian kamera CCTV yang mungkin tersebar di setiap sudut taman. Namun, baru saja ia mendekat ke pintu pavilion, bayangan tegap menghentikan langkahnya. Seorang pengawal Rafael berdiri, tatapannya dingin.
“Nyonya Anda tidak boleh ke sini.”
Arunika tersenyum tipis, otaknya berpacu mencari alasan.
“Tadi aku melihat seekor kelinci putih masuk ke semak-semak di belakang pavilion. Aku suka hewan itu … mungkin kau bisa mencarikannya untukku?”
Pengawal itu menatapnya curiga, tapi akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya.”
Arunika berbalik, berjalan kembali menuju mansion dengan langkah tenang. Namun, jantungnya berdebar keras. Ada sesuatu yang disembunyikan Rafael. Mungkin sesuatu yang lebih besar.
Di sisi lain kota.
Sebuah klub malam eksklusif, lampu kristal berkilau, musik jazz mengalun pelan. Rafael duduk di meja VIP, bersama tiga pesaing bisnis yang mencoba menandingi posisinya. Aura dinginnya mendominasi ruangan, membuat lawan bicara terpaksa menjaga nada suara mereka.
Ponselnya bergetar, Rafael melirik sekilas, menerima panggilan dari salah satu pengawal mansion. Suara di seberang terdengar hati-hati.
“Tuan … sore tadi, Nyonya Arunika sempat menyelinap hingga depan pavilion tua.”
Hening sejenak, rahang Rafael langsung mengeras, jari-jarinya menggenggam gelas kristal sampai retak halus terdengar. Mata hitamnya menajam, kilatan berbahaya memancar.
“Awasi pavilion itu. Jangan biarkan dia masuk dan tau isinya,” Suaranya rendah, tapi cukup membuat bulu kuduk berdiri.
“Baik, Tuan.”
Panggilan berakhir, Rafael bersandar di kursi, wajahnya tetap tenang di hadapan para pesaingnya, namun di balik itu pikirannya bergejolak.
Pintu ruangan VIP terbuka, Roman masuk bersama Zhilo dan dua pengawalnya.
"Jangan menyentuh apa yang sedang ku pertaruhkan ... jika tidak ... kau akan melihat bagaimana perempuan itu berbalik menyerangmu, Rafael." suara Roman terdengar dingin membuat ruangan sedikit menegang.
"Siapa Anda, Tuan Roman berani memberi perintah pada Saya? Anda sendiri tau saya adalah kartu As Anda! Apa mungkin Anda ingin saya memberitahu Arunika, jika ..."
"Lancang!" Roman berteriak, beberapa pengawal Rafael berdiri dan menodong senjata ke arah Roman dan Zhilo, mereka saling mengarahkan senjata saat itu juga. Rafael hanya menyeringai, lalu bangkit, membenarkan jasnya dan berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut tanpa mengatakan apapun lagi.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh